Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bencana dan Sejumlah Takhayul

Setelah bencana beruntun, semua sistem dan prosedur harus dibenahi. Itu akan menghapus takhayul.

12 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENCANA yang datang beruntun melahirkan kepedihan, juga sejumlah takhayul. Yang pertama, negeri ini seolah-olah terkutuk. Belakangan orang sering berceloteh: naik pesawat bisa jatuh, naik kapal laut bisa tenggelam atau terbakar, ternyata bersembunyi di rumah pun tak aman. Kenapa? Gempa, tanah longsor, dan banjir hebat bisa datang kapan saja.

Anggota DPR dan paranormal Permadi mengatakan kepada media online Detik.com bahwa gempa di Yogyakarta tahun lalu terjadi karena Nyi Roro Kidul, yang dipercayanya sebagai Ratu Pantai Selatan, marah kepada pendukung Rancangan Undang-Undang Pornografi. Apa sebab? Nyi Roro terancam tak boleh memakai kemben lagi....

Takhayul yang lain berbau politis. Selama Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden, bencana tak putus-putusnya terjadi. Terakhir pada pekan lalu, belum beres korban gempa ditangani di Sumatera Barat, pesawat Garuda yang katanya paling aman pun terbakar di Yogyakarta dan 21 orang tewas dalam sekejap. Mungkin Presiden Yudhoyono perlu diruwat. Begitu kata pencinta mistik dan klenik.

Pendapat begini seakan-akan benar dan terkesan ilmiah karena didukung data. Bencana terbesar di dunia, gempa dan tsunami di Aceh, terjadi pada awal masa SBY memimpin. Dua gempa besar terjadi kemudian. Sejak tiga tahun lalu, 12 kali pesawat terbang celaka, termasuk Adam Air di laut barat Sulawesi, yang lenyap bersama 102 penumpangnya. Empat kecelakaan kapal laut terjadi, juga 12 kali kecelakaan kereta api. Banjir dan longsor terjadi di beberapa tempat.

Orang tak berani menyalahkan Tuhan. Di masjid-masjid, para penceramah mengatakan Tuhan marah dan menyentil manusia yang berdosa dengan sejumlah cobaan. Kata penyanyi Ebiet G. Ade, dalam syair lagu Berita kepada Kawan, mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Benar? Tak seorang pun tahu dan boleh menjadi wakil Tuhan untuk mengatakan benar atau salah. Ebiet pun tak ingin menjawabnya. Ia hanya bertanya kepada rumput yang bergoyang.

Mungkin sang penyanyi murung dan mulai putus asa, seperti banyak orang di negeri ini. Seakan bencana apa pun datang dalam satu paket dari sebuah tempat, dikirim oleh satu kekuasaan, untuk menghukum Indonesia.

Padahal ada bencana akibat alam dan akibat tindakan manusia. Banjir lumpur panas di Sidoarjo tidak akan datang kalau tak ada salah kalkulasi oleh manusia. Lumpur itu tidak muncul tiba-tiba, tapi dipicu proses pengeboran yang ceroboh, bukan kiriman Tuhan untuk menghukum Sidoarjo atau SBY. Kapal Levina I terbakar karena ada di antara muatannya yang mengandung benda gampang terbakar. Dan syahbandar mungkin kurang ketat memeriksa muatan kapal itu. Pesawat terbang celaka barangkali karena sistem radar atau sistem vital lain tidak jalan dan kurang sering diperiksa. Sangat mungkin faktor manusia—kurang pengalaman, panik, lelah—menjadi penyebab kecelakaan transportasi.

Mencari penyebab kecelakaan jauh lebih penting daripada mengembangkan sikap pasrah yang konyol, dengan menyatakan itu takdir Tuhan atau kutukan. Sikap begini, selain membuat frustrasi massal, juga membuat orang malas berpikir mencari solusi agar kecelakaan tak terulang.

Bencana alam akibat ulah manusia pun, misalnya banjir akibat penggundulan hutan, bisa dicegah dengan langkah yang tepat dan efektif. Gempa pun bisa dikurangi dampaknya dengan mempelajari sistem peringatan dini yang akurat.

Presiden Yudhoyono, setelah menyanyikan Berita kepada Kawan bersama Ebiet, perlu menggulung lengan bajunya lebih tinggi. Semua sistem dan prosedur moda angkutan perlu diperiksa ulang, dicek di lapangan, dievaluasi lebih sering dan teratur. Salah urus, mismanajemen, tak boleh ditutupi dengan kata-kata ajaib ”sudah kehendak Tuhan”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus