Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Sudah Waktunya Mengoreksi Strategi

Inflasi melejit ke angka tertinggi dalam lima tahun terakhir. Pemerintah dan Bank Indonesia harus mengoreksi kebijakan fiskal dan moneter.

2 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • BPS menyebut inflasi Juni 2022 mencapai 4,35 persen per tahun.

  • Bank Indonesia masih menahan kenaikan suku bunga.

  • Pemerintah terus mengucurkan subsidi energi.

PASAR sudah memperkirakan, inflasi di Indonesia akan naik bulan-bulan ini. Namun tetap saja pengumuman Badan Pusat Statistik pada Jumat, 1 Juli lalu, tentang inflasi tahunan per Juni 2022 membuat pasar bergejolak, terkejut. Inflasi melompat di luar dugaan menjadi 4,35 persen per tahun, tertinggi dalam lima tahun terakhir. Inflasi tahunan sebesar itu juga sudah melampaui batas atas target pemerintah ataupun Bank Indonesia yang dipatok cuma 4 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengumuman BPS itu langsung menyetrum kurs rupiah hingga loyo melampaui Rp 14.900 per dolar Amerika Serikat. Bursa saham juga terpukul. Indeks harga saham gabungan turun 1,7 persen dalam satu hari pada Jumat itu. Besar kemungkinan reaksi negatif pasar masih akan berlanjut setelah pasar kembali buka pada Senin, 4 Juli 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertanyaannya sekarang, apakah di bulan-bulan mendatang inflasi akan terus menanjak? Keadaan pasar akan bergantung pada bagaimana respons pemerintah dan Bank Indonesia dalam mengatasi kondisi yang mulai mencemaskan ini. Jika pasar menilai kebijakan pemerintah dan BI cukup kredibel untuk meredam laju inflasi, gejolak bisa mereda. Dan tentu saja sebaliknya, jika tak ada kebijakan yang bisa menguatkan keyakinan investor bahwa ekonomi Indonesia berada di tangan orang-orang yang berkompeten mengatasi tekanan krisis, sentimen pasar bisa makin negatif.

Selama ini strategi pemerintah dan BI dalam mengatasi inflasi masih mencerminkan keyakinan bahwa inflasi di Indonesia tetap terkendali. BI, misalnya, terus menahan diri tidak menaikkan bunga demi menjaga pertumbuhan ekonomi. Untuk meredam inflasi, BI hanya mengandalkan pengetatan likuiditas di perbankan dengan cara menaikkan giro wajib minimum (GWM) secara bertahap pada Juni, Juli, dan September.

Teorinya memang begitu. Jika bank sentral menarik likuiditas dari perbankan, sedikit-banyak inflasi bisa teredam. Namun, melihat inflasi yang sudah naik tinggi dan perkembangan geopolitik ataupun ekonomi global, menaikkan GWM saja sepertinya tak akan kuat menahan tekanan inflasi. Kebijakan ini hanya akan melemahkan industri perbankan justru ketika situasi ekonomi sedang kalut.

Menjaga inflasi dan stabilitas rupiah sebetulnya merupakan tugas utama BI. Dalam merumuskan kebijakan moneter, BI seharusnya tidak mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang merupakan tugas pemerintah. Sebaliknya, seolah-olah demi membalas jasa BI yang sudah bersedia menahan bunga, pemerintah kini lebih aktif memerangi inflasi lewat kebijakan fiskal: mengobral subsidi. Pemerintah siap mengorbankan subsidi Rp 520 triliun agar harga elpiji 3 kilogram, Pertalite, dan tarif listrik rumah tangga berdaya kurang dari 3.000 watt tidak naik.

Lonjakan inflasi pada Juni semestinya menjadi pengingat bahwa subsidi yang begitu besar itu bakal sia-sia belaka. Subsidi mungkin bisa menahan kenaikan inflasi yang berasal dari harga energi. Namun inflasi yang sekarang sedang melanda tidak hanya bersumber dari harga energi. Kalaupun pemerintah benar-benar kuat menjaga harga energi, inflasi tetap datang karena harga hampir semua barang dan jasa sudah merayap naik.

Harga berbagai produk pangan berbasis gandum, misalnya, naik karena dampak invasi Rusia ke Ukraina. Kebijakan fiskal pemerintah tak akan mampu menahan kenaikan harga itu. Kenaikan harga internasional akan langsung merambat ke dalam negeri karena Indonesia yang beriklim tropis tak mungkin memproduksi gandum. Kenaikan biaya logistik, termasuk ongkos pengiriman barang dengan peti kemas yang naik berkali-kali lipat dalam setahun terakhir, juga mendorong inflasi. Cepat atau lambat, efeknya akan mencekik Indonesia pula. Subsidi sebesar apa pun tak akan mampu menahannya.

Mungkin pemerintah dan BI masih belum terlambat untuk mengoreksi kebijakan demi mencegah kenaikan inflasi yang makin tak terkendali. Ekonomi memang harus melambat, itu keniscayaan yang tak dapat dicegah. Namun akan jauh lebih baik jika perlambatan ekonomi tidak datang berbarengan dengan inflasi yang tinggi. Itulah pilihan terbaik yang masih tersedia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus