Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Membendung Kegentingan Sektor Perbankan

OJK melansir aturan baru yang mewajibkan bank menambah modal. Mengantisipasi ancaman sektor perbankan akibat geopolitik global.

5 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peraturan OJK Nomor 5 Tahun 2024 tentang pengawasan dan penanganan permasalahan bank umum merupakan antisipasi atas situasi geopolitik global yang dapat mengancam perekonomian nasional dan operasi perbankan.

  • Dengan nilai tukar lebih dari 16 ribu per dolar Amerika Serikat, rupiah mendekati titik terendah yang dialami pada masa krisis moneter 1998.

  • Meski dapat memberatkan bank-bank kecil, kewajiban penambahan modal atau capital surcharge bisa menjadi bumper atas ancaman krisis perbankan.

PERATURAN Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5 Tahun 2024 tentang Penetapan Status Pengawasan dan Penanganan Permasalahan Bank Umum terbit di ambang ancaman krisis perbankan akibat kemerosotan nilai rupiah. Saat ini kurs tengah rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mencapai 16.276—melewati batas psikologis dan mendekati rekor terburuk yang dialami pada masa krisis moneter 1998, 16.800.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dampaknya langsung terasa. Sejak bursa kembali dibuka seusai libur Idul Fitri 2024, harga saham bank besar cenderung melorot. Pada perdagangan perdana Mei 2024, misalnya, Indeks Harga Saham Gabungan anjlok 1,61 persen menjadi 7.117,42. Dua dari tiga penurunan terdalam di LQ45—saham 45 perusahaan terseleksi berlikuiditas tertinggi—dialami Mandiri dan Bank Negara Indonesia, yakni sebesar 8,33 persen dan 8 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gonjang-ganjing ini bersumber dari ekonomi makro global. Amerika Serikat terus dilanda inflasi tinggi, jauh di atas ekspektasi pasar dan target The Fed yang sebesar 2 persen. Akibatnya, sulit berharap The Fed menurunkan suku bunganya. Kondisi ini diperparah oleh tingginya tensi di Timur Tengah antara Israel dan Iran.

Memang, hasil uji stres kondisi perbankan yang digelar OJK menunjukkan pelemahan rupiah belum berdampak signifikan terhadap permodalan bank. Salah satu penyebabnya, posisi devisa neto—selisih antara aset valuta asing dan kewajiban valuta asing dibagi modal—perbankan nasional hanya 1-5 persen, jauh di bawah batas 20 persen yang ditetapkan Bank Indonesia.

Walhasil, Peraturan OJK Nomor 5 Tahun 2024 ini lebih bermakna sebagai lampu kuning agar perbankan menyadari bahwa kondisi ekonomi sedang runyam. Sekarang, misalnya, bukan waktunya untuk jorjoran menggelontorkan kredit. 

Sebaliknya, Otoritas meminta perbankan mempertebal bumper untuk mengantisipasi krisis lewat capital surcharge atau penambahan modal. Jumlahnya 1-3,5 persen dari aset tertimbang. Sebagai gambaran, kelompok bank berdasarkan modal inti atau KBMI I, kategori terendah, wajib punya modal inti Rp 6 triliun sebelum aturan ini terbit. 

Peraturan OJK terbaru ini, tentu saja, menjadi beban bagi bank-bank kecil. Namun memang inilah cara OJK, juga Bank Indonesia, memperkuat sistem perbankan nasional. Indonesia kini memiliki 105 bank konvensional dan syariah. Meski trennya terus menurun sejak krisis moneter 1998—saat itu ada 237 bank—jumlah ini masih terlalu banyak. 

Sistem perbankan Indonesia akan lebih kokoh jika ditopang sejumlah bank besar yang kuat, bukan sekadar diriuhkan banyak bank berskala kecil. Nyatanya, separuh aset perbankan nasional berputar di empat bank di kasta tertinggi, KBMI IV, yaitu Mandiri, BNI, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Central Asia. 

Jika tak mampu menambah modal, bank menengah dan kecil diminta OJK melakukan akuisisi atau merger. Masalahnya, di luar badan usaha milik negara, tidak mudah menyatukan dua entitas bisnis dengan pemilik berbeda. Rencana penggabungan MNC Bank milik Hary Tanoesoedibjo dengan Bank Nobu kepunyaan James Riady, misalnya, tak kunjung terwujud meski kabarnya tersiar sejak dua tahun silam. 

Para pengelola bank perlu menyadari bahwa kebutuhan konsolidasi kian menjadi-jadi saat ini. Sebab, di luar uji stres yang dijalankan OJK, ada ancaman besar bagi sistem perbankan Indonesia, yaitu penempatan aset di obligasi. Saat ini pemegang porsi terbesar surat berharga negara adalah bank. Jumlahnya Rp 7.180 triliun atau 88,6 persen dari total utang negara. Pasar surat berharga juga rentan terhadap situasi ekonomi global. Begitu ada guncangan, krisis dikhawatirkan menimpa bank-bank di Indonesia. 

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus