Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ikhwan Diciduk, Amir Masih Buron

Sekelompok lelaki dari Cijeruk diringkus petugas. Amir, sang komandan, jadi buron utama. Sekadar kambing hitam?

19 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Matahari belum genap menerangi tanah. Ikhwan sedang sibuk dengan tugas rutinnya di dapur: menyiapkan bumbu nasi goreng. Lelaki berperawakan tinggi besar itu memang sering membantu istrinya bikin sarapan untuk mereka dan ketiga anaknya. Sekonyong-konyong pintu rumah didobrak. "Apakah kamu bernama Ikhwan?" tanya salah seorang di antara sejumlah aparat bersenjata. Ikhwan mengangguk, lalu diseret keluar. "Kamu kenal dengan orang ini?" Yang ditanya geleng kepala. Seseorang yang disodorkan polisi sebagai petunjuk cuma berdiri membelakangi. Wajahnya tak tampak. Rumah Ikhwan digeledah. Lemari, kasur, dan tempat tidur diobrak-abrik. Sejumlah barang bukti diamankan: kaset nasyid, kasidah berbahasa Arab, dan sejumlah majalah, di antaranya Sabili. Tukang servis AC yang bekerja di perusahaan swasta Jakarta itu lalu dibawa pergi. Belakangan Melly, istri Ikhwan, baru tahu bahwa suaminya telah meringkuk di dalam sel tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Ia dituduh terlibat dalam komplotan perampok Bank BCA Tamansari, Jakarta Barat, dua pekan lalu. Ikhwan, tak mustahil, juga akan dikait-kaitkan dengan kasus gawat: peledakan bom di sebuah wartel dekat Plaza Hayam Wuruk, yang momentumnya bersamaan dengan perampokan itu. Ikhwan akhirnya ditangkap bersama Naiman, Edi Rohadi, Edi Taufik, dan Suhendi. Mereka adalah bagian dari apa yang disebut "AMIN" (Angkatan Mujahiddin Islam Nusantara ), kelompok yang tiba-tiba saja menjadi sorotan aparat. Nama gerakan ini mencuat setelah dua tersangka perampokan BCA itu, Rojak dan Mustaqim, tertangkap basah dalam aksi kriminal yang terjadi 15 April lalu itu. Dengan menggenggam pistol jenis FN, mereka sempat menewaskan satpam bank dan menggondol fulus Rp 53 juta. Nah, saat diinterogasi, Rojak, yang diduga seorang preman Tanahabang, buka suara. Ia mengaku ke polisi bahwa telah melakukan perampokan bersama Eddy Ranto alias Umar atawa Amir, 39 tahun, dan tiga kawan lainnya. Rojak pulalah yang akhirnya dijadikan pintu pembuka. Ia disodorkan dari rumah ke rumah dengan menampakkan punggungnya itu, seperti ketika menggedor rumah Ikhwan. Kesimpulan sementara polisi: ini sebuah gerakan yang dipimpin Amir, sang Komandan Kompi F, nama lain dari kelompok AMIN?tapi polisi akhirnya cuma mengistilahkan "kelompok Amir". Padahal mereka bukanlah kelompok besar. Hanya sebuah pengajian rutin yang dilakukan beberapa belas orang di sebuah musala sederhana. Tempatnya juga tidak istimewa, terpencil di Kampung Meseng, Desa Warungmenteng, Kecamatan Cijeruk, Bogor, Jawa Barat (lihat Mujahiddin dari Bukit Roke?). Sebelum menggerebek gerombolan di kaki Gunung Salak itu, polisi menangkap tiga nama lainnya. Hingga kini sudah 22 orang diidentifikasi. "Mereka merupakan kelompok terorganisasi dipimpin Amir," kata Kepala Dinas Penerangan Polda Metro, Letkol Zainuri Lubis. Polisi juga menduga kuat ada kaitan antara perampokan BCA dan pengeboman di Plaza Hayam Wuruk itu. Hubungannya dengan Istiqlal? Belum jelas betul. "Masih perlu penelitian lebih jauh," kata Kapolda Mayjen Noegroho Djajoesman. Sang komandan, Amir, lulusan STM Jatinegara jurusan elektro, yang pernah bekerja di bagian maintenance PT Mobilindo, anak perusahaan Astra, masih menjadi buron polisi. Fotonya sudah disebar di mana-mana. "Saya tak percaya kalau anak saya melakukan tindakan sedurhaka itu," kata Sucahyo, ayahnya. Benarkah Amir memimpin latihan bela diri di Bukit Roke? Tak ada jawaban pasti. Semua orang di sana mengaku tak kenal sang tokoh. "Bahkan nama AMIN sendiri saya baru tahu dari koran," kata salah seorang istri kelompok ini. TEMPO, yang mengunjungi lokasi Jumat pekan lalu, juga tidak menemukan tanda-tanda tempat itu adalah lokasi latihan militer. Lereng landai yang disebut-sebut dipakai sebagai tempat latihan meluncur tidak menunjukkan sedikit pun tanda sebagai tempat latihan. Pokok pohon yang disebut-sebut sebagai sasaran latihan lempar pisau tidak ada bekas hunjamam benda tajam. Profil orang-orang AMIN juga sulit untuk dikatakan sebagai "pejuang" Islam radikal yang melakukan teror untuk mencapai tujuan politik. Naiman, misalnya, adalah pegawai tata usaha SMU 15 Jakarta Utara. Edi Taufik adalah pekerja serabutan yang kadang-kadang juga menarik becak untuk menyambung hidup. Begitu juga dengan Suhendi, satu-satunya tersangka yang tak dapat digaruk aparat. Bahkan, untuk menambah penghasilan keluarga, para istri membuat usaha bersama pembuatan keripik ubi dan pisang, yang mereka jual ke Jakarta atau sekadar dititipkan ke warung di kampung. So? Semoga saja ini bukan skenario kambing hitam ala rezim lama. Arif Zulkifli, Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus