Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG Natal kemarin, PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik
RI) menyelenggarakan sidang MPA (Majelis Permusyawaratan
Anggota) ke XII di Singosari, Malang. Hasilnya: "kado Natal"
berupa Memorandum Kemasyarakatan yang menampung berbagai
keresahan akhir-akhir ini - dengan hati-hati sekali. Tapi
mendadak, lewat koran, dua hari kemudian muncul pernyataan
tandingan.
Isinya hampir tak berbeda dengan hasil MPA, ditandatangani oleh
lima pengurus cabang Yogya, Surabaya, Jember, Manado dan
Salatiga. Kelima cabang ini, sebelumnya menyatakan walk out
(keluar) dari sidang dan "tidak bertanggungjawab terhadap hasil
sidang."
Berita yang dimuat Sinar arapan dan Suara Karya itu segera
dijawab oleh "Pengurus Pusat PMKRI selaku pimpinan sidang MPA
ke-XII PMKRI" yang ditandatangani Chris Siner Key Timu (ketua
presidium) dan Youce W. Motulo (wakil sekjen). Padahal sidang
sembilan hari di Malang itu telah memilih Wem Kaunang sebagai
ketua presidium yang baru.
PMKRI pecah? Sekarang tampaknya timbul dua blok: lima cabang
yang menentang hasil MPA dan tak mengakui kepemimpinan Pengurus
Pusat (PP) yang baru maupun yang demisioner, dan 18 cabang lain
yang mengakui hasil MPA. Chris, ketua PP demisioner yang
memimpin sidang MPA itu mencoba menjelaskan. "Dari lima cabang
itu, yang menentang hasil MPA hanya segelintir aktivis senior.
Mereka ingin merubah landasan idiil PMKRI ." Karena Wem Kaunang,
ketua baru, belum pulang dari Denpasar, mak:l Chris mendahului
PP baru dengan mengeluarkan pernyataan pers itu.
Sidang MPA itu memang seru. Seoran senior bekas ketua cabang
Yogya misarnya, mengecam PP periode Chris yang dianggap terlalu
jauh menyeret PM KRI ke dalam kancah politik praktis. Cab ang
Jember bahkan mengusulkan peserta sidang MPA rela menanggalkan
"sepatu tua" yang bernama PMKRI dengan "sepatu baru" yang tak
berasas agama. Dalam sidang MPA di Sala (1971) pun, Yogya pernah
pula mengusulkan penggantian singkatan "K" (dari "Katolik")
menjadi "Karya".
Cabang Yogya agak kontroversiil tampaknya. Dalam sidang di
Malang, Yogya juga mengusulkan "amnesti umum" bagi para koruptor
karena toh sudah ada Opstib, sementara cabang Surabaya
mengingatkan jangan mengeluarkan pernyataan yang dapat
ditafsirkan "menjurus ke arah makar". Tak ayal mereka menjadi
bulan-bulanan ejekan peserta lain.
Dua hari sebelum sidang ditutup, Surabaya keluar dari sidang
yang dianggapnya "tidak obyektif dan tidak rasionil". Kemudian
disusul oleh Jember, beberapa jam setelah sidang usai. Mereka
menuju ke Surabaya, berkumpul di Mahasiswa PMKRI di sana.
Ketiga cabang lainnya - Yogya, Salatiga, Manado baru menyusul ke
Surabaya setelah MPA selesai.
Mengapa PP demisioner bersikap begitu keras? Tampaknya Chris
lebih melihat siapa yang beraksi di belakang ke lima cabang itu.
"Mereka mau membatasi keterlibatan sosial PMKRI. Penghayatan
aktif--menyatakan sikap terbuka dalam semua segi kehidupan
masyarakat -- mereka tolak dengan alasan sudah ada lembaga yang
menangani seperti DPRMPR," kata Chris.
Kabarnya juga ada yang menghendaki agar PMKRI committed tanpa
reserve dengan penguasa. Dalam edaran persnya, Chris menganggap
oknum-oknum itu mau "mengadakan erosi atau idealisme
perhimpunan." Lalu ia mengusulkan pembekuan ke lima pengurus
cabang tersebut, yang sampai minggu lalu kabarnya masih
berkumpul di Surabaya.
Tapi menurut seorang anggota senior PMKRI Surabaya, PP tak dapat
membekukan pengurus cabang. Sebab DPC dipilih dan
bertanggungjawab kepada anggota cabang, bukan kepada PP. "PP
dapat saja membekukan cabang, tapi kalau hal itu dilakukan,
PMKRI akan mengalami nasib seperti IDI," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo