Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemanfaatan rekening negara untuk mencairkan uang Hutomo Man-dala Putra sungguh keterlaluan. Bayangkan, saat putra bungsu Soeharto itu sedang dipenjara pada 2004 karena terlibat pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia malah membantu mencairkan dananya di London. Uang yang sebelumnya dibekukan oleh Bank Paribas karena diduga terkait dengan kegiatan ilegal itu akhirnya ditransfer ke rekening departemen.
Kini tak jelas uang itu ada di mana. Menurut peraturan, paling telat sehari setelah uang masuk ke rekening penerimaan negara bukan pajak, dana harus disetor ke bendahara negara. Setelah dicek, Departemen Keuangan maupun Bank Indonesia menyatakan tak pernah menerima uang itu. Bahkan PT Timor, perusahaan Tommy di Jakarta, juga mengaku tak pernah menerimanya.
Ini jelas mencurigakan. Terutama karena ketika proses pencairan dana ini dilakukan, Tommy Soeharto sedang mengharapkan remisi dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Apalagi remisi itu kemudian ternyata dapat diraih secara maksimal sehingga sempat menggegerkan masyarakat. Walhasil, hanya dengan melacak ke mana saja dana itu mengalir, jawaban atas misteri ini dapat dikuak.
Pelacakan ini bukan persoalan sulit. Sosok yang seharusnya paling tahu tentang aliran dana itu kini telah berada di tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi. Zulkarnain Yunus adalah pengelola rekening itu ketika ia masih menjabat Dirjen Administrasi Hukum Umum. Ia membantu pencairan dana Tommy Soeharto itu atas permintaan Kantor Pengacara Ihza and Ihza, yang sebagian sahamnya dimiliki oleh atasannya saat itu, Menteri Yusril Ihza Mahendra.
Zulkarnain Yunus, yang sekarang menjabat Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, ditahan KPK untuk kasus yang lain: dugaan korupsi pengadaan mesin sidik jari. Kini jelas bahwa ia perlu juga disidik atas dugaan menerima suap dan menyalahgunakan wewenang dalam kasus pencairan uang Bank Paribas. Bahkan ia juga dapat didakwa membocorkan surat dinas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, yang hukuman minimalnya lima tahun penjara.
Dengan berbagai ancaman hukuman berat itu, mudah-mudahan Zulkarnain Yunus akan bekerja sama dengan penyidik demi menuai keringanan hukuman di pengadilan nanti. Ia, misalnya, harus berterus terang menjelaskan ke mana saja dana mengalir dan atas permintaan siapa. Jika ia memilih diam, para penyidik harus segera menyita kekayaannya agar ancaman kerugian negara dapat diminimalkan.
Sebagai pengelola rekening, Zulkarnain sepatutnya mengetahui sejauh mana keterlibatan Menteri Yusril Ihza Mahendra dalam berbagai kasus yang membelitnya itu. Ia juga diharapkan dapat menjelaskan keterkaitan atasannya saat ini dalam proses pencairan dana Tommy Soeharto. Soalnya, transfer uang dari Bank Paribas cabang London itu terjadi ketika Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah berada di bawah Menteri Hamid Awaludin. Ini informasi penting, mengingat bebasnya Hutomo Mandala Putra dari penjara, berkat remisi yang maksimal, juga terjadi setelah transfer berlangsung.
Terhadap berbagai penyimpangan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus bersikap tegas. Ia telah berjanji memulai pembasmian korupsi dari lingkungan sekitarnya, karena itu wajib mendukung upaya KPK dalam menyidik kasus yang melibatkan orang-orang dekatnya ini. KPK adalah institusi yang tepat untuk menangani kasus ini, mengingat Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh berafiliasi dengan Partai Bulan Bintang yang dipimpin Yusril Ihza Mahendra.
Presiden perlu segera memberhentikan, minimal menonaktifkan Yusril Ihza Mahendra dari jabatan Menteri-Sekretaris Negara untuk melancarkan penyidikan. Presiden juga perlu menonaktifkan Menteri Hamid Awaludin selama proses penyidikan. Hal ini perlu dilakukan untuk mempermudah investigasi dan mencegah kemungkinan intervensi. Ini bukan mengada-ada. Pernyataan prematur Menteri Hamid Awaludin bahwa ’’uang Tommy halal’’, misalnya, adalah salah satu indikasi kemungkinan intervensi ini.
Ini memang bukan hal yang mudah, mengingat kedua menteri ini telah mendukung SBY sejak dini. Pemimpin negara jiran Lee Kuan Yew pun pernah mengalami situasi serupa pada masa awal kepemimpinannya. Pendiri bangsa Singapura ini menolak permintaan bertemu dua sahabat seperjuangannya yang sedang disidik dalam perkara korupsi pada waktu yang berbeda. Salah seorang sahabat itu, Menteri Pembangunan Nasional Teh Cheang Wan, kemudian bunuh diri. Hingga sekarang Lee Kuan Yew mengaku masih merasa sedih atas kejadian itu namun ia tak menyesal. Tanpa pengorbanan itu, upayanya membersihkan Singapura dari korupsi tak akan pernah berhasil.
Presiden Yudhoyono kini harus memilih: membangun Indonesia yang bersih atau melindungi para pendukung awalnya yang diduga korup?
Jawabannya sangat mudah, bahkan keterlaluan gampangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo