Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Menyehatkan Pertamina

6 Maret 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapa pemilik minyak di Cepu? Pertanya-an mendasar ini kini seolah terbisukan oleh hiruk-pikuk suara kalangan yang memperebutkan hak mengelola emas hitam itu. Di meja perundingan, Pertamina bersitegang dengan Exxon. Di Jawa Timur, soal badan usaha milik daerah mana yang akan terlibat menjadi bahan gunjingan politik yang seru. Bahkan sejumlah perusahaan swasta yang ingin menjadi mitra mereka pun sudah sibuk saling bersaing dan turut menambah kebisingan.

Gema silang sengkarut itu bergaung hingga Jakarta. Di Senayan, para politisi telah berancang-ancang menjadikan soal ini sebagai ajang untuk meraih keuntungan politik. Para pakar ramai mendiskusikannya di radio dan televisi, dan para pengamat s-ibuk menulis di koran-koran. Semua ini tentunya sah saja se-bagai bagian dari dinamika negara yang demokratis, tapi tetap saja harus dengan keyakinan yang sama: bahwa mi-nyak itu milik rakyat bangsa Indonesia. Itu sebabnya hasil yang diperoleh dari harta minyak di Cepu harus semaksimal mungkin bermanfaat bagi rakyat.

Pertanyaannya kemudian adalah, rakyat yang mana? Apa-kah hanya yang hidup saat ini atau termasuk anak-cucu kita yang belum lahir? Karena minyak adalah sumber daya alam yang tak terbarukan, rasanya lebih tepat untuk tidak membatasi manfaat anugerah Tuhan ini hanya untuk generasi masa sekarang. Itu sebabnya pemanfaatannya pun sebaiknya me-niru apa yang dilakukan bangsa Norwegia, yang menabung dan menginvestasikan seluruh hasil penjualan minyak-nya sebagai dana abadi dan hanya menggunakan keuntungan hasil investasi itu untuk kebutuhan sehari-hari. Ide pengelola-an ”Oil Fund” yang kini jumlahnya di atas US$ 200 miliar itu bahkan telah pula diikuti oleh bangsa Timor Leste dalam memanfaatkan perolehan minyak di Celah Timor. Lantas, mengapa kita tak melakukannya?

Bila pola pikir ini yang dipakai, pemerintah sebenarnya tak perlu terburu-buru mengambil keputusan soal pengelolaan Blok Cepu. Selain karena ketergesaan membuat posisi tawar dalam perundingan melemah, minyak di dalam tanah juga tak akan membusuk, bahkan nilainya akan te-rus bertambah dengan waktu. Maklum, kebutuhan manusia terhadap sumber energi ini terus membubung, sementara jumlah minyak di dalam bumi justru terus menyusut karena tak henti disedot berbagai perusahaan minyak di dunia. Sebaliknya, posisi tawar Exxon terhadap pemerintah justru akan terus menurun, bahkan sirna pada 2010. Jelaslah bahwa dalam soal ini waktu sebenarnya berpihak pada pemerintah.

Namun, dalam banyak soal lain, waktu justru bersebe-rangan dengan kita. Perbaikan kinerja Pertamina adalah salah satu contohnya. Semakin cepat hal ini dilakukan, semakin besar keuntungan yang akan diraih. Se-bagai perusahaan milik pemerintah yang ber-gerak di bidang perminyakan dan telah mem-punyai aset di seluruh penjuru negeri, Pertamina adalah salah satu institusi strategis bangsa. Perusahaan ini punya peran penting dalam mengelola salah satu kekayaan alam republik ini agar bermanfaat semaksimal mungkin bagi kemajuan bangsa.

Harus diakui, pengelolaan sumber daya alam memang merupakan persoalan strategis se-tiap negara. Bila dilakukan dengan benar, sumber daya alam yang melimpah akan membuat sebuah bangsa maju pesat. Amerika Serikat, Australia, Belanda, dan Norwegia adalah contoh negara yang berhasil melakukannya dengan benar. Sebaliknya, bila dilakukan dengan keliru, sumber daya alam yang melimpah justru menjadi kutukan suatu bangsa. Di Liberia, misalnya, kekayaan tambang intannya justru menjadi bahan baku konflik bersenjata yang tak pernah berhenti. Hal yang sama juga terjadi di Mozambik.

Indonesia jelas perlu belajar dari pengalaman berbagai ne-gara itu. Hal-hal yang baik patut ditiru dan yang b-uruk dijauhi, tentu dengan mempertimbangkan adaptasi-nya yang tepat di negeri ini. Bahwa Presiden Susilo Bambang Yu-dhoyono menaruh perhatian besar pada upaya peningkat-an kinerja Pertamina adalah hal yang menggembirakan. Persoalannya kini adalah sejauh mana perhatian itu akan bermuara pada pengambilan keputusan yang tepat dan eksekusi yang prima.

Bak seorang dokter, Presiden Yudhoyono telah mende-ngar dan melihat cukup banyak gejala negatif yang diderita Per-tamina. Ia kini sedang melakukan diagnosis untuk memastikan apa sebenarnya masalah utama perusahaan mi-nyak negara ini, lalu merancang terapi penyembuhannya. Setelah ia memastikan terapi yang dipilih, pelaksanaannya sesuai dengan rencana harus terus dipantau dan kalau perlu diadaptasi atau dikoreksi sesuai dengan perkembangan keadaan.

Pemantauan ini tak dapat hanya sebatas Pertamina, tapi juga keadaan lingkungannya. Perubahan lingkungan u-mum-nya melahirkan tantangan yang juga berganti hingga diperlukan tanggapan yang mungkin juga harus berbeda dengan sebelumnya. Sebagai contoh: agar sukses, Perta-mina harus selalu dipimpin oleh direksi yang paling sesuai dengan tuntutan zamannya.

Apa tantangan Pertamina sekarang dan di masa depan serta siapa yang paling cocok untuk memimpin perusahaan ini dalam mengatasi tantangan tersebut adalah permasalah-an yang kini menjadi pekerjaan rumah Presiden Yudhoyo-no. Ia telah dipercaya rakyat untuk memimpin negeri ini hingga 2009 nanti, kini saatnya sang presiden membuktikan bahwa pemberian amanah itu bukanlah hal yang keliru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus