UNTUK kesekian kalinya Jaksa Erwan Sartono mencari-cari terdakwa Timin. Namun, tak sekali pun Timin alias Toyib, 54 tahun, yang dituduh mengedarkan uang palsu, hadir di persidangan Pengadilan Negeri Surabaya. Rabu pekan lalu, Erwan, melalui pengeras suara, kembali memanggil-manggil Timin agar memasuki ruang sidang. Toh tak ada sahutan sehingga sidang terpaksa ditunda lagi. Kali ini ketua majelis Soenjoto memerintahkan jaksa menghadirkan terdakwa secara paksa. Yang dipanggil, pada waktu itu, lucunya, tenang-tenang saja tinggal di rumahnya. "Saya tidak mau disidang lagi," kata tukang jagal sapi itu kepada TEMPO. Ia menganggap perkaranya yang sudah pernah divonis Pengadilan Tinggi Jawa Timur sudah selesai. Timin ada benarnya. Di Pengadilan Negeri Surabaya itu juga ia, pada Agustus 1989, pernah dihukum majelis hakim yang diketuai Djautan Purba 8 tahun penjara. Ia dianggap hakim terbukti bersalah mengedarkan uang palsu Rp 5.000-an senilai Rp 1 juta. Kasus peredaran uang palsu ini memang terbukti tuntas di persidangan. Melalui perantara Muki, Ali, dan Soli -- ketiganya buron -- terdakwa Timin memperoleh uang palsu senilai Rp 1 juta. Uang tak sah itu dibeli Timin dari Sucipto dengan harga Rp 500 ribu. Dengan uang "murah" itu kemudian Timin membeli dua ekor sapi milik Miskan dan Haji Soleh seharga Rp 520 ribu dan Rp 360 ribu. Tak lama kemudian Timin ditangkap karena kedua pemilik sapi asal Bangkalan, Madura, itu melapor ke polisi. Rupanya, uang yang diterima mereka dari Timin tak laku dibelanjakan. Ternyata, di peradilan banding, Desember tahun lalu, majelis hakim yang diketuai Atmintarso menolak dakwaan jaksa tersebut. Menurut majelis banding, dakwaan primer Jaksa Erwan kabur karena tak mencantumkan unsur-unsur tuduhan peredaran uang palsu. Bahkan, dalam dakwaan subsider, hata Atmintarso, Jaksa melakukan kesalahan fatal. Di situ ada kalimat, " . . . terdakwa tidak tahu bahwa pada waktu menerima uang kertas Rp 1.000.000 dari Soli itu adalah palsu." Kata "tidak tahu" itu bisa menimbulkan penafsiran bahwa terdakwa tidak sengaja mengedarkan uang palsu itu. Karena itu, selain menolak dakwaaan tersebut majelis juga memerintahkan agar Jaksa melepaskan Timin dari tahanan sementara. Celakanya, keputusan pengadilan tinggi itu, khususnya perintah melepaskannya dari tahanan, ditafsirkan Timin sebagai vonis bebas. Terdakwa, yang sempat kenduri merayakan "vonis bebas"-nya itu, tak lagi bersedia dipanggil ke persidangan. Tapi ada alasan yang lebih "yuridis". Pembela Timin, Suharyono, menganggap persidangan "ulang" itu ne bis in idem (suatu perkara yang sudah diputus pengadilan tidak bisa lagi diadili untuk kedua kalinya) "Jaksa tak punya dasar apa-apa untuk memperkuat langkahnya mengajukan dakwaan kembali," katanya. Itu sebabnya Suharyono merasa tak berkewajiban membujuk Timin agar mau dihadapkan di persidangan lagi. "Apa kewenangan saya. Tugas saya sudah selesai begitu Timin dibebaskan Pengadilan Tinggi," kata Suharyono. Pihak kejaksaan menganggap perlu memperbaiki dakwaannya dan menyeret kembali Timin ke persidangan. Perintah hakim agar Timin dilepaskan dari tahanan, menurut Jaksa, tak berarti terdakwa bisa bebas begitu saja. "Kami tidak memilih kasasi lantaran masih terbuka jalan untuk mengajukan kembali perkara itu ke pengadilan," kata Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Surabaya, Basrif Arief. Pendapat jaksa itu juga dibenarkan ketua majelis hakim Soenjoto karena putusan peradilan banding belum masuk pada keseluruhan materi perkara. "Jadi, terdakwanya belum dapat dikatakan bebas murni," katanya. "Makanya, kami sudah memerintahkan jaksa untuk memanggil terdakwa secara paksa." AB dan Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini