Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penelisikan Investigate Europe, kolaborasi jurnalis lintas negara, termasuk Tempo di Indonesia, menemukan adanya akal-akalan Rheinmetall.
Dengan membangun pabrik di negara lain, Rheinmetall bisa leluasa memasarkan senjata ke mana saja, termasuk ke negara yang sedang berkonflik, seperti Rusia dan Ukraina.
Fakta-fakta ini mengerucut pada dugaan bahwa Pindad menjadi boneka RDM dan Rheinmetall untuk membuat senjata dan memasarkannya ke berbagai negara.
MUJUR tak bisa diraih, malang tak dapat ditolak. Ini yang terjadi jika pemerintah tak segera menyetop kerja sama antara PT Pindad (Persero) dan Rheinmetall Denel Munition (RDM), produsen senjata yang bermarkas di Afrika Selatan. Jika kerja sama ini berlanjut, Pindad berisiko tersandung perkara hukum hingga dituduh melanggar hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyelisikan Investigate Europe, kolaborasi jurnalis lintas negara, termasuk Tempo di Indonesia, menemukan adanya akal-akalan Rheinmetall, perusahaan senjata dan teknologi asal Jerman yang menjadi induk RDM, dalam membangun jejaring bisnis senjata. Rheinmetall diduga memanfaatkan mitranya di sejumlah negara, termasuk Pindad, untuk mengakali Undang-Undang Pengendalian Senjata Perang di Jerman yang membatasi penjualan senjata domestik ataupun ekspor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan membangun pabrik di negara lain, Rheinmetall bisa leluasa memasarkan senjata ke mana saja, termasuk ke negara yang sedang berkonflik, seperti Rusia dan Ukraina. Laporan tim Investigate Europe menyebutkan Pindad sudah menyiapkan pabrik amunisi kaliber besar yang menjadi bagian dari kerja sama dengan RDM. Rheinmetall dan RDM ternyata sudah mengirimkan komponen serta mesin untuk membuat peluru kaliber besar di Indonesia. Pada 2019 tercatat RDM enam kali mengirim bubuk peluncur peluru, komponan amunisi meriam, dan pemicu ledak ke Pindad dengan nilai transaksi US$ 4,18 juta atau sekitar Rp 67,58 miliar.
Fakta-fakta ini mengerucut pada dugaan bahwa Pindad menjadi "boneka" RDM dan Rheinmetall untuk membuat senjata dan memasarkannya ke berbagai negara. Hanya karena gula-gula berupa alih teknologi dan peluang ekspor, Pindad menjadi kaki tangan perusahaan asing untuk memuluskan rencana curangnya. Padahal keuntungan dari transfer teknologi juga masih dipertanyakan, mengingat ada kecenderungan produsen senjata asing hanya mengirimkan produk untuk dirakit di Indonesia. Mereka biasanya enggan membangun fasilitas riset dan pengembangan bersama yang menjadi wujud alih teknologi seutuhnya.
Karena itu, tak ada alasan bagi pemerintah mengizinkan Pindad melanjutkan kerja sama dengan Rheinmetall dan RDM. Risiko besar dari kerja sama ini adalah persoalan hukum, mengingat perusahaan asing itu sudah melanggar regulasi di negaranya. Indonesia juga bisa dipersoalkan di forum internasional karena memfasilitasi produsen senjata yang menerabas aturan soal transfer senjata.
Konvensi Jenewa 1949, kesepakatan internasional yang mengatur pelindungan korban perang, tak mengizinkan perdagangan senjata untuk pelanggaran HAM. Demikian pula dengan Arms Trade Treaty, perjanjian internasional soal perdagangan senjata, yang melarang transfer senjata untuk genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran Konvensi Jenewa 1949, dan kejahatan internasional lain. Langkah Rheinmetall memasok senjata dalam perang Rusia-Ukraina bisa dianggap melanggar ketentuan tersebut dan bakal menyeret Pindad.
Bukan sekali ini Pindad terseret dalam bisnis berbahaya. Laporan Myanmar Accountability Project bersama Chin Human Rights Organization pada 2023 menyebutkan Pindad bersama dua perusahaan pelat merah lain, yaitu PT PAL Indonesia (Persero) dan PT Dirgantara Indonesia (Persero), menjual senjata kepada junta militer Myanmar sejak 2014 hingga 2021. Penjualan senjata itu juga diduga berbau kolusi lantaran memakai perantara anak seorang menteri Myanmar.
Agar wajah Indonesia tak makin tercoreng, pemerintah harus menyetop keterlibatan Pindad dalam bisnis kotor tersebut. Alih-alih meraih kemandirian industri pertahanan melalui transfer teknologi, Indonesia malah dituduh sebagai negara yang memfasilitasi pelanggaran HAM dan melanggar aturan perdagangan senjata internasional. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo