Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Pecah seperti pdi ?

Perhimpunan mahasiswa katolik ri (pmkri) yang mengadakan sidang majelis permusyawaratan anggota ke xii di singosari, malang, mengalami perpecahan. 5 pengurus cabang menyatakan keluar dari sidang.

31 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG Natal kemarin, PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI) menyelenggarakan sidang MPA (Majelis Permusyawaratan Anggota) ke XII di Singosari, Malang. Hasilnya: "kado Natal" berupa Memorandum Kemasyarakatan yang menampung berbagai keresahan akhir-akhir ini - dengan hati-hati sekali. Tapi mendadak, lewat koran, dua hari kemudian muncul pernyataan tandingan. Isinya hampir tak berbeda dengan hasil MPA, ditandatangani oleh lima pengurus cabang Yogya, Surabaya, Jember, Manado dan Salatiga. Kelima cabang ini, sebelumnya menyatakan walk out (keluar) dari sidang dan "tidak bertanggungjawab terhadap hasil sidang." Berita yang dimuat Sinar arapan dan Suara Karya itu segera dijawab oleh "Pengurus Pusat PMKRI selaku pimpinan sidang MPA ke-XII PMKRI" yang ditandatangani Chris Siner Key Timu (ketua presidium) dan Youce W. Motulo (wakil sekjen). Padahal sidang sembilan hari di Malang itu telah memilih Wem Kaunang sebagai ketua presidium yang baru. PMKRI pecah? Sekarang tampaknya timbul dua blok: lima cabang yang menentang hasil MPA dan tak mengakui kepemimpinan Pengurus Pusat (PP) yang baru maupun yang demisioner, dan 18 cabang lain yang mengakui hasil MPA. Chris, ketua PP demisioner yang memimpin sidang MPA itu mencoba menjelaskan. "Dari lima cabang itu, yang menentang hasil MPA hanya segelintir aktivis senior. Mereka ingin merubah landasan idiil PMKRI ." Karena Wem Kaunang, ketua baru, belum pulang dari Denpasar, mak:l Chris mendahului PP baru dengan mengeluarkan pernyataan pers itu. Sidang MPA itu memang seru. Seoran senior bekas ketua cabang Yogya misarnya, mengecam PP periode Chris yang dianggap terlalu jauh menyeret PM KRI ke dalam kancah politik praktis. Cab ang Jember bahkan mengusulkan peserta sidang MPA rela menanggalkan "sepatu tua" yang bernama PMKRI dengan "sepatu baru" yang tak berasas agama. Dalam sidang MPA di Sala (1971) pun, Yogya pernah pula mengusulkan penggantian singkatan "K" (dari "Katolik") menjadi "Karya". Cabang Yogya agak kontroversiil tampaknya. Dalam sidang di Malang, Yogya juga mengusulkan "amnesti umum" bagi para koruptor karena toh sudah ada Opstib, sementara cabang Surabaya mengingatkan jangan mengeluarkan pernyataan yang dapat ditafsirkan "menjurus ke arah makar". Tak ayal mereka menjadi bulan-bulanan ejekan peserta lain. Dua hari sebelum sidang ditutup, Surabaya keluar dari sidang yang dianggapnya "tidak obyektif dan tidak rasionil". Kemudian disusul oleh Jember, beberapa jam setelah sidang usai. Mereka menuju ke Surabaya, berkumpul di Mahasiswa PMKRI di sana. Ketiga cabang lainnya - Yogya, Salatiga, Manado baru menyusul ke Surabaya setelah MPA selesai. Mengapa PP demisioner bersikap begitu keras? Tampaknya Chris lebih melihat siapa yang beraksi di belakang ke lima cabang itu. "Mereka mau membatasi keterlibatan sosial PMKRI. Penghayatan aktif--menyatakan sikap terbuka dalam semua segi kehidupan masyarakat -- mereka tolak dengan alasan sudah ada lembaga yang menangani seperti DPRMPR," kata Chris. Kabarnya juga ada yang menghendaki agar PMKRI committed tanpa reserve dengan penguasa. Dalam edaran persnya, Chris menganggap oknum-oknum itu mau "mengadakan erosi atau idealisme perhimpunan." Lalu ia mengusulkan pembekuan ke lima pengurus cabang tersebut, yang sampai minggu lalu kabarnya masih berkumpul di Surabaya. Tapi menurut seorang anggota senior PMKRI Surabaya, PP tak dapat membekukan pengurus cabang. Sebab DPC dipilih dan bertanggungjawab kepada anggota cabang, bukan kepada PP. "PP dapat saja membekukan cabang, tapi kalau hal itu dilakukan, PMKRI akan mengalami nasib seperti IDI," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus