Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPOLISIAN Republik Indonesia harus segera mengumumkan nasib tak kurang dari 350 terduga teroris yang ditangkap dan ditahan Detasemen Khusus 88 Antiteror di seluruh Indonesia selama tiga bulan terakhir. Kondisi fisik dan psikis mereka harus diperiksa saksama dan hasilnya diumumkan secara terbuka. Ini penting untuk membuktikan benar-tidaknya tuduhan mereka menjadi korban interogasi yang berlebihan semasa di tahanan polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Respons cepat Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menanggapi tudingan ini amat diharapkan untuk menjernihkan simpang-siur informasi yang kini beredar. Akibat tertutupnya proses penangkapan dan penahanan para terduga teroris, publik hanya mendapat informasi sepihak dari pihak-pihak yang mempersoalkan cara kerja polisi. Apalagi keluarga dan pengacara mengklaim tak diberi akses untuk menjenguk mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika kelak ada indikasi bahwa penangkapan para terduga teroris ini menyalahi prosedur dan ada teknik pemeriksaan yang mengarah pada penyiksaan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia harus segera meminta polisi menghentikan operasi antiterornya. Kemudian Komnas HAM bisa memulai penyelidikan atas dugaan tindak pidana pelanggaran hak asasi berat.
Sejauh ini, polisi hanya menyatakan orang-orang yang ditangkap adalah anggota Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Penangkapan dilakukan karena Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada akhir Juli 2018 memutuskan JAD terbukti berafiliasi dengan organisasi teroris Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Masalahnya, apakah keterkaitan dengan organisasi teroris tertentu cukup kuat sebagai alasan penangkapan?
Kita tahu operasi antiteror Detasemen Khusus 88 menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme sebagai dasar hukumnya. Undang-undang yang baru direvisi sepekan setelah insiden bom Surabaya pada Mei 2018 itu memang memberikan keleluasaan kepada polisi untuk menciduk terduga teroris secara diam-diam. Polisi juga boleh menahan terduga teroris selama 200 hari untuk kepentingan penyidikan. Kewenangan besar ini diberikan agar polisi bisa mengantisipasi dan menggagalkan serangan teror sebelum terjadi.
Di lapangan, kewenangan besar itu rawan disalahgunakan. Penangkapan tanpa memberi tahu keluarga sulit dibedakan dengan penculikan. Lamanya waktu penahanan juga bisa dinilai melanggar hak asasi tersangka. Selain itu, Undang-Undang Antiterorisme punya definisi yang terlampau luas soal "terduga teroris" dan cara penanganannya. Akibatnya, simpatisan atau orang yang punya hubungan dengan organisasi teroris saja dapat ditangkap polisi, tanpa peduli derajat keterlibatan yang bersangkutan.
Penegakan hukum yang serampangan bisa merusak kepercayaan publik pada kapabilitas dan profesionalisme polisi dalam menangani kasus terorisme. Selama ini, warga menaruh harapan besar pada kemampuan Detasemen Khusus 88 untuk mendeteksi jejaring teror dan menggagalkan rencana-rencana mereka. Sayang jika modal kepercayaan itu tergerus oleh operasi-operasi antiteror yang sulit dipertanggungjawabkan.
Karena itu, sudah saatnya Dewan Perwakilan Rakyat mengkaji kembali pasal-pasal yang bermasalah dalam Undang-Undang Pemberantasan Terorisme. Selain itu, DPR bisa membentuk tim pengawas penanggulangan terorismesesuatu yang justru menjadi amanat Undang-Undang Antiterorisme sendiri. Ini harus segera dilakukan agar operasi pemberantasan terorisme tidak menebar teror baru.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo