17 APRIL 1979, kota Phnom-Penh jatuh. Pasukan berbaju hitam
berkalung sarung yang kumuh masuk. Itulah awal masa yang
kemudian tercatat dengan bulu roma berdiri: hampir tumpasnya
bangsa Kamboja, di ujung abad ke-20 yang beradab.
Sebelum di sepanjang sungai Mekong ratusan kepala manusia
disatai, dari kota Phnom-Penh hampir seluruh penghuni digirin
ke udik.
Lalu Phnom-Penh pun jadi kota hantu. Atau hampir. Di sebuah
jalan yang dulu elegan terletak kedutaan Prancis, di tanah
lapang lebih 100 meter tiap sisinya dan berisi tiga buah gedung
bertingkat dua. Di situ sisa-sisa dari masa "lama" Kamboja
mencoba bertahan, sembunyi, entah untuk beberapa hari.
Tak ada kesaksian yang lebih mencengkam dari Cambodge annŠe zŠro
yang ditulis pendeta Francois Ponchaud. Ia bercerita bagaimana
ke dalam gedung ini berlindung para diplomat Prancis, PBB,
anggota Palang Merah, wartawan asing, dan kira-kira seribu orang
Khmer, Cina dan Vietnam. Dan di antara orang Khmer itu terdapat
para tokoh rezim yang kalah -- yang bila jatuh ke tangan Khmer
Merah tak akan mungkin kembali lagi.
Tapi sampai kapan mereka akan tetap di situ? Sepekan, sebulan,
setahun? Hidup di dalam wilayah kedutaan itu adalah hidup yang
terkepung. Jean Dyrac, Wakil-Konsul Prancis dan satusatunya
orang pemerintah Prancis yang tertinggi di negeri yang sunyi dan
suram itu, tak berhasil menemui orang yang berwewenang dalam
pemerintahan baru.
Sementara itu beberapa orang bersenjata beberapa kali mencoba
memasuki gerbang kedutaan dengan paksa. Mereka katanya mau cari
orang Amerika. Dengan bujukan sekuat tenaga, mereka dibikin
pallam tentang arti "ekstra-teritoriali tas. "
Namun Sabtu 19 April, konsep "ekstra-teritorialitas " itu tak
berlaku lagi. Tiba-tiba di pagi hari tiga pejabat tinggi rezim
baru muncul di depan gerbang kedutaan. Mereka mengajukan
ultimatum "Usir para pengkhianat dari kedutaan ini!" Yang
disebut "pengkhianat" cukup jelas: sejumlah pejabat tinggi rezim
lama, terutama Pangeran Sirik Matak, yang hukuman matinya sudah
dijatuhkan Khmer Merah sebelum pagi itu.
"Tapi mereka telah minta pada Prancis suaka politik, dan
kedutaan ini wilayah kami yang tak bisa dilanggar! ", Jean Dyrac
mencoba membantah.
Tentu saja percuma. Pejabat Khmer Merah itu menyahut dengan
pidato ringkas: "Kami tuan dari negeri kami sendiri, tanah ini
punya kami. Dalam perang revolusioner tak ada itu
ekstra-teritorialitas dan tak ada previlese.
Dengan kata lain: sang Wakil Konsul harus menyetujui tuntutan
pasukan ang menang itu, bila ia ingin menyelamatkan hidup orang
Prancis dan warganegara asing lain.
Maka para "pengkhianat" pun diberitahu akan ultimatum itu.
Pangeran Sirik Matak sudah memperhitungkannya rupanya. Dengan
sikap agung, ia mengucapkan terimakasih kepada negeri Prancis
atas keramah-tamahan yang telah diterimanya. Dijabatnya tangan
Wakil Konsul, lalu ke luar bersama rekan-rekannya yang lain
--menyerahkan diri ke tangan Khmer Merah yang telah menantikan
mereka dengan sebuah jip.
Ia dan yang lain-lain tak pernah kembali. Semua juga tahu mereka
tak akan pernah kembali. Jean Dyrac mengantarkan tamunya ke
gerbang. Sampai di sana emosi mengalahkannya. Ia berdiri
menyandarkan kepalanya ke salah satu pilar. Air matanya
mengalir, mulutnya terus bersuara: "Kita bukan lagi manusia,
'kita bukan lagi manusia . . ."
Apakah manusia, Jean Dyrac? Seorang rekan bercerita tentang satu
contoh: suatu hari seorang dokter diketuk pintunya. Seorang
pelarian yang luka berat ingin masuk minta ditolong. Bila ia
terima tamu itu ia akan melindungi seorang penjahat. Bila ia
tolak ia akan mengingkari seorang yang malang. Ia harus segera
memilih. Dan tak ada rumus tetap yang bisa membantunya.
Mungkin ia kemudian membuat kesalahan. Hidup memang sering tak
adil. Life is unfair, konon kata Carter, presiden Amerika itu.
Tapi benarkah manusia sekedar tukang menjalani tugas sedih?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini