HAMPIR 50 tahun setelah orang tak melihat tentara Jepang di luar Jepang, tahun ini pasukan sipit berbendera matahari terbit itu akan hadir di Kamboja. Itu jika Majelis Rendah Jepang meluluskan Rancangan Undangundang Operasi Pemeliharaan Perdamaian, pekan ini. Di Majelis Tinggi Jepang, persetujuan dicapai dengan alot, Selasa dinihari pekan lalu. Itu setelah debat panjang dan pemungutan suara dilakukan selama 5 hari 4 malam, hampir tanpa istirahat. Soalnya, pihak oposisi, Partai Demokratik Sosial Jepang dan Partai Komunis Jepang, melakukan gyuho dalam pemungutan suara. Gyuho arti harfiahnya adalah jalannya sapi. Melihat kenyatannya, lebih tepat disebut jalannya siput. Bayangkan saja, 103 orang antre untuk menyerahkan kertas suaranya. Mereka melangkah hanya beberapa sentimeter selang satu menit ke kotak suara yang jaraknya sekitar 15 meter. Total, dibutuhkan waktu 31 jam 36 menit. Hingga televisi NHK, yang menayangkan jalannya pemungutan suara, seperti menayangkan sebuah gambar mati, bukan gambar hidup. Akhirnya toh yang pro RUU yang menang. Suara Partai Demokratik Liberal (partai berkuasa) ditambah Komeito (Partai Pemerintahan Bersih), dan Partai Sosialis Demokratik mengungguli suara partai yang kontraRUU. Dan ini sebetulnya sudah bisa ditebak sebelum pemungutan suara. Jadi, untuk apa bergyuho? Aksi gyuho pekan lalu itu adalah kedua kalinya setelah aksi gyuho dalam pengesahan penerapan pajak penjualan beberapa lama lalu. Ketika itu, pihak yang pro, yakni Partai Demokratik Liberal, kalah sabar menunggu langkah siput pihak oposisi, hingga mereka menyerah sebelum pemungutan suara selesai. Akhirnya, penerapan pajak itu dibatalkan. Kini rupanya para wakil Partai Demokratik Liberal dan pendukungnya sudah belajar tabah dan sabar. Aksi slow motion itu berulang di majelis rendah, yang menyidangkan RUU tersebut sejak Jumat pekan lalu. Bahkan pihak partai oposisi yang tak setuju terhadap RUU mengancam melepaskan 141 kursinya. Jika hal itu benar berlangsung pekan ini, pengesahan RUU itu bisa dikritik dilakukan tidak secara demokratis, meskipun kritik itu secara hukum tak akan bisa membatalkannya. Adapun masalah yang menjadi bahan perdebatan adalah disebutkannya dalam RUU itu bahwa "personel penjaga perdamaian PBB dari Jepang, yang jumlahnya tak lebih dari 2.000 orang, diperbolehkan membawa persenjataan ringan sebagai alat bela diri." Pihak oposisi mengkhawatirkan ini akan dijadikan dasar pengesahan, nanti suatu saat, pengiriman pasukan bela diri ke luar negeri. Padahal, konstitusi Jepang menyebutkan, pengiriman kekuatan bersenjata ke luar negeri di luar tujuan mempertahankan negara tidak diperkenankan. Itu semua bermula ketika terjadi invasi Irak ke Kuwait, Agustus 1990. Jepang, yang menggantungkan 70% impor minyak mentahnya dari kawasan Timur Tengah, habis-habisan dikritik beberapa negara Barat lantaran tak mengambil bagian dalam upaya membebaskan Kuwait. Gara-gara kritik itulah, Jepang mengirimkan dana US$ 13,5 milyar untuk mendukung operasi militer membebaskan Kuwait. Sialnya, itu dianggap belum cukup. Jepang malah dituduh hanya sudi mengeluarkan uang, tanpa mau berkorban tenaga, lebihlebih nyawa. Kritik-kritik itu rupanya tak mau tahu bahwa Konstitusi Jepang melarang pengiriman pasukan bela diri ke luar negeri. Atas dasar kasus inilah RUU itu dibuat. Rakyat Jepang sendiri, pendapatnya berbeda-beda. Pol harian Asahi menyimpulkan, 47% responden setuju keterlibatan Jieitai dalam Pasukan Pemeliharaan Perdamaian, sedangkan 41% menentang. Menurut pol harian Yomiuri, 68% respondennya menyatakan setuju hanya bila Jieitai dilibatkan dalam Operasi Pemeliharaan Perdamaian, dan bukannya Pasukan Pemeliharaan Perdamaian. Dan lebih dari 24% menolak sama sekali pengiriman pasukan. Juga di dunia internasional muncul pro dan kontra. Muangthai dan Australia menyambut baik RUU itu. Tapi banyak negara Asia seperti Cina, Korea Utara, dan Korea Selatan menentangnya. Juga Singapura. Bagi negara yang pernah dijajah Jepang, hal itu memang dirasa berat. Kata Hiroyoshi Kano, 44 tahun, profesor politik dan ekonomi Asia Tenggara dari Universitas Tokyo, pengiriman pasukan bela diri Jepang ke negara yang pernah dijajah Jepang tidak bijaksana, "mengingat perasaan yang dimiliki rakyat setempat." Tapi Sayidiman Suryohadiprojo, bekas duta besar Indonesia di Jepang dan dikenal sebagai salah seorang intelektual dari kalangan militer Indonesia -- negara yang pernah 3 1/2 tahun dijajah Jepang -- berpendapat pengiriman pasukan perdamaian Jepang tak menjadi soal di zaman sekarang. Sebab, kata letnan jenderal purnawirawan itu, invasi militer yang pernah dilakukan Jepang dulu tak akan bisa diulangi negara mana pun, termasuk AS dan Cina. "Karena kekuatan militer internasional akan menghadang invasi militer dari negara mana pun," tambahnya. Tapi, sebuah Jepang dengan kekuatan militer yang dahsyat tampaknya tetap harus diwaspadai. Kata Fred Charles Ikle, penulis buku Japan's Grand Strategy dan bekas staf ahli Departemen Pertahanan AS yang kini bekerja di Pusat Studi Internasional AS, bukannya tak mungkin RUU itu dijadikan dasar pengiriman pasukan bela diri Jepang ke luar negeri, "untuk melindungi kepentingan ekspansi ekonomi Jepang di seluruh dunia." Dan itu bisa menjadi sumber kerawanan internasional. Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini