Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika ada masalah yang tak bisa lagi dicarikan penyelesaiannya yang memuaskan, mungkin itu adalah tentang perusahaan tambang Freeport di Tembagapura, Papua. Tapi tak semua bisa menerima dan berhenti dalam keadaan tidak puas, lalu mencari-cari terobosan dengan cara yang ekstrem. Pekan lalu, kantor pusat Freeport di Jakarta dikepung demonstran yang menuntut dengan paksa supaya pertambangan itu ditutup. Di Tembagapura, jalan raya diblokir penduduk yang marah karena dilarang menambang sisa pasir emas dari limbah buangan Freeport.
Yang menuntut dan berunjuk rasa, dengan atau ta-npa ke-kerasan, hanya punya satu pikiran, yaitu tekad agar keingin-annya dipenuhi. Tidak sempat untuk memikirkan bagai-mana apabila tuntutan gagal dipenuhi, bila desakan patah lumpuh terbentur tembok yang terlalu kukuh. Itu biasa dan hampir selalu begitu dalam setiap unjuk rasa. Sebenarnya, yang juga tidak terpikirkan tapi tidak biasa ialah bagaimana seandainya para pengunjuk rasa berhasil mendapatkan apa yang mereka tuntut. Freeport dan operasi pertambang-annya di Papua ditutup. Persoalannya tidak selesai begitu saja, bahkan masalah baru akan timbul.
Bahwa tindakan keliru dalam niat memecahkan masa-lah justru membawa persoalan baru-yang lebih banyak me-rugi-kan diri sendiri-bukan saja kalau Freeport benar ditutup, tapi juga telah terjadi tatkala unjuk rasa dilakukan dengan kekerasan. Memaksa menyegel kantor Freeport di Kuningan, Jakarta, dan memblokir jalan ke Tembagap-ura di Papua bersumber pada motif yang berlainan, namun efek-nya serupa.
Bukan cuma Freeport yang kena dampaknya, tapi s-ecara tak langsung kedua peristiwa itu menimbulkan pengaruh non-fisik lain yang lebih penting artinya. Rasa aman serta ja-minan ketertiban dan kepastian penegakan hukum jadi kabur dalam pandangan investor dan calon pembawa modal ke Indonesia. Semua akan rugi, lebih dari yang diderita Freeport, jika mereka keluar atau batal menanam modal di sini.
Nyatalah bahwa dalam cara protes terhadap Freeport ter-kandung pertentangan antara kepentingan langsung yang minta segera dipenuhi melawan kepentingan tak langsung yang berjangka lebih panjang. Yang satu lokal, konkret, yang lain kepentingan nasional yang lebih luas dan lebih sukar diraba. Yang merasa jadi korban-langsung sukar diharap untuk sadar atau diajak peduli pada kepentingan lain-nya. Jika, misalnya, pembagian hasil eksploitasi Freeport amat menguntungkan bagi masyarakat lokal, mungkin protes tentang parahnya perusakan lingkungan, tentang saham, royalti, dan pajak bagi negara yang tidak sepadan, tak akan dilakukan dengan militansi yang sama.
Tak ada alasan untuk membela Freeport dengan menilai-nya sebagai perusahaan yang sudah melaksanakan tanggung jawab sosial dengan sempurna. Namun juga tak perlu memusuhi hanya karena Freeport perusahaan asing, yang rakus mengeruk kekayaan alam dan membawa keuntung-an ke luar negeri. Freeport adalah perusahaan yang sama sifat-nya seperti setiap perusahaan yang mengandalkan kekuatan modal uang, teknologi, organisasi. Semua usaha kapitalis akan sama saja, bukan soal asing atau nasional. Mengelola sumber daya alam membutuhkan modal tersebut. Soalnya adalah pada mutu pengendalian yang dilakukan pemerintah.
Akhirnya, kita bukan ingin berhenti sebatas menyilakan semua makian dikeluarkan ke segala arah, karena cuma se-jauh itu jalan keluar yang tersedia. Ada perbaikan-perbaik-an yang masih bisa dibicarakan, bahkan kemungkinan meng-adakan perundingan ulang untuk memperbarui kontrak juga tak tertutup sebenarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo