Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKROBAT hukum yang banal sedang dipertontonkan di Sumatera Barat. Kepolisian daerah wilayah itu menyetop pengusutan korupsi penyelewengan dana penanganan pandemi Covid-19 yang bukti-buktinya sudah terang benderang. Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum Padang yang mempertanyakan penghentian perkara tersebut malah dipanggil dengan tuduhan menyebarkan permusuhan dan kebencian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua bermula ketika Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Sumatera Barat menemukan markup dalam pengadaan cairan pembersih tangan di Badan Penanggulangan Bencana Daerah provinsi tersebut pada 2020. Nilainya tak tanggung-tanggung: Rp 4,9 miliar. Ketiga perusahaan yang ditunjuk oleh BPBD ditengarai terafiliasi dengan menantu Kepala Pelaksana BPBD Sumatera Barat Erman Rahman. Proyek kian mencurigakan karena pemesanan hand sanitizer oleh ketiga perusahaan itu atas nama istri Erman. Harganya digelembungkan berkali-kali lipat dari harga pasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dana yang sempat digangsir itu memang telah dikembalikan sesuai dengan rekomendasi BPK. Tapi itu semestinya bukan alasan bagi Kepolisian Daerah Sumatera Barat untuk menghentikan penyidikan. Polisi berdalih tak ada lagi kerugian negara karena duit hasil korupsi sudah dikembalikan. Ini sungguh mengada-ada. Undang-Undang Antikorupsi jelas-jelas menyebutkan pengembalian uang negara tak menghapus tindak pidana.
Lagi pula modus korupsi dalam pengadaan hand sanitizer tersebut bukan hanya soal penggelembungan harga. Sejak awal, menilik jejaring kekerabatan para pelaku, proyek ini tampaknya dirancang untuk digarong. Karena itu, menghentikan penyidikan dan tak melanjutkan kasus ini ke pengadilan bakal mengirim pesan keliru kepada publik. Tanpa upaya hukum yang sungguh-sungguh, tak ada efek jera dari terbongkarnya kasus ini.
Jikapun polisi berdalih menggunakan pasal 27 peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang kebijakan keuangan negara dalam penanganan pandemi Covid-19, ini juga keliru besar. Pasal itu memang menyebutkan bahwa pejabat yang melaksanakan penanganan pandemi sesuai dengan aturan tidak bisa dituntut pidana ataupun perdata. Namun ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Para pelaku harus menunjukkan ada iktikad baik dalam pelaksanaan tugasnya. Mengakali pengadaan dan menggelembungkan harga jelas bukan cermin adanya iktikad baik.
Pendeknya, dengan alasan apa pun, langkah polisi menghentikan perkara tersebut tidak punya dasar. Dalih restorative justice pun tak bisa dipakai di sini. Tindakan polisi seolah-seolah memberikan impunitas kepada pencuri uang negara. Wajar bila LBH Padang yang sudah lama mengawal pengusutan perkara ini lalu mengkritik pedas langkah polisi. Salah satunya dengan membuat meme, yang kemudian diunggah di media sosial.
Aksi polisi memanggil LBH Padang untuk diperiksa soal unggahan tersebut patut dikecam. Ketimbang sibuk membungkam suara kritis, polisi seharusnya meninjau kembali keputusannya menutup kasus korupsi pengadaan hand sanitizer itu. Kepala Kepolisian RI harus berani mencopot jajarannya yang menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang untuk melindungi pejabat yang terindikasi korupsi.
Sesungguhnya, insiden di Sumatera Barat ini mencerminkan salah kaprahnya paradigma pemerintah dalam pemberantasan korupsi di tengah masa pagebluk Covid-19. Pemerintah selalu mengaku mengutamakan pencegahan ketimbang penindakan. Padahal, dengan jumlah anggaran yang luar biasa besar, penanganan pandemi justru harus dibarengi aksi penindakan yang kuat agar tak direcoki maling. Kultur impunitas seperti yang kita lihat di Padang justru akan menyuburkan korupsi di negeri ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo