Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP musim pemilihan umum tiba, setiap kali pula Komisi Pemilihan Umum kelimpungan menghadapi daftar pemilih ganda. Data kependudukan elektronik yang digadang-gadang pemerintah bakal menjadi sistem pencatatan terpadu dengan nomor induk kependudukan tunggal ternyata bermasalah. KPU harus membuat data pemilih sementara yang kemudian diketuk sebagai daftar pemilih tetap (DPT).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumlah pemilih ganda tak main-main. KPU memang telah menetapkan pemilih tetap Pemilu 2019 sebanyak 187,7 juta. Tapi koalisi pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengklaim menemukan 25,4 juta data pemilih ganda. Jika klaim itu benar, artinya ada sekitar 15 persen pemilih yang bisa mencoblos di beberapa bilik suara dalam pemilihan presiden dan anggota legislatif pada 17 April 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPU telah menyatakan data ganda yang ditemukan koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga tak akurat karena hanya mengetahui 12 dari 16 angka dalam nomor induk kependudukan (NIK) pemilih. Setelah memeriksa data pemilih dengan NIK yang utuh dan tujuh elemen lainseperti jenis kelamin dan alamatdata ganda di dalam DPT tak sebanyak yang diklaim partai.
Tapi temuan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) tak bisa disepelekan. Bawaslu mencatat ada lebih dari satu juta data pemilih ganda dalam daftar pemilih tetap. Jumlah tersebut merupakan hasil analisis terhadap DPT di 285 kabupaten/kota. Di 514 kabupaten/kota yang ada di seluruh Indonesia, Bawaslu memperkirakan ada lebih dari dua juta pemilih ganda.
Diduga banyak orang yang terdaftar sebagai pemilih lebih dari satu kali. Bahkan ada yang terdaftar sampai belasan kali. Ketidakwajaran itu mesti ditelusuri lebih lanjut. KPU, Kementerian Dalam Negeri, Bawaslu, dan partai politik perlu duduk bersama mencocokkan data masing-masing. Aksi saling tuding antara KPU dan pemerintah, juga partai dengan penyelenggara pemilu, harus segera dihentikan.
Bagaimanapun, daftar pemilih bersifat dinamis karena jumlah penduduk bisa bertambah dan berkurang setiap hari. Data ganda bisa ditemukan bila ada warga yang pindah domisili tapi tak melapor kepada ketua rukun tetangga setempat sehingga data kependudukannya tak dicabut. Hal lain adalah faktor perekaman identitas sebanyak dua kali lantaran proses pemasukan data yang kurang tuntas.
Pemutakhiran data karena itu harus dilakukan. Selain bisa memanfaatkan data sensus penduduk terbaru, KPU semestinya menggunakan daftar penduduk pemilih potensial pemilu (DP4) yang disusun Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil sebagai acuan.
Pengabaian terhadap DP4, sebagai contoh, terbukti berakibat buruk pada pemilihan kepala daerah di Kabupaten Sampang, Jawa Timur. Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemilihan ulang setelah ditemukan DPT yang tak wajar karena KPU Sampang memakai DPT pemilu presiden 2014. Dari 850 ribu pemilih di DPT, ada kelebihan 150 ribu pemilih jika dibandingkan dengan data DP4jumlah yang sangat signifikan.
Hal terpenting yang harus dilakukan pemerintah untuk mencegah berulangnya data pemilih bermasalah adalah memperbaiki administrasi perekaman data kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Semestinya administrasi kependudukan yang bersifat elektronik itu sudah selesai beberapa tahun lalu jika proyek e-KTP tak dikorupsi. Jika data pemerintah yang lebih rapi itu bisa dipakai, semestinya biaya pemilu menjadi lebih hemat. KPU pun tak perlu repot membuat data pemilih baru.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo