TEMPO 20 Oktober (Nasional) tentang Pegawai Negeri, di bawah
judul Kunci Mati Bagi Falwa, dilaporkan kasus pemecatan tidak
dengan hormat terhadap saya oleh Mendagri Amirmachmud. Terus
terang jiwa dan cara penyajian berita itu oleh TEMPO kurang
menyenangkan bagi saya dan keluarga. Banyak orang tua dan
teman-teman yang bersimpati marah dan menegur saya atas
pemberitaan itu. Seolah-olah saya cengeng, putus asa lalu
menyerah begitu saja atas putusan itu dan habislah soal,
berakhirlah cerita. Padahal tidaklah demikian. Sudah tiga kali
saya bersuat kepada Mendagri Amirmachmud dalam tempo 14 hari
sesudah saya terima surat pemecatannya itu untuk menyatakan
menolak dan melawan secara hukum putusan itu. Hingga sekarang
belum dijawabnya. Tapi Lembaga Bantuan Hukum bersama Lembaga
Keadilan Hukum yang telah menyanggupi memberikan bantuan hukum
kepada saya telah memikirkan dan menyiapkan langkah-langkah apa
yang akan ditempuh jika sampai waktu tertentu Mendagri
Amirmahmud tidak juga membuka pintu penyelesaian sebagaimana
diatur oleh peraturan perundangan. Lembaga Pembela Hak-Hak Asasi
Manusia pun telah menawarkan jasa baik untuk turut membantunya.
Insya Allah saya dengan dibantu atau bersama-sama dengan
berbagai pihak akan berjihad (tapi bukan "komando jihad"),
berjuang terus melawan secara hukum atas tindakan
kesewenang-wenangan hukum Menteri Amirmachmud. Pokoknya kita
harus perhitungkan dan tidak membiarkan secara gratis terus
oknum-oknum penguasa menjalankan hukum secara sewenang-wenang
dan menginjak-injak demokrasi. Bangsa Indonesia tidak bisa lupa
sebab telah dicatat oleh sejarah bagaimana kesewenang-wenangan
hukum dan sandiwara demokrasi dalam dua kali pemilu yl. dengan
segala eksesnya termasuk pemecatan beratus-ratus pegawai di
pelbagai instansi dan Daerah yang hingga kini masih banyak yang
belum direhabilitir. Meskipun selesainya pemilu, cepat-cepat
Menteri Amirmachmud pergi 'umroh dan mencium Ka'bah di Mekah,
saya yakin tidak semudah itu dilupakan orang tindakan-tindakan
buldozernya.
Saya tertarik memakai kata "berjihad" di atas yang arti
sesungguhnya ialah berjuang dan dalam konteks kasus saya ini
ialah berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan. Saya merasa
diperlakukan oleh Menteri Amirmachmud secara sewenang-wenang.
Dan menurut beberapa orang yang menyampaikan pada saya bahwa
Menteri Amirmachmud di muka Penataran P4 baru-baru ini di Taman
Mini mengatakan: " . . . saya telah berjihad dengan mengeluarkan
SK memecat Fatwa dari pegawai negeri . . . " Sebelumnya saya pun
pernah diberitahu orang bahwa Menteri Amirmachmud memerintahkan
kepada para penatar tingkat pusat Depdagri untuk membahas
khotbah Idul Fithri saya yang menyebabkan saya ditahan oleh
Laksusda itu. Dari berbagai teman peserta penataran P4 juga
menceritakan pada saya bahwa kasus pemecatan terhadap saya
sering dijadikan contoh permasalahan oleh penatar atau
dipertanyakan oleh peserta. Juga dari Ujung Pandang saya terima
kabar bahwa ketika Menteri Amirmachmud memberikan briefing di
sana dengan nada sangat marah sambil memukulmukulkan tangannya
di podium mengecam beberapa khotbah Idul Fitri di Jakarta dan
terpaksa memecat seorang karyawan DKI yang juga menjadi khotib
sebab kalau tidak akan berbahaya bagi karyawan lainnya.
TEMPO juga memuat wawancaranya dengan A.E. Manihuruk pada
tulisan tersebut dengan mengatakan a.l. bahwa dengan keputusan
berat itu, Fatwa tidak lagi dapat apaapa dan tanpa memberi
peringatan sebelunnya kepada yang bersangkutan pun, Menteri
berdasarkan pertimbangan yang cermat bisa langsung memutuskan
pemecatan tidak dengan hormat. Saya heran seorang orang tua Pak
Manihuruk, Kepala BAKN dan Ketua KORPRI bisa turut langsung
memvonis demikian. Bukankah BAKN (dulu KUP) tempat pegawai
mengadu kalau merasa diperlakukan tidak sewajarnya oleh sesuatu
instansi. Bukankah pimpinan KORPRI harus membantu memecahkan
permasalahan yang dihadapi anggotanya. Filsafat kepemimpinan apa
rupanya yang dianut oleh Pak Manihuruk? Dalam wawancara televisi
beberapa hari yl (5 Nopember?) atas pertanyaan Ismail Hassan SH,
Pak Manihuruk sebenarnya juga telah menyinggung permasalahan
saya (cuma tidak menyebut nama) ketika menjelaskan masalah
pemberhentian tidak dengan hormat seorang pegawai. Sayang Pak
Manihuruk tidak menjelaskan tentang tahap-tahap dan tingkatan
hukuman yang harus diberikan kepada seseorang sebelum tindakan
pemecatan, seperti tegoran tertulis berapa kali, skorsing
dsbnya, yang kebetulan hal-hal ini tidak dilakukan terhadap saya
kecuali berupa pendekatan beberapa kali dari Gubernur dan Wakil
Gubernur agar saya mengajukan permohonan berhenti dari pegawai,
permohonan berhenti sebagai pengurus Majelis Ulama DKI dan
permohonan berhenti sebagai anggota Badan Pendiri dan Wakil
Ketua dari Yayasan Pondok Karya Pembangunan. Kesemuanya ini saya
tidak bersedia meiakukannya sebab saya tidak dapat mengerti
maksud dan cara itu. Berbagai bujukan dan ancaman berkenaan
dengan itu tidak saya pedulikan. Cara-cara penggeseran jabatan
saya pun sebelumnya terasa aneh. Yaitu didahului oleh sebuah
surat desakan dari suatu instansi yang biasanya sangat ditakuti.
Tapi dari suatu informasi yang saya dapatkan dari lingkungan itu
juga menyebutkan bahwa surat desakan itu dibuat karena atas
permintaan DKI. Artinya pinjam tanganlah. Sebenarnya sejak di
zaman Gubernur Ali Sadikin saya ketahui banyaknya desakan (tidak
sampai tertulis) dari kalangan politik tertentu dengan melalui
beberapa jalur, agar saya di geser dari jabatan-jabatan. Pak Ali
Sadikin dalam cara semacam ini sangat tidak senang kalau intern
pemerintahannya dicampuri oleh orang lual sebab dia merasa
bertanggung jawab penuh atas seluruh anak buahnya.
Adalah tidak dapat saya lupakan sikap kebapakan, sikap
kemanusiaan yang lemah lembut dan sikap tidak sampai hati
menyakiti seseorang yang sangat mewarnai wajah pribadi Pak
Tjokropranolo di mana hal ini pun saya rasakan dalam menghadapi
kasus saya. Oleh kesan tersebut sehingga terpikir oleh saya
semoga Pak Tjokro nanti pada hari-hari istirahatnya dari
tugas-tugas pemerintahan dapatlah terus berkecimpung di
masyarakat memimpin Yayasan-Yayasan sosial dan Yatimpiatu yang
sangat membutuhkan sentuhan kemanusiaan yang dalam.
Kembali pada soal tindakan drastis Menteri Amirmachmud pada
saya. Watak buldozer Pak Amirmachmud yang sukar kompromi kita
sudah kenal. Gubernur Willy Lasut dan Gubernur Munafri habis
dibuldozer, meskipun tersebut terakhir terpaksa angkat tangan
menanda tangani perintah permohonan berhenti. Kita teringat dulu
kasus pemberhentian Gubernur Ali Sadikin yang minta penundaan
beberapa saat karena kepentingan beberapa proyek terutama selaku
Ketua Umum PON, namun tidak ada-ampun dari Pak Amirmachmud. Maka
apakah lagi manusia kecil seperti saya ini yang terkena
buldozernya Pak Amirmachmud. Namun bagi saya berjuang bukanlah
soal menang dan kalah tetapi soal keyakinan akan kebenaran.
Jangam kan manusia dan kekuasaan bisa berganti bahkan dunia pun
akan bertukar. Sadar dan Istighfarlah wahai pembesar.
A.M. FATWA
Jl. Kramat Pulo Gundul K15
Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini