Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPK menjadikan mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming, sebagai tersangka suap izin tambang.
Mardani H. Maming menyebut Haji Isam di balik kasusnya.
KPK tidak lagi independen dan begitu mudah diintervensi.
PADA masa keemasannya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sering kali mendapat tepuk tangan ketika menetapkan status tersangka. Saat itu komisi antikorupsi adalah lembaga independen yang amat berhati-hati dalam menyelisik skandal. Dua alat bukti perkara setidaknya sudah dikantongi ketika kasus naik ke tahap penyidikan. Sebab, begitu status tersangka ditetapkan, tak mungkin lagi perkara dihentikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini penetapan status tersangka oleh lembaga itu justru acap kali mengundang tanda tanya. Setelah Firli Bahuri dan keempat wakilnya menjabat, penetapan tersangka oleh KPK tak lagi terbuka. Pimpinan KPK menyembunyikan dulu nama tersangka hingga menjelang penahanan orang itu. Apalagi, sejak revisi undang-undang yang menempatkannya di bawah rumpun eksekutif, lembaga ini rawan menjadi alat politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perkara bekas Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Mardani H. Maming, menguatkan indikasi itu. Publik mengetahui status tersangka politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang juga Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu dari “bocoran” surat permohonan pencegahan bepergian ke luar negeri yang diajukan KPK ke Direktorat Jenderal Imigrasi. KPK belum mengumumkan secara resmi status Mardani. Tanpa transparansi, nama tersangka bisa hilang di tengah jalan, terutama jika KPK menghentikan kasus yang dimungkinkan setelah undang-undang diubah.
Mardani bukannya tak punya masalah. Ia dilaporkan oleh bekas anak buahnya di Tanah Bumbu, Dwidjono Putrohadi Sutopo, ke KPK dengan tuduhan menerima duit puluhan miliar rupiah dari pengusaha tambang asal Malang, Jawa Timur, Henry Soetio, sebagai imbalan menerbitkan izin usaha tambang. Demi berkelit dari jerat, Mardani dikabarkan melambung ke sejumlah elite partai politik dan pejabat negara.
Lobi-lobinya kalah ampuh. Ia ditetapkan menjadi tersangka di KPK. Menuduh pengusaha batu bara, Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, yang juga berasal dari Tanah Bumbu, berada di balik Dwidjono, Mardani meminta KPK memeriksa pemilik Jhonlin Group itu. Dalam kondisi ideal, publik semestinya diuntungkan oleh saling bongkar tersebut. Kejahatan yang disembunyikan bisa terungkap dengan pertentangan itu. KPK harus menginvestigasi Mardani sampai tuntas sebagaimana harus memeriksa Andi Syamsuddin.
Masalahnya, KPK tak lagi imparsial. Dalam kasus Mardani versus Andi Syamsuddin, KPK diperebutkan dua pihak yang beradu pengaruh dan akhirnya condong kepada salah satunya. Kekhawatiran yang tumbuh sejak Undang-Undang KPK versi revisi diberlakukan bahwa komisi antikorupsi bisa menjelma sebagai alat politik akhirnya terwujud.
Kenyataan tersebut menyiratkan bahwa di negara kita berlaku hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang menang. Siapa yang menguasai lembaga penegak hukum, termasuk KPK, bisa gampang menjatuhkan lawan. Sungguh disayangkan jika KPK yang dulu dianggap sebagai pembawa harapan akan Indonesia yang lebih baik kini turut mendorong negeri ini mundur ke zaman purba.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo