Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDENÂ Prabowo Subianto sebaiknya membatalkan rencana mengubah status Perusahaan Umum Bulog menjadi lembaga pemerintah. Penempatan Bulog sebagai organisasi di bawah Prabowo akan membuat badan usaha milik negara itu berubah menjadi regulator sekaligus operator dalam menjaga harga dan pasokan pangan. Selain menimbulkan konflik kepentingan karena perannya tersebut, perubahan status Bulog membuka celah terjadinya korupsi.Â
Rencana Prabowo mengembalikan status Bulog menjadi badan di bawah presiden disampaikan oleh Kepala Bulog Wahyu Suparyono dalam rapat dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa, 5 November 2024. Wahyu mengklaim perubahan status itu bertujuan membuat Bulog menjadi lebih efisien. Ia menganggap peran Bulog yang hanya menjadi operator akan membatasi lembaga itu sebagai pengelola di bidang pangan.
Pengembalian Bulog sebagai badan di bawah presiden seperti pada era Orde Baru adalah kebijakan penuh mudarat. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, mertua Prabowo, Badan Urusan Logistik dengan hak monopoli yang dimilikinya memberikan keistimewaan kepada perusahaan yang dekat dengan penguasa untuk mengadakan komoditas pangan. Selain memperpanjang rantai pengadaan bahan pokok, kongkalikong itu menghasilkan distorsi atau ketidakseimbangan pada mekanisme pasar.
Status regulator sekaligus operator terbukti membuat Bulog menjadi rumah yang nyaman bagi para pemburu rente. Celah korupsi inilah yang menjadi salah satu alasan Bulog beralih status menjadi BUMN pada 2003. Meski diwarnai kerugian serta sejumlah kasus korupsi, model pengelolaan Bulog sebagai perusahaan umum yang menjalankan fungsi pelayanan publik dan komersial belakangan menunjukkan kinerja positif. Pada 2023, perusahaan itu untung Rp 820 miliar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo