SEBAGIAN besar masa kariernya habis di daerah. Selepas menamatkan akademi militer Magelang, 1960, ia menjadi komandan peleton pada sebuah batalyon Siliwai di Cipanas, Bogor. Dari sana berpindah-pindah ke berbagai daerah, dan setelah 25 tahun, baru ia masuk ke Jakarta, April 1985, dengan pangkat mayor jenderal sebagai Asisten Personalia pada Kepala Staf Umum ABRI. "Mungkin karena terbiasa tinggal di daerah, anak saya tak kerasan di Jakarta," kata Menteri Transmigrasi, Soegiarto, 52 tahun, kini jenderal berbintang tiga. Dalam jabatan barunya, pengalaman itu memberi manfaat bagi bekas Kasospol ABRI itu. Setidaknya, ia sudah cukup mengenal berbagai proyek transmigrasi di daerah-daerah. Ia, misalnya mengenal daerah transmigrasi di Luwuk, Sulawesi Selatan, karena pernah mengunjungi daerah itu sebagai Panglima Kodam XIV Hasanuddin. Dalam beberapa tahun ini anggaran departemen itu melorot terus. Baru tahun ini menaik sedikit menjadi sekitar Rp 124 milyar, dari Rp 111 milyar tahun sebelumnya. Proyek memindahkan manusia yang dibebankan pada Soegiarto memang bukan sesuatu yang mudah dipikul. Tapi katanya, "Sebagai prajurit, saya sudah dibiasakan selalu memberikan yang terbaik, dan tidak memandang enteng semua tugas." Di kantornya, di Jalan Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu Soegiarto meluangkan waktu sekitar dua jam untuk berbincang-bincang dengan Amran Nasution, Putut Tri Husodo, dan Tri Budianto Soekarno, dari TEMPO. Petikan wawancara itu: Setelah anggaran melorot terus, Departemen Transmigrasi seperti pasukan yang baru kalah perang. Para pegawai resah, jumlah pegawai dikurangi. Bagaimana Anda melihatnya? Saya sedang mengevaluasi. Tapi tentunya sikap saya yang pertama ialah mencegah keresahan. Dalam situasi ekonomi yang serba sulit, lalu kita datang membawa keresahan, tentu tidak menguntungkan iklim dan semangat kerja di sini. Sebagai contoh, saya datang kemari seorang diri, tidak membawa ajudan, tidak membawa siapa-siapa, supaya tidak menambah kursi di sini. Sebagai anggota ABRI, saya sudah terbiasa bekerja dalam tim, dan tentunya saya percaya para pembantu menteri yang lama bisa juga dipakai. Ya, sepanjang mereka tidak aneh-aneh. Apa itu berarti tidak akan ada mutasi? Lho, itu 'kan sudah ada polanya. Kalau di ABRI, kita menduduki suatu jabaun struktural itu tiga tahun. Pada masa itu, kemampuan kita dilihat. Tapi kalau ada mutasi, jangan cepat diinterpretasikan ada apa-apa. Mutasi itu suatu proses pembinaan. Sebagai tentara saya pernah baru memboyong keluarga satu malam, sudah harus pindah lagi. Saya juga pernah tidak punya jabatan. Luntang-lantung. Jadi, saya bisa menghayati bagaimana rasanya tak punya jabatan. Dulu, untuk mengejar target, banyak proyek transmigrasi yang terisolasi, dibangun tanpa ada jalan ke sana. Itu 'kan sama saja dengan membuang transmigran ke tengah hutan? Itu memang sangat merugikan citra transmigrasi, karena betapapun transmigran d sana bisa frustrasi. Rehabilitasi jalannya akan kita tangani. Tahun ini anggaran Departemen Transmigrasi meningkat sedikit. Prioritasnya apa? Sasaran kita adalah meningkatkan kualitas dalam mengisi lokasi permukiman itu. Misalnya kondisi jalannya ditingkatkan, sehingga nanti bisa didatangi alat transporusi umum. Kemudian, dalam bentuk pemberian fasilitas untuk meningkatkan kualitas manusianya. Seperti kita beri pendidikan keahlian auu kejuruan, agar kalau memakai istilah Pak Habibie, kita memberikan nilai tambah pada mereka sebagai manusia. Kita beri kredit untuk mendirikan koperasi, supaya koperasi berkembang di sana. 'Kan selain masalah lemahnya organisasi manajemen, modal juga masalah mendirikan koperasi. Orang miskin disuruh memodali koperasi, ya, berat. Mengapa transmigrasi swakarsa kurang maju? Namanya saja swakarsa, sey support. Orang yang tak punya kemampuan apa-apa, miskin, tak punya modal, pendidikan rendah, ditantang untuk mandiri di daerah baru yang dia sendiri tidak tahu seperti apa. Ini 'kan suatu proses yang luar biasa. Transmigrasi swakarsa itu tak mungkin bisa berkembang kalau tak ada rangsangan-rangsangan di sana. Kalau transmigran diibaratkan kumbang, di sana harus ada bunga-bunga mawar yang harumnya sampai disini. Apa saja yang bisa jadi mawar? Misalnya di daerah transmigrasi itu ada proyek yang menarik. Sebaiknya proyek itu dikembangkan swasta. Jadi, peranan swasu besar sekali untuk menciptakan mawar di sana. Selain itu, dengan keterbatasan dana, apakah transmigrasi umum masih ada sekarang? Dalam tahun 1988/1989 ini kita akan mengirimkan 11.000 transmigran umum. Ke daerah mana mereka diprioritaskan? Irian Jaya 'kan daerah yang luas, mestinya 'kan jadi prioritas? Memang kita akan memprioritaskan ke timur, karena masih tersedia lahan. Dulu Gubernur Isaac Hindom cukup menggebu-gebu untuk transmigrasi. Tapi kemudian muncul keresahan - entah karena dipengaruhi OPM - seolah-olah Irian Jaya akan di-Jawa-kan. Nah, menurut Anda, bagaimana idealnya seorang gubernur di Irian Jaya berperan? Kita bisa membayangkan bagaimana tertinggalnya rakyat Irian Jaya. Serendah-rendahnya transmigran yang dikirim dari sini, setidaknya mereka punya keterampilan bertani. Mereka masih lebih baik dari penduduk setempat, yang masih merupakan peladang berpindah. Selain itu, transmigran, sebagai kaum pendatang, seakan dilindungi: mereka masih mendapat jaminan hidup selama 18 bulan. Situasi ini menimbulkan gap dan menimbulkan kerawanan. Maka, di sini, pemda mesti mampu memanfaatkan bagaimana agar daerah yang baru dibuka sebagai proyek transmigrasi, manfaatnya juga bisa dinikmati masyarakat setempat. Soal ini mesti dipecahkan bersama di lapangan. Tidak bisa di belakang meja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini