Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bonus Demografi, Pendidikan, dan Ketenagakerjaan

LAZLO Bock, salah satu eksekutif sumber daya manusia di Google, dalam sebuah wawancara media mengungkapkan fakta menarik.

7 Januari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAZLO Bock, salah satu eksekutif sumber daya manusia di Google, dalam sebuah wawancara media mengungkapkan fakta menarik. Perusahaan raksasa teknologi informasi ini tidak lagi mempertimbangkan latar belakang pendidikan atau ijazah universitas dalam rekrutmennya. Mereka telah mewawancarai ratusan ribu pelamar dan menemukan tidak ada korelasi langsung antara bidang studi yang ditekuni di perguruan tinggi dan kemampuan si pelamar. Mereka juga tidak lagi merekrut berdasarkan kriteria indeks prestasi akademik (GPA). GPA tidak layak lagi dijadikan patokan. Bock juga mengungkapkan bahwa makin banyak karyawan Google yang tidak mengenyam bangku pendidikan tinggi dari waktu ke waktu. Jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Dari sisi jenis pekerjaan, hingga lima tahun mendatang, diperkirakan banyak pekerjaan yang tadinya eksis akan tergantikan oleh mesin. World Economics Forum (2016) memperkirakan, sampai 2020, sekitar 4,8 juta pekerjaan administrasi dan perkantoran akan hilang. Lebih dari 1,6 juta lapangan kerja di bidang manufaktur dan produksi akan digantikan oleh mesin.

Jika di Amerika Serikat saja ijazah dan prestasi akademik mulai dipertanyakan gunanya oleh perusahaan sekaliber Google, apa yang sesungguhnya sedang terjadi dengan dunia pendidikan dan pasar tenaga kerja? Apa jenis-jenis pekerjaan yang akan hilang dan apa yang akan muncul? Apa yang akan dialami oleh negara-negara di dunia, khususnya Indonesia? Lantas bagaimana ini semua disikapi dan ditindaklanjuti melalui kebijakan?

Fakta pendidikan vokasi

Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan, lulusan sekolah menengah kejuruan justru menyumbang angka pengangguran terbesar, yakni 11,4 persen, disusul lulusan sekolah menengah atas sebesar 8,29 persen, diploma 6,88 persen, sekolah menengah pertama 5,54 persen, perguruan tinggi 5,18 persen, dan sekolah dasar 2,62 persen. Data ini menunjukkan Indonesia menghadapi penganggur usia muda sehingga perlu solusi menyeluruh. Apalagi, dalam 10-15 tahun ke depan, jumlah angkatan kerja muda akan mengalami ledakan yang signifikan. Indonesia akan berada dalam situasi surplus angkatan kerja muda-sesuatu yang sering disebut "bonus demografi".

Faktanya, sampai 2015, kira-kira 3 dari 10 anak muda menganggur. Memang saat ini lebih dari 30 juta lulusan SMA dan lebih dari 10 juta lulusan perguruan tinggi mengisi pasar tenaga kerja. Namun kualitas lulusan ini dianggap belum sesuai dengan kebutuhan industri, terutama bidang mesin, furnitur, batu bara, dan perminyakan. Sedangkan lulusan di sektor lain, seperti real estate dan keuangan, tidak dipersiapkan dengan keterampilan yang tepat.

Asian Development Bank (2015) mencatat lebih dari separuh (52 persen) pekerja di Indonesia berkualifikasi lebih rendah daripada standar yang diperlukan dalam pekerjaan mereka. Sementara itu, banyak pekerja berkualifikasi lulusan SMA bekerja di sektor-sektor pekerjaan yang memerlukan keterampilan rendah. Catatan Global Competitiveness Index 2016-2017 atas capaian Indonesia menunjukkan mutlak diperlukannya perbaikan pendidikan dan kesiapan tenaga kerja. Dalam laporan itu, capaian untuk pilar "Pendidikan Tinggi dan Pelatihan" berada di peringkat ke-63 dari 138 negara, sedangkan capaian untuk pilar "Efisiensi Pasar Tenaga Kerja" berada di peringkat ke-108 dari 138 negara.

Tiga tantangan

Berdasarkan output dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan vokasi, pertumbuhan jumlah sekolah menengah kejuruan, dari 12.659 (2016) menjadi 13.236 (2017), memberi indikasi baik. Demikian juga pertumbuhan akademi yang naik menjadi 1.103 dan politeknik menjadi 262 pada 2017.

Tapi peningkatan angka-angka ini harus bisa diukur pula peningkatan kualitasnya. Demikian pula halnya dengan program keahlian ganda bagi guru-guru, pelatihan berbasis masyarakat, pemagangan, dan sertifikasi yang secara statistik terus meningkat. Semuanya harus diarahkan untuk menjawab kebutuhan industri yang memerlukan tenaga kerja siap pakai. Saat ini sedang didesain program vokasi yang menyeluruh sehingga bisa dijadikan dasar untuk mengukur tingkat perkembangan dan memastikan arah kebijakannya tepat sasaran. Tentu tidak mudah dan ada banyak tantangan, tapi ada tiga yang utama.

Tantangan pertama adalah penganggaran di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang tidak mengenal anggaran khusus untuk vokasi. Karena itu, diperlukan terobosan untuk mengatasi perbedaan penghitungan anggaran di tiap kementerian dan lembaga pemerintah.

Kedua adalah keberanian perguruan tinggi melakukan terobosan dalam pembukaan bidang studi atau jurusan yang dibutuhkan industri dan relevan dengan perkembangan masyarakat. Dengan proyeksi tahun 2030 permintaan pekerja semi-terampil dan terampil akan meningkat hampir 60 juta pekerja, jika tidak ada solusi yang menyeluruh, Indonesia tidak akan menikmati "bonus demografi". Sebaliknya, yang akan terjadi adalah "kutukan demografi", yang salah satunya adalah ketidakmampuan memenuhi permintaan pasar kerja yang telah berubah walaupun penduduk usia kerja berlimpah.

Tantangan ketiga adalah koordinasi. Kebijakan vokasi yang bersifat komprehensif dan melibatkan semua kementerian dan lembaga, serta industri dan pemerintah daerah, memerlukan kemitraan yang luas dan sistem koordinasi yang solid. Karena itu, pemahaman yang sama dalam melihat tantangan di antara setiap pemangku kepentingan menjadi penting supaya manajemen dan tata kelolanya lebih efisien dan, yang lebih penting, kinerjanya terukur. Ketidaksesuaian keterampilan dan kebutuhan tenaga kerja yang berdampak pada tingginya angka pengangguran harus diatasi dengan desain program vokasi yang melihat kebutuhan pasar dan menggandeng para pelaku di bidang industri. Untuk itu dibutuhkan (i) informasi yang akurat tentang pasar tenaga kerja dan (ii) pemanfaatan informasi pasar tenaga kerja sebagai dasar kebijakan vokasi.

Empat langkah

Menilik tiga tantangan di atas, setidaknya terdapat empat langkah yang perlu dilakukan untuk menata sektor pendidikan serta pelatihan vokasi dan ketenagakerjaan. Pertama, perlunya peta jalan program Vokasi Nasional dan sistem pengawasan serta evaluasi kebijakan nasionalnya. Proyeksi kebutuhan tenaga kerja industri, penyusunan kerangka kualifikasi dan sertifikasi, serta strategi penyerapan tenaga kerja dan efisiensi pasar tenaga kerja adalah awal pembenahan kebijakan vokasi.

Kedua, perlu koordinasi yang kuat karena pembenahan kebijakan vokasi melibatkan semua kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah serta industri. Koordinasi yang efektif mutlak untuk menjalankan cetak biru strategi vokasi yang satu dan menyeluruh.

Ketiga, pelembagaan secara terpusat lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah serta melibatkan asosiasi industri dan lembaga vokasi. Sebagai implementasi cetak biru strategi vokasi, forum ini akan menjaga peningkatan kualitas dan relevansi lembaga vokasi, termasuk penyusunan needs assessment dan penggunaan informasi tersebut dalam manajemen lembaga vokasi, penyesuaian kurikulum, sertifikasi, pelatihan/kerja magang untuk guru/instruktur dan siswa, serta penyusunan informasi penyerapan tenaga kerja/pelacakan lulusan. Keterlibatan industri akan membantu mengatasi mismatch antara keahlian dan keterampilan lulusan serta kebutuhan industri. Industri juga akan terlibat dalam update teknologi dan keterampilan untuk mendorong kreativitas siswa dan sekolah dalam memasarkan hasil kerjanya (kewirausahaan).

Terakhir, perlu disesuaikannya perencanaan sumber daya manusia dengan arah pengembangan sektor industri/ekonomi daerah dan nasional (seperti kawasan ekonomi khusus). Rencana penyediaan sumber daya manusia ini perlu diintegrasikan oleh pemerintah, dari proyeksi kebutuhan yang sesuai dengan sektor unggulan daerah hingga ke mekanisme umpan baliknya. Hal ini dibutuhkan agar tetap terjadi link-and-match dalam pemenuhan kebutuhan industri daerah.

Fokus perhatian kita saat ini seharusnya dititikberatkan supaya lembaga pendidikan dan pelatihan vokasi tidak terisolasi dari kebutuhan pasar tenaga kerja hari ini. Di dunia yang bergerak amat cepat, kerja-kerja hari ini bukan hanya soal sertifikasi, tapi juga kemampuan beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Kebijakan ketenagakerjaan dan pendidikan vokasi tidak boleh keliru: ini bukan perkara persaingan manusia melawan mesin, melainkan menjaga martabat manusia melalui kerja. Kebijakan harus bisa memberi arah agar bonus demografi dapat dinikmati, bukan menjadi kutukan, karena perubahan tidak mengenal jalan pulang. l

Yanuar Nugroho | Deputi Ii Kepala Staf Kepresidenan Ri Bidang Kajian Dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Budaya, Dan Ekologi Strategis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus