FIGURNYA mudah dikenal. Tinggi, berkumis tebal, dan suaranya yang parau akan melontarkan kata-kata Inggris beraksen Australia yang kental. Itulah wartawan kawakan Australia, Peter Hastings, 69 tahun. Ia mengembuskan napasnya yang terakhir dalam tidur Selasa malam pekan lalu di rumahnya, di pinggir pantai Manly, Sydney, Australia. Bekas wartawan harian The Sydney Morning Herald (TSMH) itu diduga sudah cukup lama menderita penyakit komplikasi jantung dan paru-paru kronis. Hastings di Indonesia lebih dikenal sebagai wartawan TSMH meski sebenarnya ia berpengalaman di banyak media lain. Hastings memulai karier jurnalistiknya di Australia Consolidated Press, kemudian The Daily Telegraph dan The Sunday Telegraph. Pada tahun 1966-1970 namanya kian dikenal sebagai wartawan peliput masalah luar negeri, terutama ketika ia bergabung dengan koran The Australia dan akhirnya TSMH. Lulusan Sydney Grammar School (1938) itu lebih dikenal sebagai "ahli masalah Indonesia dan negara-negara Pasifik" karena ia mengaku mencintai kawasan tersebut. Belakangan ini dia banyak menulis tentang masalah di Irian Barat. Lelaki yang pernah menggabungkan diri pada militer Australia pada masa Perang Dunia II itu juga dikenal sebagai wartawan yang kritis, baik terhadap keadaan sosial-politik negaranya sendiri maupun negara yang diliputnya. Ia juga mencoba tetap obyektif. Salah satu tulisannya yang dimuat di TSMH bulan Mei 1987 lalu berjudul: East Timor's War in Facts and Figures. Tulisan itu bernada simpatik terhadap pembangunan di Timor Timur. Kawan-kawan Hastings di Indonesia bertebaran, dari kalangan pers hingga pejabat. Menlu Ali Alatas kepada TSMH mengaku sangat kehilangan Hastings, yang dikenalnya sejak 1960-an. Ia meninggalkan dua orang anak (Ian dan Robert) dari istri pertama. Isteri kedua, Jolika, dinikahinya pada 1981. Senin pekan ini, jenazah Hastings dikremasikan di Northern Suburbs Crematorium di Sydney.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini