DEPOSITO berjangka bukan saja merupakan sumber daya yang paling besar bagi perbankan, tapi juga merupakan sumber daya yang meningkat paling cepat dibanding bentuk tabungan lain. Tahun lalu deposito berjangka meningkat dengan Rp 5 trilyun (46% padahal pada 1986 cuma bertambah dengan Rp 1,6 trilyun. Dari mana uang sebanyak ini berasal? Ada dua kemungkinan sumber. Yang pertama, belum cukup terbukanya peluang untuk investasi karena deregulasi yang belum tuntas. Sumber kedua adalah kembalinya modal dari luar negeri. Dugaan ini diperkuat oleh angka pada neraca pembayaran, dengan pos error and omission menunjukkan angka positif US$ 200 juta pada tahun anggaran 1987-88, setelah dua tahun sebelumnya menunjukkan angka negatif US$ 1,7 milyar. Jadi, memang ada modal yang kembali, terutama pada semester kedua tahun lalu. Yang belum begitu jelas adalah mengapa modal yang dulu lari itu kembali lagi. Karena dirayu oleh bunga deposito yang tinggi? Atau karena iklim yang membaik setelah "gebrakan Sumarlin" dan beberapa tindakan deregulasi setelah itu? Atau karena kedua-duanya. Kalau yang terakhir ini merupakan sebabnya, tampaknya sulit untuk tahu sejauh mana aliran modal itu peka terhadap berubahnya suku bunga. Dampak "gebrakan Sumarlin" adalah melonjaknya suku bunga ketika bank-bank mengalami kesulitan mencari dana akibat di-"konsinyirnya" uang beberapa BUMN di Bank Indonesia. Bunga deposito di bank-bank pemerintah sempat naik menjadi 20%. Pada saat itu modal yang tadinya lari ke luar negeri mulai kembali lagi. Ini bisa dilihat dari catatan Bursa Valuta Asing yang lebih banyak membeli dolar daripada menjualnya. Beberapa bulan kemudian, suku bunga ini turun menjadi 17%, lalu turun lagi ke 15,5%. Sesaat terjadi kekhawatiran bahwa modal yang kembali itu akan lari lagi. Tapi ternyata mereka tetap tinggal di sini. Pengenaan pajak penghasilan terhadap bunga deposito sama efeknya seperti turunnya suku bunga. Apabila penghasilan bunga deposito dikenai PPH 15% final, bagi bank yang memberi suku bunga 15% seolah-olah bunganya turun menjadi 13,2%. Atau bila suku bunga tadinya 18,5%, seolah turun menjadi 15,7%. Secara nominal, suku bunga setinggi ini masih dua kali lipat bunga yang diterima dari deposito dalam dolar, sekalipun secara riil (selisih bunga nominal minus inflasi) perbedaan bunga rupiah dan dolar sudah kecil. Tapi deposito rupiah masih tetap punya keunggulan dibanding deposito dolar karena si penyimpan dolar akan mengalami kerugian kurs bila dia menjual dolarnya kembali manakala dia perlu rupiah. Untuk mengetahui pengaruh pengenaan pajak penghasilan atas bunga deposito, perlu diketahui siapa pemilik deposito tersebut. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Indonesia mencatat golongan pemilik deposito berjangka, meski yang dicatat hanya deposito berjangka di bank-bank pemerintah. Toh komposisi yang digambarkan tampaknya mencerminkan pola yang berlaku. Dari situ kelihatan bahwa deposito berjangka yang dimiliki perorangan merupakan 30% dari seluruh deposito, dan merupakan bagian terbesar. Selanjutnya berturut-turut BUMN (20%), perusahaan asuransi (16%), yayasan (12%). Sisanya milik perusahaan swasta, koperasi, dan lembaga-lembaga pemerintah. Struktur pemilikan seperti ini menunjukkan bahwa seandainya terjadi kepanikan, maka yang berada di bawah komando pemerintah untuk tetap tenang paling hanya BUMN. Sisanya, yang merupakan sebagian besar pemilik, berada di luar penguasaan pemerintah. Sekalipun golongan pemilik deposito tersebut masing-masing akan mempunyai respons dan persepsi yang mungkin berbeda terhadap suatu kebijaksanaan ekonomi, dalam satu hal mereka punya sikap yang sama, yaitu tingkat suku bunga yang diharapkan dari pasar uang. Suku bunga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ekspektasi terhadap inflasi, tingkat kelangkaan dana, efisiensi sistem perbankan, dan untuk Indonesia saat ini ekspektasi terjadinya devaluasi dalam waktu dekat. Suku bunga di sini dirasa masih tinggi, karena faktor yang masih dominan adalah besarnya ekspektasi terhadap inflasi dana devaluasi, dan juga adanya faktor kelangkaan modal. Semua ini memberi masukan kepada para pemilik uang, yang lalu berhitung dan menetapkan tingkat suku bunga yang bisa mereka terima untuk dana yang mereka lepaskan itu. Apabila pajak penghasilan masuk dalam. hitungan, perhitungan mereka juga berubah. Seandainya PPH yang dikenakan 15%, maka kalau selama ini mereka menerima bunga 15,5%, bank yang bersangkutan harus menaikkan suku bunganya menjadi 17,8%. Kalau tidak, sebagian deposito ini akan ditarik keluar. Dan sebaiknya memang bank-bank memenuhi tuntutan pemilik uang ini. Dalam keadaan ekonomi masih mengalami kelangkaan dana, siapa yang memiliki dana akan memiliki posisi tawar-menawar yang kuat. Alasan pokok dikenakannya pajak terhadap bunga deposito adalah tambahan penerimaan pajak Rp 400-500 milyar (tergantung apakah yang akan diberlakukan PPH 15% atau PDBR 20%), di samping alasan keadilan. Pemerintah tampaknya mulai khawatir setelah melihat realisasi penerimaan pajak 1987-88 sedikit di bawah anggaran (bila restitusi pajak dikeluarkan dari angka penerimaan), padahal sasaran penerimaan pajak tahun anggaran ini meningkat 29% menjadi Rp 9 trilyun. Pemerintah bisa saja memperoleh yang dikehendakinya ini, tapi untuk ini dia mesti membayar harga. Bila pajak dikenakan terhadap bunga deposito, jelas tidak semua deposito akan lari keluar, tapi cuma sebagian. Tapi berapa "sebagian" ini: 10%, 25%, atau 50%? Karena jumlah seluruh deposito berjangka sangat besar, sekitar Rp 15 trilyun ditambah sekitar Rp 2 trilyun Tabanas dan Taska, maka kalau "sebagian" itu yang terkecil (10% atau 15%), maka kita masih bicara jumlah Rp 1,5 sampai Rp 2 trilyun yang mungkin ditarik dari sistem perbankan. Bagi sistem perbankan, deposito berjangka merupakan bagian terbesar dari dana yang mereka kumpulkan. Banyak bank yang 70% dananya berasal dari deposito berjangka. Apabila jumlah deposito berjangka guncang karena akan dikenai pajak, beberapa bank akan bisa ikut terguncang. Bukan itu saja. Anda tahu bila jumlah Rp 2 trilyun itu digunakan untuk membali dolar, dengan kurs sekarang ini akan bisa diperoleh sekitar US$ 1,2 milyar atau 20% dari cadangan devisa kita. Mudah-mudahan pemilik deposito yang lain tidak ikut-ikutan memborong dolar. Tapi kalau mereka juga menjadi panik karena melihat dolar sebanyak itu diborong, kepanikan juga akan melanda anggota masyarakat yang lain. Kalau hal ini sudah terjadi, apa yang mesti dilakukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini