Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berlatih stres

Sukses jepang, korea selatan, hong kong, karena komitmennya terhadap pengembangan sumber daya manusia. pendidikan memang mahal. komitmen untuk mengembangkan sumber daya manusia tak cukup pada depdikbud.

23 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Soeharto, pada pembukaan Sidang ESCAP di Jakarta, sekali lagi menekankan pentingnya pengembangan sumber daya manusia. Pernyataan itu memang perlu setiap kali diulang dan disegarkan kembah. Mungkin kita sudah lelah mendengar kisah sukses Jepang, yang tiba-tiba mencuat di pasar global. Mungkin kita lelah menengadah, melihat model yang sudah begitu hebat menjulang. Dan semua orang percaya bahwa sukses Jepang adalah sukses pengembangan sumber daya manusianya. Jepang memang kemudian menjadi semacam role model bagi negara-negara lain yang beraspirasi maju. Negara-negara industri baru eperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hong Kong selalu tampak selangkah di belakang Jepang. Di negara-negara itu tampak common denominator yang jelas, yaitu komitmen pada pengembangan sumber daya manusia. Pelajar Hong Kong kini menjadi nomor satu di dunia dalam matcmatika. Ini justru terjadi ketika pelajar dan mahasiswa Amerika makin susut minat dan kemampuannya dalam mata pelajaran yang sulit itu. Anak-anak sekolah dasar di Korea Selatan berangkat ke sekolah dengan tiga bungkus makanan. Bukan karena rakus, tetapi karena mereka baru pulang ke rumah setelah pukul sepuluh malam Mereka makan siang di sekolah dan memerlukan lagi penganan kecil, karena setelah jam sekolah masih ada kegiatan ekstrakurikuler. Setelah itu mereka berkumpul di rumah salah satu teman untuk secara berkelompok mengerjakan pekerjaan rumah. Karena itu, mereka memerlukan sebungkus makanan lagi, agar tak merepotkan nyonya rumah. Gaya hidup spartan ditanamkan sejak kecil, begitu pula sense of achievement. Tak heran bila banyak remaja Jepang bunuh diri hanya karena angka rapornya jelek. Remaja-remaja Korea Selatan pun harus berjuang lebih keras, untuk dapat meraih satu bangku di perguruan tinggi. Mereka yang kurang pintarlah yang terpaksa harus belajar kc luar negeri. Dan bila melihat perjuangan itu, suasana belajar anak-anak kita di Indonesia tampak lebih santai. "Kadang-kadang saya pun takut bahwa gagasan saya tentang pendidikan terlalu muluk," kaia Abdulgani, Direktur Utama Bank Duta, yang kini sedang sibuk mempersiapkan pembukaan Sekolah Tinggi Keuangan di Kalibata. Kampus yang megah dan terdiri atas 50 kelas itu nantinya akan menjadi tempat penggodokan elite ekonomi Indonesia masa depan. Maklum, dengan pemahaman tentang masalah keuangan, hampir semua bidang ekonomi dapat ditembus. Tetapi mengapa Abdulgani risau? "Saya memang punya keinginan terlalu banyak. Bukan saja di bidang akademik, tapi terutama di bidang pengembangan watak," katanya. Contohnya, di sekolah tinggi itu nanti para mahasiswa tidak bisa seenaknya menggunakan waktu luang. "Kami akan campur tangan mengoordinasikan penggunaan waktu luang mereka. Mereka harus memilih salah satu bidang kegiatan olah raga atau kesenian, dan kami menyediakan orang-orang pilihan, yang dapat membimbing mereka dalam apresiasi seni serta performa olah raga. Kami akan menciptakan suasana agar sedikitnya mereka mempunyai minat terhadap salah satu bidang itu," kata Abdulgani. Mengapa olah raga dan kesenian ? "Karena begitu orang menjadi eksekutif, salah satu dari dua hal itu akan diperlukan, baik untuk mengimbangi kesibukan pekerjaan maupun untuk berkomunikasi dan membina kehidupan sosial dengan kolega bisnisnya," kata Abdulgani. Bagi orang yang terbiasa menggunakan waktunya dengan doing nothing atau bergurau canda, kegiatan olah raga atau kesenian memang belum tentu menarik untuk dilakukan. Tak heran bila untuk mempersiapkan pribadi yang koml plet, diperlukan disiplin pula untuk memasukkan unsur-unsur itu dalam kurikulum. "Dalam sckolah tinggi itu nanti juga akan diciptakan suasana under ressure," kata Abdulgani. "Mereka harus sudah terbiasa menerima tekanan-tekanan selama menjalani program pendidikannya, karena suasana seperti itulah yang akan mereka hadapi dalam pekerjaan yang sesungguhnya Mereka harus terlatih membagi waktu sejak masih mahasiswa, dan terlatih pula membagi beban pressure-nya. Pendeknya, kami persiapkan mereka untuk menjadi eksekutif keuangan masa depan." Untuk cita-cita dan komitmen besarna itu, Abdulgani tak segan-segan mempertaruhkan lehernya. Ia menanggung pinjaman untuk membangun gedung dan fasilitas kampus yang komplet di Kalibata itu. Lingkungan pendidikan memang merupakan faktor yang tak kalah pcnting dalam menentukan mutu manusla yang dlcetaknya. Pendidikan, seperti makin kita sadari sekarang, bukanlah hal yang murah. Karena itu, komitmen untuk mengembangkan sumber daya manusia tidak bisa hanya disandarkan pada Depdikbud yang anggarannya pas-pasan. Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus