Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Mengurus Bahasa Bersama

17 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahmad Sahidah
Dosen senior filsafat dan etika Universitas Utara Malaysia

Kamus Besar Bahasa Indonesia selalu terbuka untuk pengayaan kosakata. Kehadirannya adalah penyempurnaan terhadap keluaran sebelumnya. Perubahan dan penambahan juga menimbang dari pelbagai sumber dan masukan para ahli linguistik. Meskipun makna bahasa tak bisa sepenuhnya dirujuk pada kamus, KBBI senantiasa akan menjadi acuan utama dalam berbahasa lisan dan tulisan. Bagaimanapun mesti diakui bahwa makna bahasa juga bisa ditemukan dalam percakapan sehari-hari, yang kata Noam Chomsky, filsuf bahasa, menunjukkan pentingnya konteks dalam memahami tuturan. Lebih jauh, bagaimana kita bangga menggunakannya dalam segala suasana.

Martin Heidegger, filsuf Jerman, menyebut bahasa sebagai sebuah rumah mengada kita dan cara untuk mengungkapkan dunia. Dengan demikian, tuturan kita membayangkan keadaan rumah yang kita diami, meskipun ia bukan penjara, sebab ia memiliki jendela dan pintu ke luar. Betapapun banyak kata yang gagah telah diserap ke bahasa Indonesia, seperti demokrasi, republik, dan parlemen, makna kata tersebut tetap terkait dengan pandangan dunia bangsa Indonesia yang pada gilirannya mewujud dalam hubungan manusia. Pendek kata, bahasa mewakili kenyataan yang hendak diwujudkan oleh penggunanya dan tak semestinya mengacu sepenuhnya pada kata asal, Yunani misalnya. Lagi-lagi ada hubungan dialektik antara pengalaman diri sendiri dan orang lain.

Nah, untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang kokoh, semua pihak harus mengemas rumah yang belum kokoh dan compang-camping. Rumah itu bisa berupa kata yang ada dalam kamus dan penggunaan resmi dalam sehari-hari. Lihat, misalnya, kata bengkel, yang merupakan serapan dari bahasa Belanda. Malangnya, lema tersebut tak dicantumkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008, Edisi IV). Betapa keabaian ini merupakan kehilangan besar karena Kamus Dewan masih mengekalkan kata tersebut dengan tanda IB (Indonesia Belanda), tidak hanya dalam pengertian tempat memperbaiki kendaraan, tapi juga ruang diskusi untuk bertukar pendapat.

Kalau disimak dengan cermat, dalam Kamus Dewan (Edisi 3, 2002: 137), kata tersebut bermakna 1. Tempat membaiki kereta (baca: mobil) dll.; 2. Kilang kecil (tempat tukang-tukang bekerja); 3. Mesyuarat (perbincangan dsb.) secara berkelompok untuk mengkaji sesuatu atau bertukar-tukar pendapat. Bandingkan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (online), yang berarti 1. Tempat memperbaiki mobil, sepeda, dan sebagainya;2pabrik kecil; tempat tukang bekerja;3.ntempat berlatih sandiwara dan sebagainya;4.tempat melakukan suatu kegiatan dengan arah dan tujuan yang pasti;tempat penjilidan buku dan sebagainya. Menariknya, di negara serumpun, pengertian bengkel tak dibatasi pada tempat memperbaiki alat transportasi, tapi juga padanan dari lokakarya, baik lisan maupun tulisan.

Karena itu, mengingat bahasa Indonesia dan serumpun menduduki posisi sebagai 10 pengguna bahasa terbanyak di dunia, tugas bersama memantapkan bahasa lingua franca ini berada di pundak negara-negara yang menuturkan bahasa tersebut, seperti Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Dengan penguatan ini, secara tidak langsung bahasa yang berakar pada dunia Melayu telah menunjukkan kedudukannya sebagai bahasa regional dan pada gilirannya sejajar dengan bahasa utama di dunia, seperti bahasa Inggris, Arab, Spanyol, dan Prancis. Namun, sebelum pergi jauh, sudah sepatutnya ada usaha bersama untuk mengukuhkannya secara linguistik dalam negara masing-masing dan sejauh mungkin Majlis Bahasa Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia (MABBIM) lebih serius untuk setia pada bahasa sendiri, tanpa alah (alergi) pada bahasa serapan lain dengan syarat sesuai dengan aturan penyerapan. Tentu saja, tantangan terbesar adalah mendekatkan bahasa serumpun, yang semakin menjauh, baik dari aspek struktur, semantik, maupun pelafalan.

Cerita di balik layar film My Stupid Boss bisa dijadikan titik tolak. Film produksi Falcon Pictures ini menunjukkan betapa hubungan di antara pemain dalam karya lebar ini mengalami halangan berkomunikasi, sebagaimana ditunjukkan dalam cerita film dan di luar film. Ketika tokoh utama sebagai orang nomor satu perusahaan mengatakan bahwa dia mau traktir, bawahannya yang berkewarganegaraan Malaysia diam, tak memberi tanggapan heboh. Berbeda jika Reza Rahardian sebagai boss man mengatakan ”belanja”, yang mengandaikan makna traktir dalam bahasa Indonesia, sehingga para pekerja negeri jiran akan menanggapi tawaran dengan gegap-gempita.

Kisah di atas hanya salah satu contoh betapa satu kata yang sama telah mengalami penyempitan dan perluasan. Dari sini kita juga mendorong pegiat bahasa untuk melirik karya film yang dijangkau oleh khalayak luas sebagai usaha menyuburkan bahasa sendiri dan serumpun, meskipun selalu saja warga kedua negara memilih menyelipkan bahasa Inggris untuk mengelak kesalahpahaman, sebagaimana ditunjukkan oleh pemeran film ini, di antaranya Bunga Citra Lestari, Atikah Suhaime, dan Bront Palarae, dalam wawancara di balik pembuatan film. Ah, andai judul film itu adalah Bos Saya yang Bodoh! Apa mungkin?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus