SANTO Bob. Orang ada yang menyebutnya demikian, dengan cemooh tajam. Mengerjakan sesuatu yang baik bagi orang lain, dan jadi termasyhur karena itu, dan dipuji-puji, memang suatu risiko. Risiko bila amalnya akan disebut penuh pamrih. Risiko bila ia sendiri jadi seorang yang kemudian tak tahu lagi mana pamrihnya, mana ketulusannya. Risiko bila ia tumbuh jadi pahlawan kemanusiaan, orang yang harus terus-menerus di atas pentas sebagai filantrop yang berbudi. Jadi santo. Jadi Santo Bob. Dan Bob Geldof tak pantas untuk itu. Agaknya juga ia tak akan betah. Rambutnya yang cokelat memanjang simpang siur. Pipi dan dagunya kumuh karena jenggot itu seperti selalu terlupa untuk diulangi dicukur. Pakaiannya lusuh, pada tubuhnya yang tinggi besar tapi kendur. Seandainya ia bukan seorang yang berhasil memobilisasi sederet penyanyi beken -- dengan ego mereka yang saling bergeser -- untuk sebuah ikhtiar besar membantu kelaparan di Afrika, seandainya tak ada Band Aid dan tak ada Live Aid, Geldof akan tampak hanya sebagai seorang yang lontang-lantung. Bahkan setelah ia mengerjakan itu semua, dan jadi tenar, orang masih tak percaya. Ada majalah seperti New Musical Express di Inggris, yang tak henti-hentinya mengejeknya. Ada yang menduga bahwa Geldof melakukan semua ini untuk mendongkrak namanya sendiri, yang kempis, karena, sebagai penyanyi, kariernya tak kunjung menggelinding. Saya sendiri termasuk yang ragu, sampai saya membaca wawancaranya dengan David Breskin di Rolling Stone. Dalam umur 33 tahun, Geldof berbicara seperti orang yang telah menempuh sederet kejayaan dan sederet kekecewaan. Ia tak punya banyak pretensi, tak punya banyak ilusi. Ia bukan penjual kecap. "Saya tak ingin jadi 'Santo Bob', karena lingkaran cahaya pada orang suci biasanya jadi berat dan gampang berkarat," katanya pada Breskin. Dan Geldof, pemuda Irlandia itu, mengutip sajak Yeats, penyair Irlandia itu: "Out of Ireland have we come/Great hatred, little room." Kebencian besar apakah yang dikandung oleh seorang Irlandia? Kenangan kepada penderitaan. Tanah mereka pernah diserang kelaparan, dulu, sementara orang-orang kaya mengekspor gandum. Kenangan yang dicatat dalam buku sejarah itu agaknya yang menyebabkan kaset Band Aid paling banyak dibeli orang di Irlandia. Kenangan itu pula agaknya yang membuat Geldof memaki "kebiadaban moral terbesar" ini: di Eropa orang menghabiskan US$ 375 juta dengan menghancurkan dua juta ton makanan, agar harga bahan pertanian tetap tinggi di Afrika sebaliknya kita tahu apa yang terjadi. Ketidakadilan, ketimpangan, ketidakpedulian. Atau kesetengahhatian. Geldof tahu bahwa apa yang telah dilakukannya tidak memadai. "Uang kita cuma sejumput, sejumput, bila dilihat besarnya persoalan," katanya seperti tak sabar. Air harus digali dari tanah, irigasi harus dibangun, teknologi yang tepat harus diadakan, pasar setempat harus dihidupkan -- dan lain sebagainya. Bantuan, kedermawanan memang penting. Tapi mungkin ada sebab yang lebih dalam dalam ketimpangan ini yang tak hanya bisa ditebus dengan sekadar sedekah. Sementara itu, Geldof tahu, compassion, perasaan ikut menghayati pedihnya nasib orang lain, bisa hanya sekadar hip. Sesuatu yang lewat sejenak, sesuatu yang lagi laku, tapi tak akan awet. "Saya yakin tentang itu," Geldof bilang. "Saya ingin semua ini jadi semacam gerakan, tapi hal itu tak akan terjadi," katanya lagi. Sebagai penyanyi pop, Geldof tentu mengalami, apa yang lagi di pusat perhatian hari ini, esok bakal tak akan lagi. Seperti dikatakannya, "Orang dengan mudah jadi bosan. Orang mungkin secara mendalam terkena pengaruh Live Aid . . . tapi itu tak akan beralih menjadi sebuah perubahan kesadaran yang berakar." Karena itulah, soal yang besar ialah bagaimana menyelenggarakan bantuan jangka panjang: sesuatu yang tanpa berita, seperti sebatang pohon yang diam-diam tumbuh. Tak ada yang yakin, juga Bob Geldof sendiri, bahwa dia dan usahanya bisa terus seperti pohon yang tumbuh itu. Sebab, Geldof tahu posisi Geldof. Ia tahu ia berhasil mengundang bintang-bintang besar justru karena ia sendiri bukan bintang. "Saya bukan ancaman bagi siapa pun," katanya. Ia tahu ia bisa melakukan semua itu karena ia setengah menganggur: band-nya gagal, karya musiknya seret, dan sebab itu ia punya banyak waktu. Singkatnya, ia berhasil mengorbitkan sebuah sukses, inspirasi, karena ia berada di dataran yang rendah. Dan apa yang diorbitkannya itu hanya diharapkannya akan jadi komet yang melintas, cemerlang, sebentar, dan dikenang seperti itu -- sebelum jadi lembaga yang turun mengeras seperti batu di muka bumi. "It should be a shooting star -- brilliant and beatiful for a second -- and tben live forever in your memory." Dan tak ada Santo Geldof, dalam sebuah patung tersendiri. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini