ADA 1970, Ismail menjadi pemuda Muhammadiyah. Selama seminggu, ia dilatih secara intensif di Darul Arqam -- wadah pengaderan Muhammadiyah. Ia mempelajari paham agama dalam Muhammadiyah. Kepribadian Muhammadiyah, Khitah Perjuangan Muhammadiyah. Ia pulang dengan membawa himpunan keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah berisi fatwa-fatwa resmi yang harus diamalkan anggota Muhammadiyah. Segera setelah kembali ke kampungnya, ia aktif memperjuangkan paham Muhammadiyah. Ia merasa sangat berbahagia ketika masjid jami di kampungnya menurunkan beduk dan menghilangkan azan awal pada hari Jumat. Sebagai kader Muhammadiyah, ia berhasil mengembalikan umat kepada Quran dan hadis. Lima belas tahun kemudian, Ismail masih pemuda Muhammadiyah. Tetapi kini ia bekerja sama dengan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama dan bahkan bergabung dengan salah satu tarekat yang dahulu dibidahkannya. Ia mengelola LSM yang menbantu kelompok ekonomi lemah. Ia memimpin majelis taklim yang mendawamkan salawat Badriyah yang dahulu dianggap musyrik. Jamaahnya tidak lagi mempersoalkan kemuhammadiyahannya. Rupanya, banyak orang seperti Ismail: berasal dari NU, Persis, Al Irsyad, Al Washliyah, dan lain-lain. Pada saat sebagian anggota Muhammadiyah mulai mengamalkan kunut, sebagian anggota NU meninggalkannya. Dahulu NU menyebut dirinya Ahlu Sunnah wal Jamaah dan Muhammadiyah dkk. kaum Wahabi. Sekarang Muhammadiyah dkk. juga menyatakan dirinya Ahlu Sunnah wal Jamaah: sementara NU menjadi lebih liberal dari Wahabi. Kini, khususnya pada kalangan anak-anak muda, ikhtilaf mazhab tidak lagi menjadi fokus perhatian. Buat mereka, tantangan yang dihadapi umat Islam jauh lebih besar daripada perbedaan dalam cara-cara ibadat. Anak-anak muda Islam tidak lagi berdebat tentang mana yang sunah dan mana yang bidah. Mereka berdiskusi tentang Islamisasi sains, ekonomi, politik, kebudayaan, dan masyarakat. Yang menjadi persoalan bukan bagaimana cara haji yang sah, tetapi bagaimana menghadapi pejabat yang tidak mau naik haji. Bukan lagi berapa rakaat tarawih, tetapi berapa orang karyawan yang tidak mau tarawih. Bukan lagi persoalan beda fakir dan miskin, tetapi bagaimana meningkatkan kualitas hidup keduanya. Apakah yang menyebabkan Islam kini lebih terbuka, lebih sosial, dan lebih nonsektarian (yakni tidak fanatik mazhab)? Pertama, tingkat pendidikan rata-rata kaum muslim yang lebih tinggi daripada sebelumnya, ditambah arus informasi internasional yang lebih besar menumbangkan sekat-sekat mazhab. Lihatlah, buku-buku Mawdudi dan Fazlur Rahman (yang berkembang dari tradis mazhab Hanafi), Ali Syariati dan Mutahhari (yang bermazhab Ja'fari) dibaca secara luas oleh kaum muslim Indonesia (yang secara tradisional mengikuti Syafii). Era informasi telah menimbulkan globalisasi Islam sebagai satu mazhab pemikiran. Kedua, ikhtilaf mazhab fikih -- biasanya berkenaan dengan hal-hal yang ritual -- dirasakan tidak lagi relevan dengan tuntutan zaman. Anda menghargai orang bukan karena salatnya sama seperti salat Anda, tetapi karena ia memberikan kontribusi kepada kepentingan Islam lebih besar daripada kontribusi Anda. Manakah yang menguntungkan umat Islam: orang yang ushalli atau yang tidak ushalli? Lebih dari itu, sekarang orang menyadari bahwa perbedaan mazhab fikih itu sering dibesar-besarkan untuk kepentingan politik. Parmusi dan NU sama-sama partai Islam. Untuk membedakannya, umat melihat masalah fikih. Parmusi, yang didominasi Muhammadiyah dan kawan-kawan, membidahkan tahlilan dan salawat Badriyah. NU tentu menyunahkannya. Kini setelah kedua partai itu lebur menjadi PPP, isu-isu fikih menjadi tidak relevan. Bahkan isu-isu Islam pun tidak, karena toh PPP sudah menanggalkan asas Islamnya. Kesadaran bahwa konflik mazhab itu lahir dari kepentingan politik adalah sebuah kesadaran sejarah. Bukankah dua mazhab awal -- Suni dan Syiah -- muncul karena perbedaan visi politik? Suni ingin melegitimasikan kepemimpinan yang sudah ada, sementara Syiah mempertahankan kepemimpinan keluarga Rasul. Dari perbedaan pandangan politik, dijabarkan perbedaan fikih. Ketika Ali dan pengikutnya mengeraskan bacaan basmalah pada salat, Muawiyah dan para ulamanya memfatwakan basmalah yang sirr (tidak dibaca keras). Ketika orang-orang Syiah mengusap kakinya dalam berwudu, orang-orang Suni membasuhnya. Ibnu Abbas pernah mengeluh, "Ya, Allah, mereka telah meninggalkan sunah Nabi hanya karena kebencian kepada Ali" (Sunan Al Nasai 5:253). Ratusan tahun kemudian, Ibnu Taymiyah berfatwa bahwa penting meninggalkan amal yang sunat bila amal itu dipraktekkan oleh orang-orang Syiah. Studi kritis sejarah Nabi menunjukkan bahwa puasa Asyura ternyata hasil rekayasa politik untuk menandingi kaum Syiah, yang menjadikan hari itu hari dukacita. Terakhir, orang-orang yang menyebarkan isu Sunah-Syiah di Indonesia aktif sejak perang Irak-Iran dan tampak limbung setelah Irak menyerang Kuwait. Dalam pengajian Paramadina di Jakarta sebulan yang lalu, disimpulkan bahwa mazhab-mazhab fikih berkembang sejalan dengan perkembangan sistem politik. Kesadaran inilah tampaknya yang mengubah Ismail belakangan ini. Orang-orang seperti Ismail ingin mengikuti tradisi sahabat Ibnu Mas'ud. Ibnu Mas'ud kecewa betul ketika mendengar Khalifah Usman salat lohor dan azar empat-empat rakaat di Mina. Usman dianggap telah meninggalkan sunah Rasulullah. Tetapi, ketika Ibnu Mas'ud salat berjamaah di Mina di belakang Usman, ia salat seperti salatnya Usman. Ketika orang mempertanyakan hal itu, Ibnu Mas'ud berkata, "Bertengkar itu semuanya jelek!" (Abu Dawud).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini