Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Politikus 'Nasi Pecel'

5 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Sri Bintang Pamungkas menjadi topik populer di media sosial pekan lalu. Ia ditangkap polisi di rumahnya karena dituduh merencanakan makar setelah demo besar pada 2 Desember 2016. Penangkapan yang direkam anaknya melalui video itu menyebar masif di media sosial. Selain Bintang, ditangkap juga sejumlah tokoh lain, yakni Rachmawati Soekarnoputri, Kivlan Zen, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, dan Ahmad Dhani.

Sri Bintang terkenal sejak era Orde Baru. Dia menjadi "bintang" dalam kampanye Pemilihan Umum 1992, mewakili Partai Persatuan Pembangunan. Dalam rubrik Nasional, Tempo edisi 20 Juni 1992 menulis sosok Bintang Pamungkas dengan judul "Politikus 'Nasi Pecel'".

Dalam kampanye putaran terakhir PPP di Parkir Timur Senayan, Jakarta, Sri Bintang tampil menyengat. Dia menggugah semangat sekitar 200 ribu orang dari Partai Bintang itu dengan isu-isu calon presiden, kultus individu, dan aliansi Golkar-ABRI-birokrasi. Ini merupakan isu yang tabu dibicarakan di era rezim Presiden Soeharto.

Sejak kelas III sekolah dasar, Bintang Pamungkas sudah bercita-cita menjadi insinyur Institut Teknologi Bandung. Bagi dia, ini merupakan sikap politik. Sebab, dengan cita-cita itu, ia belajar mati-matian. Aktivitasnya di partai membuatnya harus berhenti sebagai konsultan Bank Summa. Kemudian ia memimpin PT Manajemen Musyarokah Indonesia, mitra Bank Muamalat Indonesia.

Sebagai "bintang", doktor ekonomi dari Iowa State University, Amerika Serikat, ini memang bersinar dalam "kelamnya" dunia politik Indonesia. Ia berkacamata minus dan bertubuh sedang, tapi di panggung kampanye ia menggebu-gebu. Saking kerasnya isi pidato, Sri Bintang bahkan terkena semprit Jaksa Agung Singgih tatkala berkampanye di Sumatera Selatan.

Ia tak percaya pada mitos "kue pembangunan" yang harus dibesarkan dulu. Bagi dia, pemerataan itu mutlak. Agar tak lagi ada jurang kaya-miskin. Mungkin tema perjuangan Sri Bintang ini adalah sublimasi dari masa kecilnya.

Ia menjadi yatim pada usia lima tahun. Ayahnya bekas hakim Pengadilan Negeri Ngawi, Jawa Timur, dibunuh Partai Komunis Indonesia pada 1948. Hanya dengan bekerja keras, ia dan enam kakaknya—antara lain Profesor Sri Edi Swasono—dan ibunya bisa survive. Ia mengaku hingga sekolah menengah atas dibesarkan dengan "nasi pecel" di Solo.

Ia juga berani menyempal dari arus di PPP, dengan mengatakan bahwa mencalonkan Pak Harto dalam kampanye itu kesalahan besar, hingga suara PPP tak meningkat. Padahal sudah ada kesepakatan untuk tidak menyinggung soal itu. "Tapi Buya dan pimpinan lainnya ngulang lagi," katanya. Buya yang dimaksud adalah Ismail Hasan Metareum, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan 1989-1998.

Sri Bintang punya ide agar Tata Tertib DPR/MPR diperbaiki. Yang memilih presiden bukan fraksi, tapi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. "Itulah namanya kedaulatan rakyat," kata tokoh yang memungut 20 anak asuh itu. Ia terpilih menjadi anggota DPR mewakili PPP dan menjadi vokalis di parlemen.

Dalam perjalanan politiknya, sikap kritis Sri Bintang terhadap pemerintahan Presiden Soeharto membuat gerah pimpinan partai. Pada 5 Maret 1995, PPP menarik Sri Bintang dari keanggotaan Fraksi PPP di DPR/MPR.

Pada 11 Oktober 1996, Sri Bintang menantang Soeharto untuk berani menggelar pemilihan presiden secara langsung. Bintang kecewa pada pemilihan presiden oleh MPR yang dimonopoli oleh Soeharto selama puluhan tahun.

Kemudian dia membentuk Partai Uni Demokrasi (Pudi) sebagai bagian dari perlawanan kepada pemerintah. Pada Maret 1997, Bintang ditahan atas tuduhan subversi. Setahun kemudian, Presiden B.J. Habibie meneken keputusan presiden yang memberikan abolisi atau penghentian perkara kepada Bintang atas tuduhan subversi. Bintang pun dilepaskan dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, pada 26 Mei 1998.

Menjelang Pemilu 2004, Bintang mengkampanyekan golongan putih. Menurut dia, apa yang dilakukan Soeharto dulu dijalankan lagi oleh pemerintah sekarang. "Jadi untuk apa ada Pemilu 2004 kalau hasilnya tidak beda jauh dengan Pemilu 1999 yang telah gagal? Malah membentuk Neo Orde Baru sekarang ini," kata pria kelahiran Tulungagung, Jawa Timur, 25 Juni 1945, ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus