Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Akhirnya Mereka Sampai

Sejumlah tahanan g30s/pki yang dibebaskan dari pulau buru tiba di pelabuhan surabaya dengan menumpang kapal milik alri. mereka berbaris di lapangan dengan membaca sumoah setia kepada negara. (nas)

31 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saudara! Engkau tahu apa yang dicita-citakan oleh tiap tawanan? Engkau pasti tahu! Keluar mendapat kebebasan kembali, hidup bergaul denyan kawan, saudara dan sesama manusia. Buat saudara, mungkin pernyataan "keluar" itu tak memberi kesan apa-apa. Tapi buat tawanan dan bekas tawanan, kata itu alangkah merdu menggairahkan. Sama saktinya dengan lagu kebangsaan. AKHIRNYA, kedua kapal LST (pendarat tank) yang membawa para bekas tahanan dari P. Buru itu pun tiba di bandar Surabaya, Selasa kemarin. Terlambat sehari dari yang direncanakan. Akhirnya kata "keluar" dari status tahanan itu bisa "merdu menggairahkan" bagi para bekas tahanan itu sendiri. Sebelumnya, mereka masih ragu benarkah mereka 20 Desember yang lalu itu memang akan dibebaskan .... Mereka telah sekian lama (tak sedikit yang sampai 12 tahun) terkucil dari dunia luar. Mereka yang umumnya bahkan tak tahu apakah mereka termasuk "golongan B'' atau "C" atau "X" juga ada yang sudah beberapa kali dipindah tempat. Seorang tahanan dari Pekalongan misalnya berkata, bahwa waktu ia dipindahkan dari tahanan di kotanya ke Nusakambangan (sebelum ke P. Buru), ia mengira ia akan dibehaskan. Maka suasana beku mula-mula meliputi lapangan sepakbola kota Namlead pagi hari 20 Desember yang lalu. 1.500 tahanan berbaris rapi di lapangan yang belum seluruhnya kering oleh embun pagi. Barang bawaan mereka terkumpul di tepi lapangan, sementara dua kapal LST milik ALRI telah Wenguakkan pintunya di depan pelabuhan Namlead. Tiba-tiba inspektur upacara, Kol. Bambang Tjahjono SH, mengajak semua tahanan membaca sumpah setia kepada negara - hal yang tak pernah dialami para tahanan ketika mereka harus berpindah dari satu tempat tahanan ke tempat lain selama itu. Seperti memiliki kekuatan sihir, sumpah itu kemudian memecahkan kebekuan para tahanan di lapangan itu. Wajah mereka tiba-tiba jadi cerah, dan gurauan di antara mereka mendadak meledak. Tapi tidak ada yang meluapkan emosi luarbiasa. Parlan, asal Wonogiri, sambil membenahi bungkusannya berkata: "Wah, 12 tahun, pak, tidak ketemu keluarga. Nanti juga belum tentu ketemu. Lha wong sejak saya ditangkap tidak pernah ada kabar berita." Tak semua ragu tentang pertemuan kembalinya dengan sanak famili. Beberapa tahanan sempat membawa oleh-oleh untuk yang di rumah nanti: sekeranjang telur, setandan pisang, ayam, anjing, kucing. Kalau bukan membawa oleh-oleh, mungkin ada yang ingin membawa kenang-kenangan: bungkusan tikar dan kain lusuh. Ada yang berdandandan. Tom Anwar, misalnya, pemimpin redaksi Bintang Timur dulu -- yang ditahan hampir 12 tahun -- menanggalkan topi tahanannya yang berupa bahan tikar. Ia di kota Namlea membeli topi baru model jungle dari uang saku Rp 1000 yang diterimanya. Christ Hutabarat, bekas wartawan harian Ekonomi Nasional, berganti baju kotak-kotak kecil yang dibelinya juga di sebuah toko di Namlea. Itu tentu sebagian dari yang "baru" yang akan mereka bawa. Kepada mereka - sejak naik ke kapal LST - diberikan 2 stel pakaian (1 kain sarung, 2 baju dan 2 celana panjang) dari tetoron dan tetrex. Sayangnya, tak sedikit yang terlalu sempit untuk tubuh mereka. "Membadi Nasib" Tapi itu hanya kekhilafan kecil dalam mempersiapkan mereka pulang. Sebab membebaskan 1500 orang di antara tahanan yang terpencar dalam 21 unit kerja yang meliputi radius ribuan hektar memang bukan pekerjaan mudah. "Seperti membagi-bagikan nasib rasanya," kata seorang petugas keamanan. Meskipun pembebasan menurut ketentuan berdasarkan atas "kadar ideologi", kondisi umur, kondisi fisik, kedudukan dalam organisasi dan kelakuan selama dalam tahanan, tapi beratnya beban "membagi nasib" tampak bila terjadi kesalahan administrasi. Kekeliruan misablya terjadi pada keluarga Sukarma di Savana Jaya yang sebenarnya merupakan tempat "pemukiman (bukan tempat tahanan lagi) di Buru itu. Secara resmi keluarga Sukarma dan satu keluarga lainnya telah diberitahukan akan dibebaskan. Dan Sukarma, bekas pandai emas dan anggota PKI Sukabumi berkemas pulang. "Semua miliknya yang dianggap merepotkan untuk dibawa, mereka jual. Ketika semuanya sudah beres, tiba-tiba Sukarma dipanggil menghadap komandan Unit. "Saya diminta tabah," kata Sukarma kepada Wartawan TEMPO Salim Said, "karena terjadi kekeliruan administrasi." Ia tabah. Tapi isterinya yang menyusulnya ke Buru tapi rupanya tak betah di sana, pingsan. Menyadari kekhilafan itu, Lettu CPM Mohammad Bay, komandan unit Savana Jaya, menegaskan: "Unitlah yang akan mengganti barang yang terlanjur di jual. Kekeliruan semacam itu memang terasa kejam -- ia menyangkut "nasib" yang bisa mempengaruhi jalan hidup selama-lamanya. Tapi hal macam itu memang mungkin terjadi bila diingat tenaga yang mengurus Inrehab. Buru dirasakan "kurang", hingga para tahanan ikut dikerahkan mengurus administrasi pembebasan rekan mereka sendiri. Tentu saja setelah "melewati pengamatan," kata seorang petugas intel. Mungkin banyak kasus keteledoran administrasi yang tak kalah tragis akibatnya di seluruh Indonesia, dalam pengurusan tahanan ini, jauh sebelum hari pembebasan itu. Tapi yang terjadi di tahun 1965-1966 itu memang tragedi besar yang belum ada tandingannya dalam sejarah Republik Indonesia. Balas Dendam Koresponden TEMPO Putu Setia dari Bali misalnya menulis, bahwa keluarga para tahanan yang baru dibebaskan tak suha dipublikasikan ceritanya. Alasan: takut terjadi balas dendam. "Balas dendam" itu konon dicemaskan akan datang dari mereka yang keluarganya terbunuh dalam gelombang kekerasan dan "pembersihan" di tahun 1966. "Ribuan, bahkan. mungkin puluhan ribu rakyat biasa yang bukan tokoh PKI dibunuh ramai-ramai di Bali," tulis Putu Setia mengutip alasan itu, "sementara yang disebut pimpinan ditangkap tanpa mengalami keroyokan massa dan sekarang justru bebas." Tak berarti bahwa dendam itu betulbetul ada. Sakit hati dari mereka yang dulu pernah kena "ganyang" PKI dan lain-lain memang belum sepenuhnya habis. Tapi seorang anggota DPRD Bali mengatakan: "Kita 'kan gampang memaafkan. Kasus Pemilu saja sudah dilupakan." Mungkin karena itu, menurut Asisten V Kodam XVI/Udayana Kol. membebaskan para tahanan mengajak mereka dulu berkeliling bak turis - tidak ada di antara para bekas tahanan yang mengajukan permintaan menghuni "tempat pemukiman" yang sudah disediakan Pemerintah. Di Tanjung Kasau juga, misalnya di antara lebih dari 800 bekas tahanan kabarnya tidak sampai 10% nya menyatkan ingin berdiam di tempat pemukiman. Belum jelas apa rencana Pemerintah jika tempat pemukiman yang dinyatakan boleh dipilih secara sukarela itu kelak ternyata tidak sepenuh seperti yang diperhitungkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus