Setelah membaca TEMPO (3 Oktober 1992, Kriminalitas) saya tergugah untuk memberi komentar terhadap kejadian yang menimpa seorang anak yang bernama Suhartono. Mengapa kejadian semacam ini harus terulang kembali. Bukankah con tohcontoh yang terdahulu telah cukup jelas untuk memberi didikan atau setidaknya memberi gambaran kepada setiap insan manusia, bagaimana cara yang baik dalam menghadapi perilaku anak, baik anak kandung, anak asuh, maupun anak tiri. Ingat Farida di Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur, yang dibunuh dan dicincang menjadi 79 bagian. Oleh neneknya sendiri cincangan itu dimasak untuk laukpauk. Betapa sedih dan terenyuhnya hati setiap manusia yang mendengar, membaca, atau mungkin melihat kejadian semacam itu. Bukan zamannya orang tua mencederai anak, lebih-lebih mencelakakannya. Anak adalah kelompok yang paling lemah, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Sehingga seorang anak kurang atau tidak mampu memberikan perlawanan, baik secara pribadi maupun bersama. Janganlah seorang anak dijadikan pelimpahan dan penyaluran emosi, sebab seorang anak jelas memiliki perbandingan fisik yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan orang tuanya. Seorang anak juga akan menerima apa saja yang diberikan dan diajarkan dari orang tuanya. Yang sangat disayangkan adalah tidak atau belum ada suatu usaha yang dilakukan untuk menghindari dan melindungi anak-anak dari kekerasan dan kekejaman yang dilakukan oleh orang tua. CAHYO HERMAWANTORO Jalan Rangkah V/27II Surabaya 60135
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini