Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Bukan manusia

Para diplomat prancis, pbb, anggota palang merah, wartawan asing, orang khmer, cina & vietnam berlindung di gedung dubes prancis dari kekejaman khmer merah. ekstra-teritorialitas, tgl 19 april tak berlaku.

1 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

17 APRIL 1979, kota Phnom-Penh jatuh. Pasukan berbaju hitam berkalung sarung yang kumuh masuk. Itulah awal masa yang kemudian tercatat dengan bulu roma berdiri: hampir tumpasnya bangsa Kamboja, di ujung abad ke-20 yang beradab. Sebelum di sepanjang sungai Mekong ratusan kepala manusia disatai, dari kota Phnom-Penh hampir seluruh penghuni digirin ke udik. Lalu Phnom-Penh pun jadi kota hantu. Atau hampir. Di sebuah jalan yang dulu elegan terletak kedutaan Prancis, di tanah lapang lebih 100 meter tiap sisinya dan berisi tiga buah gedung bertingkat dua. Di situ sisa-sisa dari masa "lama" Kamboja mencoba bertahan, sembunyi, entah untuk beberapa hari. Tak ada kesaksian yang lebih mencengkam dari Cambodge annŠe zŠro yang ditulis pendeta Francois Ponchaud. Ia bercerita bagaimana ke dalam gedung ini berlindung para diplomat Prancis, PBB, anggota Palang Merah, wartawan asing, dan kira-kira seribu orang Khmer, Cina dan Vietnam. Dan di antara orang Khmer itu terdapat para tokoh rezim yang kalah -- yang bila jatuh ke tangan Khmer Merah tak akan mungkin kembali lagi. Tapi sampai kapan mereka akan tetap di situ? Sepekan, sebulan, setahun? Hidup di dalam wilayah kedutaan itu adalah hidup yang terkepung. Jean Dyrac, Wakil-Konsul Prancis dan satusatunya orang pemerintah Prancis yang tertinggi di negeri yang sunyi dan suram itu, tak berhasil menemui orang yang berwewenang dalam pemerintahan baru. Sementara itu beberapa orang bersenjata beberapa kali mencoba memasuki gerbang kedutaan dengan paksa. Mereka katanya mau cari orang Amerika. Dengan bujukan sekuat tenaga, mereka dibikin pallam tentang arti "ekstra-teritoriali tas. " Namun Sabtu 19 April, konsep "ekstra-teritorialitas " itu tak berlaku lagi. Tiba-tiba di pagi hari tiga pejabat tinggi rezim baru muncul di depan gerbang kedutaan. Mereka mengajukan ultimatum "Usir para pengkhianat dari kedutaan ini!" Yang disebut "pengkhianat" cukup jelas: sejumlah pejabat tinggi rezim lama, terutama Pangeran Sirik Matak, yang hukuman matinya sudah dijatuhkan Khmer Merah sebelum pagi itu. "Tapi mereka telah minta pada Prancis suaka politik, dan kedutaan ini wilayah kami yang tak bisa dilanggar! ", Jean Dyrac mencoba membantah. Tentu saja percuma. Pejabat Khmer Merah itu menyahut dengan pidato ringkas: "Kami tuan dari negeri kami sendiri, tanah ini punya kami. Dalam perang revolusioner tak ada itu ekstra-teritorialitas dan tak ada previlese. Dengan kata lain: sang Wakil Konsul harus menyetujui tuntutan pasukan ang menang itu, bila ia ingin menyelamatkan hidup orang Prancis dan warganegara asing lain. Maka para "pengkhianat" pun diberitahu akan ultimatum itu. Pangeran Sirik Matak sudah memperhitungkannya rupanya. Dengan sikap agung, ia mengucapkan terimakasih kepada negeri Prancis atas keramah-tamahan yang telah diterimanya. Dijabatnya tangan Wakil Konsul, lalu ke luar bersama rekan-rekannya yang lain --menyerahkan diri ke tangan Khmer Merah yang telah menantikan mereka dengan sebuah jip. Ia dan yang lain-lain tak pernah kembali. Semua juga tahu mereka tak akan pernah kembali. Jean Dyrac mengantarkan tamunya ke gerbang. Sampai di sana emosi mengalahkannya. Ia berdiri menyandarkan kepalanya ke salah satu pilar. Air matanya mengalir, mulutnya terus bersuara: "Kita bukan lagi manusia, 'kita bukan lagi manusia . . ." Apakah manusia, Jean Dyrac? Seorang rekan bercerita tentang satu contoh: suatu hari seorang dokter diketuk pintunya. Seorang pelarian yang luka berat ingin masuk minta ditolong. Bila ia terima tamu itu ia akan melindungi seorang penjahat. Bila ia tolak ia akan mengingkari seorang yang malang. Ia harus segera memilih. Dan tak ada rumus tetap yang bisa membantunya. Mungkin ia kemudian membuat kesalahan. Hidup memang sering tak adil. Life is unfair, konon kata Carter, presiden Amerika itu. Tapi benarkah manusia sekedar tukang menjalani tugas sedih?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus