Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pencurian ikan di laut Natuna marak lagi.
Satgas 115 melempem karena tak mendapat dukungan politik yang kuat.
Perlu solusi keamanan, ekonomi, dan diplomasi.
BILA ingin bisnis berhasil, pengusaha mesti berlayar ke laut biru, meninggalkan laut merah yang dihuni para hiu. Artinya, bila ingin sukses, pebisnis harus menciptakan produk atau layanan yang sepi pesaing. Begitulah menurut teori “Blue Ocean Strategy” ciptaan guru manajemen asal Prancis, W. Chan Kim dan Renée Mauborgne.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Invasi nelayan Vietnam yang mencuri ikan dan kekayaan laut Natuna adalah parodi terburuk teori tersebut. Para nelayan dan pebisnis ikan Vietnam menerapkan teori itu secara literal ketika laut mereka sudah dikeruk berlebihan. Konflik dengan Cina di utara mendorong nelayan Vietnam berlayar ke selatan hingga Natuna, perairan luas yang sepi dari patroli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nelayan Vietnam leluasa menjarah ikan lantaran perairan Natuna jarang terjamah petugas keamanan—terutama setelah Satuan Tugas Pemberantasan Pencurian Ikan tak lagi mendapat dukungan politik sejak 2020. Dewan Perwakilan Rakyat kurang sreg dengan kerja Satgas 115—nama populer satuan yang mengkoordinasi patroli laut itu. Padahal, selama bekerja sejak 2014, Satgas telah menenggelamkan 556 kapal asing hingga membongkar perbudakan di kapal nelayan. Ketika Satgas 115 bisa menekan pencurian, nilai ekspor komoditas laut Indonesia naik rata-rata 3 persen setahun, atau setara dengan Rp 65 triliun.
Sayangnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga setengah hati meneruskan Satgas yang pernah disegani pada era Menteri Susi Pudjiastuti itu. Menteri pengganti Edhy, Wahyu Sakti Trenggono, juga tak punya gereget dalam mengamankan laut dari serbuan nelayan asing.
Tanpa dikoordinasi Satgas, patroli laut kini berjalan sendiri-sendiri. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Keamanan Laut, TNI Angkatan Laut, pemerintah provinsi, dan polisi laut bergerak sporadis. Walhasil, makin jarang terdengar ada penangkapan kapal nelayan asing di perairan Indonesia.
Untuk mengamankan laut Natuna, pemerintah membuat solusi instan dengan mendatangkan nelayan Tegal. Dengan teknologi yang ketinggalan zaman, cantrang nelayan Tegal sering terbawa ombak hingga ke pinggir pantai. Akibatnya, alih-alih mengusir nelayan asing, nelayan Tegal justru berkonflik dengan nelayan tradisional Kepulauan Riau.
Penerapan teori “Blue Ocean Strategy” secara benar bisa menjadi solusi jangka panjang untuk mencegah pencurian ikan. Selain meningkatkan patroli dan menegakkan hukum, pemerintah perlu menggiring industri perikanan besar dari wilayah tangkap yang berlebih—seperti di Laut Jawa—ke perairan Natuna. Bila Natuna menjadi laut yang “berpenghuni”, nelayan asing akan berpikir dua kali ketika hendak memasukinya. Ibaratnya, agar “hiu” Vietnam tak datang menginvasi laut Natuna, Indonesia perlu menciptakan “hiu” sendiri.
Solusi jangka panjang itu perlu dibarengi pembuatan zonasi wilayah tangkap ikan. Tujuannya agar industri besar dan menengah tak menyerobot wilayah tangkap nelayan tradisional, seperti pada konflik nelayan Tegal dan Riau itu.
Pemerintah Indonesia juga perlu memaksimalkan jalur diplomasi. Sebab, nelayan Vietnam tak hanya mencuri ikan dari perairan Indonesia. Malaysia, Filipina, dan Thailand juga menjadi wilayah jarahan nelayan Vietnam. Bersama tiga negara itu, Indonesia semestinya melobi Vietnam agar tak menangkapi ikan di laut negara lain secara ilegal. Ihwal tingginya permintaan komoditas laut di Vietnam bisa dipenuhi secara legal oleh empat negara tetangganya.
Dengan solusi keamanan, sosial, ekonomi, dan diplomasi ini, laut kita mungkin tak akan lagi menjadi wilayah hukum rimba—tempat nelayan dengan teknologi maju leluasa menjarah serta menggilas nelayan tradisional.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo