Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saudara! Engkau tahu apa yang dicita-citakan oleh tiap tawanan?
Engkau pasti tahu! Keluar mendapat kebebasan kembali, hidup
bergaul denyan kawan, saudara dan sesama manusia. Buat saudara,
mungkin pernyataan "keluar" itu tak memberi kesan apa-apa. Tapi
buat tawanan dan bekas tawanan, kata itu alangkah merdu
menggairahkan. Sama saktinya dengan lagu kebangsaan.
AKHIRNYA, kedua kapal LST (pendarat tank) yang membawa para
bekas tahanan dari P. Buru itu pun tiba di bandar Surabaya,
Selasa kemarin. Terlambat sehari dari yang direncanakan.
Akhirnya kata "keluar" dari status tahanan itu bisa "merdu
menggairahkan" bagi para bekas tahanan itu sendiri. Sebelumnya,
mereka masih ragu benarkah mereka 20 Desember yang lalu itu
memang akan dibebaskan ....
Mereka telah sekian lama (tak sedikit yang sampai 12 tahun)
terkucil dari dunia luar. Mereka yang umumnya bahkan tak tahu
apakah mereka termasuk "golongan B'' atau "C" atau "X" juga ada
yang sudah beberapa kali dipindah tempat. Seorang tahanan dari
Pekalongan misalnya berkata, bahwa waktu ia dipindahkan dari
tahanan di kotanya ke Nusakambangan (sebelum ke P. Buru), ia
mengira ia akan dibehaskan.
Maka suasana beku mula-mula meliputi lapangan sepakbola kota
Namlead pagi hari 20 Desember yang lalu. 1.500 tahanan berbaris
rapi di lapangan yang belum seluruhnya kering oleh embun pagi.
Barang bawaan mereka terkumpul di tepi lapangan, sementara dua
kapal LST milik ALRI telah Wenguakkan pintunya di depan
pelabuhan Namlead. Tiba-tiba inspektur upacara, Kol. Bambang
Tjahjono SH, mengajak semua tahanan membaca sumpah setia kepada
negara - hal yang tak pernah dialami para tahanan ketika mereka
harus berpindah dari satu tempat tahanan ke tempat lain selama
itu.
Seperti memiliki kekuatan sihir, sumpah itu kemudian memecahkan
kebekuan para tahanan di lapangan itu. Wajah mereka tiba-tiba
jadi cerah, dan gurauan di antara mereka mendadak meledak. Tapi
tidak ada yang meluapkan emosi luarbiasa. Parlan, asal Wonogiri,
sambil membenahi bungkusannya berkata: "Wah, 12 tahun, pak,
tidak ketemu keluarga. Nanti juga belum tentu ketemu. Lha wong
sejak saya ditangkap tidak pernah ada kabar berita."
Tak semua ragu tentang pertemuan kembalinya dengan sanak famili.
Beberapa tahanan sempat membawa oleh-oleh untuk yang di rumah
nanti: sekeranjang telur, setandan pisang, ayam, anjing, kucing.
Kalau bukan membawa oleh-oleh, mungkin ada yang ingin membawa
kenang-kenangan: bungkusan tikar dan kain lusuh. Ada yang
berdandandan. Tom Anwar, misalnya, pemimpin redaksi Bintang
Timur dulu -- yang ditahan hampir 12 tahun -- menanggalkan topi
tahanannya yang berupa bahan tikar. Ia di kota Namlea membeli
topi baru model jungle dari uang saku Rp 1000 yang diterimanya.
Christ Hutabarat, bekas wartawan harian Ekonomi Nasional,
berganti baju kotak-kotak kecil yang dibelinya juga di sebuah
toko di Namlea.
Itu tentu sebagian dari yang "baru" yang akan mereka bawa.
Kepada mereka - sejak naik ke kapal LST - diberikan 2 stel
pakaian (1 kain sarung, 2 baju dan 2 celana panjang) dari
tetoron dan tetrex. Sayangnya, tak sedikit yang terlalu sempit
untuk tubuh mereka.
"Membadi Nasib"
Tapi itu hanya kekhilafan kecil dalam mempersiapkan mereka
pulang. Sebab membebaskan 1500 orang di antara tahanan yang
terpencar dalam 21 unit kerja yang meliputi radius ribuan hektar
memang bukan pekerjaan mudah. "Seperti membagi-bagikan nasib
rasanya," kata seorang petugas keamanan.
Meskipun pembebasan menurut ketentuan berdasarkan atas "kadar
ideologi", kondisi umur, kondisi fisik, kedudukan dalam
organisasi dan kelakuan selama dalam tahanan, tapi beratnya
beban "membagi nasib" tampak bila terjadi kesalahan
administrasi.
Kekeliruan misablya terjadi pada keluarga Sukarma di Savana
Jaya yang sebenarnya merupakan tempat "pemukiman (bukan tempat
tahanan lagi) di Buru itu. Secara resmi keluarga Sukarma dan
satu keluarga lainnya telah diberitahukan akan dibebaskan. Dan
Sukarma, bekas pandai emas dan anggota PKI Sukabumi berkemas
pulang. "Semua miliknya yang dianggap merepotkan untuk dibawa,
mereka jual. Ketika semuanya sudah beres, tiba-tiba Sukarma
dipanggil menghadap komandan Unit. "Saya diminta tabah," kata
Sukarma kepada Wartawan TEMPO Salim Said, "karena terjadi
kekeliruan administrasi." Ia tabah. Tapi isterinya yang
menyusulnya ke Buru tapi rupanya tak betah di sana, pingsan.
Menyadari kekhilafan itu, Lettu CPM Mohammad Bay, komandan
unit Savana Jaya, menegaskan: "Unitlah yang akan mengganti
barang yang terlanjur di jual.
Kekeliruan semacam itu memang terasa kejam -- ia menyangkut
"nasib" yang bisa mempengaruhi jalan hidup selama-lamanya. Tapi
hal macam itu memang mungkin terjadi bila diingat tenaga yang
mengurus Inrehab. Buru dirasakan "kurang", hingga para tahanan
ikut dikerahkan mengurus administrasi pembebasan rekan mereka
sendiri. Tentu saja setelah "melewati pengamatan," kata seorang
petugas intel.
Mungkin banyak kasus keteledoran administrasi yang tak kalah
tragis akibatnya di seluruh Indonesia, dalam pengurusan tahanan
ini, jauh sebelum hari pembebasan itu. Tapi yang terjadi di
tahun 1965-1966 itu memang tragedi besar yang belum ada
tandingannya dalam sejarah Republik Indonesia.
Balas Dendam
Koresponden TEMPO Putu Setia dari Bali misalnya menulis, bahwa
keluarga para tahanan yang baru dibebaskan tak suha
dipublikasikan ceritanya. Alasan: takut terjadi balas dendam.
"Balas dendam" itu konon dicemaskan akan datang dari mereka yang
keluarganya terbunuh dalam gelombang kekerasan dan "pembersihan"
di tahun 1966. "Ribuan, bahkan. mungkin puluhan ribu rakyat
biasa yang bukan tokoh PKI dibunuh ramai-ramai di Bali," tulis
Putu Setia mengutip alasan itu, "sementara yang disebut pimpinan
ditangkap tanpa mengalami keroyokan massa dan sekarang justru
bebas."
Tak berarti bahwa dendam itu betulbetul ada. Sakit hati dari
mereka yang dulu pernah kena "ganyang" PKI dan lain-lain memang
belum sepenuhnya habis. Tapi seorang anggota DPRD Bali
mengatakan: "Kita 'kan gampang memaafkan. Kasus Pemilu saja
sudah dilupakan." Mungkin karena itu, menurut Asisten V Kodam
XVI/Udayana Kol. membebaskan para tahanan mengajak mereka dulu
berkeliling bak turis - tidak ada di antara para bekas
tahanan yang mengajukan permintaan menghuni "tempat pemukiman"
yang sudah disediakan Pemerintah.
Di Tanjung Kasau juga, misalnya di antara lebih dari 800 bekas
tahanan kabarnya tidak sampai 10% nya menyatkan ingin berdiam
di tempat pemukiman. Belum jelas apa rencana Pemerintah jika
tempat pemukiman yang dinyatakan boleh dipilih secara sukarela
itu kelak ternyata tidak sepenuh seperti yang diperhitungkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo