Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sang kiai dari pesantren justus

H. Ahmad Muflih Saefuddin, calon anggota DPR dari PPP di daerah pilihan Jawa Barat. ia memang dekat dengan keislaman. salah satu pendiri BMI, anggota dewan penasehat ICMI, juga pengurus MUI. sang kiai dari pesantren justus

20 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAJI Ahmad Muflih Saefuddin sudah layak bergelar kiai. Ia pernah belajar di Madrasah Diniyah di daerah kelahirannya, Cirebon. Organisasi yang diikutinya adalah PII -- organisasi pelajar Islam yang sudah dibubarkan Pemerintah -- dan kemudian HMI, dan sejenisnya. Setelah bergelar sarjana sosial ekonomi IPB, B~ogor, ia berangkat ke Jerman Barat, untuk belajar di Universitas Justus Liebig. Gelar doktor dalam bidang ekonomi pertanian, diraihnya pada tahun 1973. Lalu ia mengajar di IPB. Tapi keakrabannya dengan kegiatan Islam tak pernah lepas. Karena itu, tak men~gherankan jika kini Saefuddin menjadi calon ang~ota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan. Sebagai calon nomor satu di daerah pemilihan Jawa Barat. "Sejak awal orang tahu bahwa saya dekat dengan keislaman," kata A.M. Saefuddin. Misalnya. ia merupakan salah satu pendiri Bank Muamalat Indonesia, dan anggota dewan penasihat ICMI. Ia juga pengurus MUI. Saefuddin -- sering dipanggil Pak Aem, singkatan dari Ahmad Muflih telah mendirikan dua pesantren masin~g-masing Ulul Albab di kawasan Kemang. Jakarta Selatan, dan Tarbiyatun Nisa di kawasan Semplak, Bogor. Di Universitas Ibnu Khaldun, selain pernah menjadi rektor, ia kini menjadi ketua yayasan yang mengelola perguruan itu. Sebagai seorang cendekiawan, ia sudah menulis belasan buku, yang menyangkut sosial ekonomi dan pemikiran Islam. Sebagai anggota DPR nanti, Saefuddin mempunyai rencana tentang berbagai hal yang ia lemparkan pada ma~sa kampanye. Misalnya, tentang perlunya distribusi margin yang merata atas cengkeh dan tembakau. "Rokok itu bahannya dari cengkeh dan tembakau yang berasal dari rakyat kecil. Tapi mereka tetap kecil, sedangkan pemilik pabrik rokok sudah menjadi konglomerat. Ini kan tak adil," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus