SEJAK kelas 3 SD, ia sudah bercita-cita menjadi insinyur ITB. Bagi dia, ini merupakan sikap politik, sebab dengan citacita itu ia belajar matimatian. Naluri ini yang mekar hingga namanya mencuat menjadi "bintangnya" Partai Bintang dalam kampanye yang lalu. Itulah Sri Bintang Pamungkas, salah satu cendekiawan yang bakal di DPR mewakili PPP. Akibatnya, Bintang, calon Jakarta itu, harus berhenti sebagai konsultan Bank Summa. Kini ia memimpin PT Manajemen Musyarokah Indonesia, mitra Bank Muamalat Indonesia. Sebagai "bintang", doktor ekonomi dari Iowa State University, AS, ini memang bersinarsinar dalam "kelamnya" dunia politik Indonesia. Ia berkaca mata minus dan bertubuh sedang, namun di panggung kampanye, ia menggebugebu. Saking kerasnya, Sri bahkan terkena semprit Jaksa Agung Singgih, tatkala berkampanye di Sumatera Selatan. Ia tak percaya pada mitos "kue pembangunan" yang harus dibesarkan dulu. Bagi dia, pemerataan itu mutlak. Agar tak lagi ada jurang kayamiskin. Mungkin tema perjuangan Sri ini adalah sublimasi dari masa kecilnya. Ia menjadi yatim pada usia lima tahun. Ayahnya bekas hakim Pengadilan Negeri Ngawi, dibunuh PKI pada 1948. Hanya dengan bekerja keraslah, ia, kakaknya di antaranya Profesor Sri Edi Swasono dan ibu serta enam saudaranya bisa survive. Ia mengaku hingga SMA dibesarkan dengan "nasi pecel" di Solo. Ia juga berani menyebal dari arus di PPP, dengan mengatakan bahwa mencalonkan Pak Harto di dalam kampanye itu kesalahan besar, hingga suara PPP tak meningkat. Padahal, sudah ada kesepakatan untuk tidak menyinggung soal itu. "Tapi Buya dan pimpinan lainnya ngulang lagi," katanya. Ia punya ide agar tata tertib DPR/MPR diperbaiki. Yang memilih presiden itu bukan fraksi. Tapi anggota MPR. "Itulah namanya kedaulatan rakyat," kata tokoh yang memungut 20 anak asuh itu. BL
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini