BERITA samar-samar itu akhirnya menjadi jelas: Pemerintah Indonesia membeli 42 kapal perang bekas dari Jerman (Timur). Adalah Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana M. Arifin yang mengumumkan soal pembelian ini dalam pembukaan rapat pimpinan TNI-AL di Markas Besar ABRI di Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat pekan lalu. Esok harinya, dalam sebuah jumpa pers di Cilangkap, Deputi Operasi KSAL Laksamana Madya Sumartono merinci, 42 kapal perang itu terdiri dari 16 kapal patroli jenis korvet dan 14 kapal pengangkut LST (landingship tank), serta 12 kapal jenis penyapu ranjau. Kendati tergolong bekas, kapal-kapal perang yang dibeli Indonesia itu rata-rata masih berusia muda. Misalnya, kapal jenis korvet. Kebanyakan buatan tahun 1985, walau ada juga yang dibuat pada 1982. Usia rata-rata kapal perang adalah 15 tahun. Sedangkan kapal TNI-AL yang ada sekarang umurnya 25-30 tahun. Malah di antara LST Indonesia ada yang buatan tahun 1943, zaman Perang Dunia II. "Jalannya sudah edek-edek-edek," kata Arifin menirukan suara LST tua milik armadanya itu. Sesungguhnya Angkatan Laut menginginkan membeli kapal perangnya dari PT PAL di Surabaya. Namun, kata Sumartono, PAL baru membuat kapal setingkat FPB (fast patrol boat) dan belum mampu membuat setingkat fregat. Tak bisa lain, kebutuhan kapal perang harus dipasok dari luar negeri. Untuk itu persetujuan datang dari Presiden. "Diinstruksikan oleh Presiden bahwa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) diserahi untuk melakukan segala sesuatunya tentang pengadaan kapal tadi," kata Sumartono. Instruksi Presiden (Inpres) kepada Ketua BPPT itu dikeluarkan di Jakarta pada 3 September yang lalu. Presiden menugasi Ketua BPPT B.J. Habibie selaku Ketua Tim Pengembangan Industri Pertahanan dan Keamanan untuk menjajaki dan melakukan negosiasi pengadaan kapal perang TNI-AL. Dan Habibie, yang sampai kini masih menjabat wakil presiden pabrik pesawat Messerchmidt Bulkow Blohm (MBB) Jerman, dikenal punya lobi yang baik dengan para pemimpin Jerman, termasuk Kanselir Jerman Helmut Kohl, orang yang sangat berperan dalam pembelian ini. Menurut Arifin, ide pembelian kapal tadi memang berasal dari Presiden Soeharto dan Habibie. Dan ide itu muncul setelah dua Jerman bersatu dan berakhirnya era perang dingin. Sebelum dua Jerman bersatu, kekuatan angkatan laut keduanya berimbang. Ketika bergabung, Jerman punya kekuatan laut dua kali lipat -- dan ini bisa menjadi ancaman negara tetangganya. Jadi paling tidak ada 16 korvet, 14 LST, dan beberapa kapal penyapu ranjau yang harus "dibuang" dari armada laut Jerman. Maka Presiden Soeharto pun menugasi Habibie untuk menjajaki kemungkinan pembelian. Tapi dana jadi kendala. Seperti kata Arifin, harga sebuah korvet baru adalah US$ 300-400 juta. Sedangkan yang bekas, seperti milik Jerman tadi, paling murah US$ 200 juta sebuah. Dengan harga pasar ini mungkin Indonesia perlu merogoh kocek sampai US$ 20 milyar (sekitar Rp 40 trilyun) atau hampir 70% APBN tahun ini. Entah bagaimana caranya, Jerman berhasil diyakinkan bahwa kapal perang itu akan dimanfaatkan untuk menjaga pantai Indonesia yang luas. Dan secara tak langsung, itu juga membantu stabilitas di Asia Tenggara -- iklim yang bagus untuk investasi di kawasan itu, termasuk dari Jerman. Kabarnya, perundingan yang makan waktu sekitar satu tahun itu sempat mandek akibat meletusnya Peristiwa Dili, 12 November tahun lalu. Dan Maret silam lampu hijau dari Jerman menyala: pemerintah Indonesia boleh mengajukan penawaran harga. Indonesia konon akhirnya berhasil mendapatkan 42 kapal perang tadi dengan harga yang sangat "miring", kurang dari Rp 1 milyar sebuah. Meminjam istilah Wulang Widada, Direktur Teknologi dan Marketing PT PAL, dengan harga itu, "Kita sangat bejo (untung)." Armada kapal perang TNI-AL sekarang ini berkekuatan 80 kapal. "Tapi dibanding kebutuhannya, jumlah ini sangat kurang," kata Sumartono. Karena tak semua kapal perang itu beroperasi setiap hari. Sepertiga dari jumlah tadi dipakai untuk latihan, sepertiga lagi dalam perbaikan, dan sisanya dioperasikan. Akibatnya, setiap hari hanya 20 sampai 25 kapal yang dikerahkan menjaga perairan Nusantara. Itu pun, katanya, tak seluruhnya melaut. Ada juga yang lego jangkar di daerah operasi. Yang efektif melaut, tambahnya, hanya 10 sampai 15 kapal. Jumlah yang beroperasi itu jelas sangat kurang dibandingkan dengan luasnya perairan Indonesia. Jadi berapa butuhnya? "Wah itu ada teorinya, panjang sekali kalau saya terangkan. Singkatnya begini, kapal itu dipakai untuk dua tujuan, untuk tempur dan untuk menjaga keamanan," ujar Arifin. Wulang Widada punya patokan. Katanya, untuk kapal patroli jenis FPB, Indonesia butuh paling tidak 76 buah. Jenis fregat pun butuh lebih dari 17 kapal milik AL itu. Menurut Widada, PT PAL kelak juga akan kebagian tugas untuk mengurus pemeliharaan kapal perang eks Jerman tadi. Namun kesibukan itu tampaknya baru akan tiba tahun depan, ketika kapal-kapal itu datang. Dan menurut KSAL, sesuai dengan kapasitas galangan kapal di sini, pihaknya ingin tiap kali pengiriman ada dua kapal yang datang. Sebelum tahap itu tim TNI-AL telah tiga kali diberangkatkan ke Jerman untuk meneliti seluruh kapal tadi, apakah perlu perbaikan atau tidak sebelum dibawa ke sini. Konon TNI-AL tadinya merencanakan membeli kapal perang dari negara-negara Eropa Barat. Tapi KSAL Arifin menolak ada rencana pembelian ke negara tertentu. Dan soal pembelian itu, kata Arifin, tetap sejalan dengan perencanaan strategis lima tahunan TNI-AL. "Dalam perencanaan strategis, kita perlu kapal-kapal jenis ini-ini." Dan kapal dari Jerman ini memang sangat dibutuhkan untuk menambah kekuatan armada Indonesia. Toh tambahan "gigi" TNI AL ini tak akan membuat perimbangan kekuatan laut di Asia Pasifik menjadi njomplang (Lihat Tabel). Apalagi sebagian kapal perang RI sudah akan dipensiunkan. Memorandum of understanding (MOU), antara pihak Indonesia dan Jerman sudah diteken. Dan tinggallah kini menunggu penandatanganan penyerahan kapal dari pihak Jerman. Soal pembayaran agaknya masih digodok di Kantor Menteri Keuangan dan belum ketahuan akan diambilkan dari pos anggaran yang mana. Maka, ketika dihubungi M.D. Adjie dari TEMPO pekan lalu, Menteri Sumarlin hanya menjawab singkat, "Saya belum tahu masalah itu. Karena memang tidak ada dalam anggaran." Toriq Hadad, Wahyu Muryadi, Diah Purnomowati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini