Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKALI sebulan Sukarti ningsih bertandang ke Desa Progowati, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tempat mertuanya tinggal. Jaraknya tujuh kilometer dari rumahnya di Desa Borobudur. Tapi, seperti bulan-bulan sebelumnya, kunjungannya Jumat dua pekan lalu bukan untuk menemui mertuanya. ”Menemui nasabah, mengambil titipan cicilan utang,” katanya kepada Tempo.
Wanita 29 tahun yang akrab dipanggil Ningsih itu sudah tiga tahun bekerja di Baitul Maal wat Tamwil (BMT) Arma, lembaga keuangan syariah di sekitar Pasar Japunan Mertoyudan, Magelang. Selain sebagai teller, dia aktif keluar-masuk kampung mencari nasabah baru. Sebagian besar nasabahnya tetangga atau orang yang memang telah dikenal sebelumnya. Profesi mereka beraneka macam, dari petani, pegawai negeri sipil, hingga pedagang kelontong rumahan atau yang buka lapak di pasar.
Semua nasabahnya, kata Ningsih, tertarik meminjam uang di BMT karena prosesnya mudah. Berbekal buku kepemilikan kendaraan bermotor atau sertifikat tanah sebagai jaminan, pinjam an bisa cair. ”Tinggal melengkapi fotokopi kartu tanda penduduk dan kartu keluarga, selesai,” katanya. Kucuran dananya mulai ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah, dengan cicilan selama setahun hingga tiga tahun. ”Itu tergantung survei.”
Kemudahan memperoleh pinjaman itulah yang menyebabkan Sofyan setia menjadi nasabah BMT Arma sejak lima tahun lalu. Terakhir kali perajin kayu dari Muntilan itu meminjam Rp 15 juta untuk modal toko kelontong milik istrinya. Selain prosesnya mudah, bagi hasil setara bunga 1,2 persen dari BMT Arma dinilai lebih rendah ketimbang bunga bank perkreditan rakyat, sekitar dua persen. ”Orang kecil cuma ingin ada pinjaman modal mudah. Itu saja,” katanya.
Sofyan gembira bisa memperoleh pinjaman lunak. Tapi dia ternyata tak tahu baitul maal wat tamwil justru punya persoalan pelik. Sampai sekarang, tak ada peraturan yang jelas tentang lembaga keuangan mikro berbasis syariah ini. ”Itu mempersulit perkembangan kami,” kata Direktur BMT Arma, Ahmad Sobari Utama.
BMT Arma hanya satu dari ribuan baitul maal wat tamwil yang dalam dua dasawarsa terakhir tumbuh subur di Indonesia. Asosiasi Baitul Maal wat Tamwil Seluruh Indonesia memperkirakan sekarang ada sekitar 5.000 BMT yang beroperasi. Sebanyak 3.000-an di antaranya memilih berbadan hukum koperasi jasa keuangan syariah lewat izin Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah. ”Menjadi koperasi untuk memperjelas badan hukumnya, agar tak diganggu,” kata Ketua Asosiasi, Aries Mufthi, di Jakarta pekan lalu.
Posisi baitul maal wat tamwil rawan karena tak punya payung hukum. Padahal selama ini lembaga keuangan mikro itu tak hanya menyalurkan pembiayaan, tapi juga menghimpun dana dari masyarakat. Data Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil menunjukkan total aset dari 3.068 unit BMT mencapai Rp 2,16 triliun. Total pembiayaannya mencapai Rp 1,67 triliun. Biasanya angka pembiayaan dan penghimpunan dana tak jauh berbeda. Lembaga ini terjepit karena berpotensi melanggar Undang-Undang Perbankan, yang hanya memperbolehkan bank atau lembaga lain yang diatur oleh undang-undang, seperti koperasi, untuk menghimpun dana publik.
Ketidakjelasan regulasi itulah yang menjadi dasar pemerintah Presiden B.J. Habibie menggagas Rancangan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro. Aries masih ingat sepuluh tahun silam ketika menjadi anggota tim perumus rancangan undang-undang tersebut. Dia perwakilan dari lembaga swadaya masyarakat. Perumusan dimotori Departemen Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah dan Bank Indonesia.
Intinya, kata dia, rancangan undang-undang itu hendak menyejajarkan kedudukan lembaga keuangan mikro, termasuk baitul maal wat tamwil, dengan perbankan. Draf tersebut juga akan mengatur pengawasan hingga penjaminan. ”Kalau di perbankan ada Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan, masak kami tidak?” katanya.
Tapi, sepuluh tahun berselang, Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro tak kunjung terbit. Statusnya masih rancangan meski pemerintahan sudah berganti presiden. Direktur Pembiayaan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah Agus Muharram mengungkapkan, rancangan yang dirumuskan bersama Bank Indonesia sebenarnya sudah diserahkan kepada Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan—sekarang Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan—pada 2003. Draf juga sudah diserahkan ke Sekretariat Negara tahun yang sama untuk mendapat persetujuan presiden sebagai rancangan undang-undang inisiatif pemerintah. ”Tapi batal dianggap prioritas karena saat itu masih ada koperasi,” ujarnya.
Upaya Dewan Perwakilan Daerah empat tahun lalu menginisiasi rancangan undang-undang dengan versi berbeda juga gagal total. Target pemerintah melahirkan Peraturan Presiden tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pemberdayaan Keuangan Mikro, yang akan menjadi dasar hukum bagi lembaga keuangan mikro, pun lenyap ditelan bumi. Padahal rencana itu masuk Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi 2006.
RAPAT internal Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, pertengahan Juli lalu. Wakil Ketua Komisi VI Aria Bima mengungkit lagi nasib Rancangan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro. Komisi bidang perdagangan, perindustrian, koperasi, dan usaha kecil-menengah ini kebagian jatah menuntaskannya. Masalahnya, sudah setengah tahun berjalan, tapi Dewan dan pemerintah sama-sama tak bergerak memulai pembahasan rancangan regulasi itu.
Tak ingin berlarut-larut, 37 anggota Komisi VI menyetujui hak inisiatif menyusun Rancangan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro. ”Harus selesai tahun ini,” kata Aria. Lalu Dewan membentuk panitia kerja undang-undang itu. Panitia kerja sudah beberapa kali menggelar rapat. Sejumlah kalangan sudah dimintai pendapat. Rancangan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro yang pernah disodorkan Kementerian Koperasi dan Bank Indonesia pada 2001 serta Dewan Perwakilan Daerah pada 2006 dipakai lagi.
Topik utama yang sejak dulu tak pernah selesai adalah badan hukum lembaga keuangan mikro. Bagaimanapun, lembaga keuangan ini meng urus simpanan masyarakat. Karena itu, meski tujuannya menggulirkan pembiayaan modal usaha mikro, Dewan tetap menginginkan jaminan bagi penyimpan dana. ”Harus jelas siapa yang bertanggung jawab jika terjadi apa-apa,” ujar anggota Komisi VI, Ferrari Romawi.
Banyak pihak yang masih berdebat panjang ihwal payung hukum lembaga ini. Ada yang berpendapat lembaga-lembaga keuangan mikro, termasuk baitul maal wat tamwil, diakomodasi dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas saja. Ada juga yang lebih setuju dimasukkan ke Undang-Undang Koperasi. Yang lain malah setuju dimasukkan saja ke Undang-Undang Perbankan.
Tentang kelembagaan, menurut Agus Muharram, sebenarnya Kementerian Koperasi sudah punya kajiannya. Ada lima opsi model institusi. Pertama, lembaga keuangan mikro dibebaskan memilih badan hukum koperasi simpan-pinjam. Kedua, dibuatkan badan hukum baru. Ketiga, mengikuti badan hukum yang bukan koperasi, misalnya perseroan terbatas atau yayasan. Keempat, tetap seperti saat ini, tapi diatur kriteria bisnisnya. Terakhir, diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah.
Lalu di mana posisi baitul maal wat tamwil? Dalam Kongres Asosiasi Baitul Maal wat Tamwil Seluruh Indonesia di Surabaya, Maret lalu, Ketua DPR Marzuki Alie mengisyaratkan lembaga ini akan dimasukkan ke Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro yang sedang dibahas di Senayan. Politikus Partai Demokrat itu membenarkan saat dimintai konfirmasi. ”BMT memang harus diatur karena itu menyangkut kepentingan dana publik,” ujarnya kepada Tempo dua pekan lalu.
Menurut Agus Muharram, Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro penting: tidak hanya menjamin kepastian kegiatan baitul maal wat tamwil, tapi juga lembaga keuangan mikro lainnya, yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 100 ribu unit. ”Mereka bukan bank ataupun koperasi.”
Ada di antara mereka yang merupakan binaan pemerintah. Unit Ekonomi Desa Simpan-Pinjam, misalnya, adalah binaan Kementerian Dalam Negeri. Lembaga Keswadayaan Masyarakat binaan Kementerian Pekerjaan Umum, Pengembangan Usaha Agrobisnis Pedesaan dibina oleh Kementerian Pertanian, dan Kelompok Usaha Bersama merupakan ”anak asuh” Kemen terian Sosial. Tapi banyak pula yang berupa kelompok swadaya masyarakat, seperti Lembaga Perkreditan Desa yang dikembangkan masyarakat pedesaan di Bali. Sebagian besar dari mereka hanya dipayungi izin dari pemerintah daerah. ”Skala mereka lokal, mungkin karena itu pula belum terkena sanksi-sanksi,” kata Agus Muharram.
Agoeng Wijaya, Anang Zakaria (Magelang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo