Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bintang ibrahim dan ismail di aceh

Pertarungan antara PPP dan Golkar tidak lagi memperebutkan jumlah suara, melainkan siapa yang paling berhak menafsirkan realitas Aceh dewasa ini. akhirnya, suara PPP menurun digantikan Golkar.

20 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG pondokan yang berlebaran di Aceh akan sulit mencari makan. Itu pun berlaku untuk Lebaran Haji, yang bagi orang Jakarta tidak dipandang terlalu khusus. Jangankan warung makanan, warungwarung rokok pun tertutup. Tapi seorang sopir taksi menasihati saya sehari sebelumnya. "Kalau Bapak mau mudah saja," ujarnya di belakang setir. "Setiap muslim adalah saudara kaum muslim lainnya," ia menambahkan. "Tidak ada yang susah perihal makan masa Lebaran di sini. Pergilah ke setiap rumah penduduk. Ucapkan salam, jabat tangan mereka. Pasti mereka mengajak makan." Namun, yang menarik adalah nasihatnya yang terakhir. "Atau Bapak datang sajalah ke Meuligo (rumah kediaman resmi) Gubernur," instruksinya. "Setiap Hari Raya, Bapak Gubernur menjamu siapa saja. " Saya pikir "instruksi" terakhir ini masuk akal. Ditemani Sayed Mahdar dan Teuku Saiful Trumon, saya masuki Meuligo tepat pukul 10.30 pagi di Hari Idul Qurban itu. Saya melihat payungpayung betebaran di anakanak tangga. Hujan baru saja reda di pagi itu. Dan anakanak, yang berebut bersalaman dengan Gubernur, yang mungkin berjumlah ratusan, telah berhamburan entah ke mana dengan membawa uang dalam genggamannya masingmasing. Pak Gubernur Ibrahim Hasan bersama istri berdiri di depan menyambut dan menyalami setiap tamu yang datang. Dan berkalisekali Pak Ibrahim berkata kepada tamunya dengan suara yang cukup jelas terdengar: "Terus ke dalam. Di sana ada nasi, lontong, mi, dan martabak. All the best!" Saya melahap makanan yang melimpah ruah itu. Tapi yang menarik bukan lagi tentang perjamuan itu, melainkan momentumnya. Pertarungan antara PPP dan Golkar di Aceh baru saja berlangsung. PPP adalah partai dengan akar yang kuat menghunjam ke dalam hati masyarakat. Di mata massa, ia bukanlah "partai asing", melainkan "partai pribumi". Islam yang menjubahi partai hijau itu membumikannya secara otomatis. Tidaklah mengherankan jika PPP dengan hampir seenaknya mempecundangi lawanlawannya di Tanah Rencong ini pada musim Pemilu 1977 dan 1982 lalu. Golkar adalah sebaliknya. Pohon beringin, kaum birokrat, pegawai negeri, pejabat-pejabat pusat adalah simbol-simbol yang asing bagi mereka. Berbeda dengan aktivis PPP, yang pada umumnya terdiri dari ulama desa, terlibat dan hidup bersama massa, para aktivis Golkar secara struktural terpisah dengan masyarakat. Ringkasnya, kekalahan Golkar terutama pada Pemilu 1982 adalah akibat ketidakbertautan semangat dan simbol antara partai dengan rakyat. Maka, di masa lalu, pertarungan PPP dan Golkar di Aceh adalah pertarungan yang tak seimbang. Suatu pertarungan di atas pelataran masyarakat di mana discourse (wacana) PPP dominan. Wacana Golkar, yang dipatrikan dalam bentuk materi dan "pembangunan" tidaklah menyentuh struktur kesadaran massa. Sehingga massa di sebuah masjid cenderung memilih pintu lain ketika seorang pengusaha Aceh dari Jakarta, untuk tujuan kemenangan Golkar dalam pemilupemilu yang lalu, mendistribusikan bantuannya di pintu utama. Tapi dalam pemilu kali ini yang hanya beberapa saat sebelum jamuan makan Hari Raya "Kurban" gagasan pempribumian Golkar telah terpatri. Dimulai sejak pemilu lima tahun lalu, ketika Ibrahim Hasan baru dilantik sebagai gubernur, proses "pengAcehan" Golkar telah berlangsung. Maka, seperti yang tampak pada kampanyekampanye di Aceh, pertarungan PPP dan Golkar bukanlah lagi pertarungan pihak "asing" dengan "pribumi". Melainkan suatu pertarungan memperebutkan siapakah yang "paling Aceh" di antara kedua partai itu. Maka Ghazali Abbas Adan, jurkam PPP, muncul bukan dengan tematema nasional. Ia berpidato dan bernyanyi dalam bahasa Arab dan Aceh secara cukup fasih. Dan setelah memperkenalkan diri bahwa ia berasal dari Adan, Pidie, ia berteriak dengan lantang: "Pemimpin PPP tidak berasal dari manamana. Dia adalah putra Aceh. Dari Pidie. Dari Matereum." Ini adalah tindak meneguhkan simbol keAcehan pada partai yang sebenarnya bersifat nasional itu. Golkar menjawab pertarungan "keAcehan" itu dengan tak kalah radikalnya. Seorang tokohnya yang terkemuka datang dan duduk bersila di tengah massa. Suatu tindakan simbolis yang menghalau halangan struktural elite dengan massa. Bukankah para pemimpin Aceh masa lalu tumbuh dan berkembang di dalam dan di tengahtengah massanya? Dalam konteks ini pertarungan tidaklah lagi hanya memperebutkan jumlah suara. Melainkan telah berubah pada "politik makna" kontestan memperebutkan tempat siapa yang paling berhak menafsirkan realitas Aceh dewasa ini. Dalam konteks pengAcehan inilah kita memahami tematema simbolik antara "Ibrahim" dan "Ismail" di Aceh yang ditaburkan oleh Golkar maupun PPP selama musim kampanye. Di sini Nabi Ibrahim, tokoh ketauhidan dan kemanusiaan, telah dikaitkan dengan Ibrahim Hasan, Gubernur Aceh. Sedangkan Nabi Ismail, anak Ibrahim, dikaitkan dengan Ismail Hasan Metareum, Ketua DPP PPP. Di Blang Pidie, Aceh Selatan, Usman Latif, jurkam Golkar seperti yang dilakukan di manamana mengutip ayat 102 Surah Ash Shaffat tentang mimpi Nabi Ibrahim yang diperintahkan (Tuhan) mengorbankan anaknya, Ismail. Dan setelah menceritakan kesiapan Ismail untuk berkorban, dengan gaya retoriknya yang khas, Usman Latif berteriak: "Bintang Ibrahim memang lebih tinggi dari bintang Ismail. Hidup Golkar!" Jawaban terhadap perang simbol ini saya dengar langsung dari Ismail Hasan Metareum di lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Berpidato dalam bahasa lokal, ia mengeluarkan bentakan khas Aceh: "Peuh ji peugah!" (Apa yang dia bilang!) terhadap interpretasi bertendens atas surat dan ayat tersebut. Toh untuk menggaet simpati massa, Ismail berucap, betapa luhurnya hati Nabi Ismail. Ia rela mengorbankan dirinya untuk kepentingan yang lebih tinggi. Usai pencoblosan, jam demi jam, saya melihat suara PPP merosot di seluruh kabupaten di Aceh. Angka puncak digantikan oleh Golkar. Termasuk di Pidie, Aceh Besar, dan Aceh Utara tiga kabupaten yang sangat liat melawan dominasi Golkar. Apakah dengan kemenangan ini Golkar telah mendapatkan hak untuk memonopoli penafsiran atas realitas keAcehan dewasa ini? Dan apakah PPP telah jatuh sebagai "kurban"? Di Meuligo, "Ibrahim" Hasan terusmenerus menerima tamu dalam perjamuan Hari Raya "Kurban". Saya sendiri telah memecahkan persoalan makanan yang langka di hari itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus