ADA anggota PKI menduduki Jabatan yang strategis di pemerintahan? Siapa? Sampai akhir minggu lalu, orang masih terperangah membaca beber apa surat kabar yang gencar memberitakan isu itu. Menko Polkam Sudomo, usai melapor kepada Presiden Soeharto di Bina Graha minggu lalu, ikut menanggapi. "Kalau masyarakat mengetahui ada unsur-unsur PKI yang duduk di pemerintahan, sebaiknya menulis laporan yang jelas kepada Kopkamt-b agar bisa segera dlambil tindakan tegas, tidak hanya membuat pernyataan di koran-koran." Kepada TEMPO, Sudomo juga menekankan agar pers jangan sembarangan menuduh seseorang berindikasi G-30S/PKI. Sebab, bila tidak ada bukti dan memang yang bersangkutan tidak terlibat, bisa mencemarkan nama baiknya. Lagi pula, akibat pemberitaan itu, masyarakat bisa resah. Heboh adanya kemungkinan bekas PKI duduk di pemerintahan pertama kali disiarkan oleh harian Jayakarta yang terbit di Jakarta. Setelah menyiarkan berbagai tanggapan mengenai mundurnya Letjen. (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo dari keanggotaan DPR-RI, koran independen yang pernah diasuh sejumlah purnawirawan ABRI - dan baru terbit kembali 1 Maret 1988 - itu menyiarkan wawancara dengan tokoh antikomunis itu dengan judul sangat "mengundang": Yang Berbat PKI Madiun Jangan Diberi Posisi Kunci. Tapi kemudian, bekas komandan RPKAD itu membantah seolah-olah ia mensinyalir ada orang-orang berindikasi PKI di pemerintahan. Kepada TEMPO, ia membeberkan latar belakang munculnya isu itu. Ketika berita mengenai pengunduran dirinya dari DPR dimuat secara luas, beberapa wartawan mendatanginya menanyakan duduk perkaranya. "Salah seorang di antaranya bertanya mengenai kasus Payakumbuh. Ya saya jawab sesuai dengan pendirian saya," katanya. Dan pendirian itu, katanya, tidak seperti yang dimuat Jayakarta. Pendirian Sarwo, 63 tahun, begini. Bekas upol yang sudah dimasyarakatkan harus diterima secara wajar, jangan digencet. Tapi janganlah mereka diberi kesempatan menduduki jabatan penting yang strategis di pemerintahan. "Ini tidak berarti saya bilang ada orang komunis duduk di pemerintahan. Untuk menuduh begitu 'kan harus ada bukti. La kalau saya tahu ada PKI di pemerintahan, tentu saya akan laporkan ke intel, ke Bakin, bukan dengan ngomong begitu," tambahnya. Yang dimaksud dengan kasus Payakumbuh ialah dipecatnya Syamsir Alamsyah sebagai Ketua DPD Golkar tingkat II Payakumbuh dan Ketua F-KP di DPRD Kota Madya Payakumbuh, Sumatera Barat karena ia jelas berindikasi PKI (TEMPO, 9 April 1988). Ramai-ramai soal infiltrasi PKI ini kian gencar ketika beberapa hari kemudianJayakarta menyiarkan wawancara dengan Mayjen. (Purn.) Nichlany Soedaryo, 62 tahun, bekas Wakabakin yang juga pernah menjabat Dirjen Imigrasi. Wawancara Nichlany yang kini Direktur Eksekutif Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika itu disiarkan dengan judul Beberapa Posisi Kunci dalam Pemerintahan, Raujan. Bukan cuma itu, Jayakarta juga menurunkan wawancara dengan beberapa tokoh lain mengenai bahaya komunis. Bahkan memuat artikel empat seri, Komunisme dari Masa ke Masa. Kemudian koran-koran lain mengingatkan usaha dua orang bekas PKI di Sumatera Barat mendirikan partai baru PKI (TEMPO, 23 April 1988). Menurut Nichlany, pernyataannya itu hanya bermaksud membangunkan orang, agar waspada terhadap ancaman komunis. Soalnya, PKI selalu bergerak dengan ideologi dan bahasa sama, dan dapat bekerja dengan organisasi tanpa bentuk alias OTB. "Dengan mudah mereka menyusup kesana-kemari. Sudah dua kali - 1948 dan 1965 mereka kudeta dengan kekerasan. Maka boleh jadi kini akan bergerak secara halus," tuturnya pada TEMPO. Benarkah ada orang PKI yang di pemerintahan? Kadispen/Humas Kopkamtib, Kolonel Nurhadi, membantah. Orang-orang yang duduk di posisi-posisi penting, para pejabat pemerintah, semuanya sudah diclearence. Dan Kopkamtib, katanya, tidak bekerja atas dasar sinyalemen, melainkan berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan melalui pengusutan. Bahwa ada orang PKI lolos di Payakumbuh, menurut Nurhadi, "Dia sudah diclearence. Tapi diclearence 'kan tidak selalu sempurna. Jadi, meskipun ia sudah diclearence, masih ada kemungkinan pengungkapan baru". Ada 33.000 anggota PKI golongan B yang pada 1973 dilepaskan melalui Operasi Ksatria. Mereka kini tersebar di beberapa daerah dan dalam pengawasan Laksusda. Mereka yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 ini tidak mungkin menjadi anggota ABRI, Golkar, parpol, apalagi duduk di pemerintahan. Ada pula golongan C, termasuk mereka yang terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948 - terdiri atas C1, C2, dan C3 - yang masih boleh bekerja di pemerintahan. Menurut Nurhadi, hal itu karena tenaga mereka dibutuhkan. "Mereka mempunyai pengalaman khusus di bidannya. Tapi sebagian besar sudah pensiun atau diganti. Dan file mereka masih lengkap," katanya. File itu rupanya mulai dibuka-buka kembali, terutama oleh mereka yang merasa ditantang membuktikan benar-tidaknya sinyalemen yang sangat ramai minggu lalu. Sebuah sumber TEMPO yang banya mengetahui taktik dan strategi komunis yakin ada "unsur-unsur merah" di pemerintahan. Buktinya, katanya, ada bekas PKI yang sampai bisa duduk sebagai Ketua DPRD Payakumbuh. "Jangan-jangan di Sumatera PKI justru sudah punya - kekuatan baru, dengan memanfaatkan kelengahan pemerintah yang tampaknya lebih memusatkan perhatian di Jawa," katanya. Isu menyusupnya anggota PKI dalam pemerintahan bukan pertama kali ini terjadi. Sepuluh tahun silam, misalnya, menjelang SU MPR 1978, ada kekhawatiran akan adanya "bekas Pesindo" (Pemuda Sosialis Indonesia organisasi pemuda yang kemudian dipengaruhi PKI menjelang 1948) yang memegang jabatan penting di pemerintahan. B.S.H., Sri Indrayati, Yopie Hidayat, Diah Purnomowati, Budiono Darsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini