Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap orang berhak menerima informasi dari mana pun, dari siapa pun. Semestinya hak menyebarkan in-for-masi juga dimiliki oleh setiap warga negara. Pri-nsip ini sudah berjalan dalam penerbitan media cetak. Me-reka yang berminat menyebarkan informasi melalui barang cetakan tidak perlu lagi meminta surat izin usaha penerbit-an seperti pada zaman Orde Baru dulu.
Kasus Global TV, yang terjadi ketika B.J. Habibie ber-kuasa selama 17 bulan sejak Mei 1998, menjelaskan pada kita bahwa prinsip kesetaraan hak warga negara itu belum terwujud di dunia elektronik televisi. Hak menyebarkan informasi melalui televisi-yang masih memerlukan izin prinsip dan frekuensi dari pemerintah (yang mewakili negara)-tidak dimiliki oleh setiap warga negara secara s-etara.
Pada zaman Soeharto, izin diberikan hanya kepada ka-la-ngan dekat Istana, terutama keluarganya. Pada masa se-telah Soeharto, izin prinsip penyiaran dan frekuensi di-keluarkan oleh dua instansi berbeda, Departemen Per-hu-bungan dan Departemen Penerangan. Proses seleksinya tidak banyak diketahui masyarakat luas. Kondisi ini berlangsung sampai Departemen Penerangan dibubarkan oleh pemerintah Abdurrahman Wahid pada Oktober 1999.
Izin untuk Global TV mewakili masa pemberian izin televisi secara tertutup itu-proses yang sekarang ini seharusnya dikoreksi. Selain itu, ada dua hal yang patut dipersoalkan sekitar Global TV.
Yang pertama masalah peralihan kepemilikan izin dari PT Global Informasi Bermutu, yang didirikan oleh mereka yang bisa digolongkan "kelompok Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia", kepada kelompok Bimantara. Ini bukan sekadar urusan eksistensi PT GIB, tapi soal frekuensi yang merupakan domain publik yang dikuasai oleh negara. Ada pertimbangan tersendiri di balik keputusan memberikan izin frekuensi kepada kelompok X dan bukan kepada kelompok Y. Ini mungkin analog dengan pemberian izin hak pengusahaan hutan. Izin diberikan khusus kepada pengusaha tertentu setelah berbagai pertimbangan, misalnya kesanggupan melaksanakan reboisasi. Pengusaha lain mungkin tidak memenuhi syarat yang diberikan pemberi izin. Dengan begitu, jual-beli izin harus dilarang karena transaksi itu "melewati" kewenangan negara untuk meng-uji kelayakan kelompok pembeli izin. Wewenang negara un-tuk menyeleksi seperti di-bypass begitu saja.
Yang kedua adalah soal misi yang diberikan negara kepada Global TV. Awalnya, pada Juli 1999, pemberian fre-kuen-si Global TV dilakukan bukan untuk tujuan komersial. Kelompok The International Islamic Forum for Science Technology and Human Resource Development, yang me-mohon kepada Presiden Habibie untuk memiliki stasiun te-levisi, merancang stasiun yang mengedepankan pendidik-an, budaya, serta tayangan kemanusiaan.
Izin pun keluar. Namun, dalam perjalanannya, Global TV tidak mampu melakukan siaran hingga jatuh tempo izin. Ketika diambil alih oleh Grup Bimantara pada 2000, stasiun itu menyiarkan program milik stasiun MTV-program hiburan khusus untuk remaja dan dewasa dari luar negeri. Pelanggaran misi siaran pun terjadi-sesuatu yang dilarang UU Penyiaran Tahun 1997. Tapi ketika itu terjadi kekosong-an regulator siaran televisi. Departemen Perhubungan tidak mengurusi materi siaran, sedangkan Departemen Pene-rangan sudah dibubarkan. Komisi Penyiaran Indonesia, yang kini mengawasi siaran, belum lagi terbentuk. Pelanggaran oleh Global TV tak ada yang mengusik.
Maka, meninjau kembali izin Global TV adalah langkah koreksi yang perlu. Selanjutnya, untuk memenuhi prinsip kesetaraan hak menyiarkan informasi, setiap izin frekuensi perlu ditenderkan secara terbuka. Pemberian izin televisi secara tertutup, yang membuat sebagian stasiun nasional berada di kalangan dekat bekas presiden Soeharto, harus segera diakhiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo