Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN cara apa Anda akan berterima kasih kepada hutan yang dibabat untuk diubah menjadi kota kosmopolitan, lumbung pangan, perkebunan kelapa sawit, vila, dan lahan tambang? Pada waktu bersamaan Anda berkoar tentang politik hijau, greenflation, green job, etika lingkungan, krisis iklim, pajak lingkungan, dan tobat ekologis. Istilah-istilah itu mewakili gagasan global tapi terdengar menggelikan ketika Anda masih bepergian dengan mobil mewah yang boros bahan bakar fosil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hutan masih dilihat sebagai kepurbaan yang misterius sekaligus material yang dihitung dalam angka. Sisi kepurbaan makin ditaklukkan atas alasan kemajuan dan pembangunan. Penaklukan juga terlihat dari sisi kebahasaan, yang masih ditopang oleh cara pikir kolonialisme. Hutan dianalogikan dengan sesuatu yang tidak terjamah, murni, menakjubkan, sekaligus kegelapan yang beririsan dengan keterbelakangan. Ingat saja film Tarsan Kota (1974) yang dibintangi Benyamin Sueb dan Ida Royani. Setelah menyelamatkan Ida dari bahaya di hutan, Tarsan diajak ke kota untuk belajar membaca dan menulis. Tarsan meninggalkan hutan dan menjemput cara hidup melek huruf sebagai ukuran peradaban kota. Keterbelakangan harus diberadabkan, dimodernkan, dan dicerahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak mengherankan jika salah satu calon wakil presiden dalam Pemilihan Umum 2024 menanggapi kelanjutan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur dengan komentar, “Itu kan pilihan aja, lagi enak di Jakarta, tiba-tiba disuruh ke hutan, entar dulu.” Dia memang bukan Tarsan, jadi tidak akan mau tinggal di hutan. Pemilihan kata hutan adalah upaya hiperbolis untuk menyebut wilayah 3T (tertinggal, terluar, dan terdepan). Salah seorang yang Anda kenal pasti juga pernah secara hiperbolis menyebut “hutan” untuk tempat-tempat yang kini berubah menjadi pertokoan, perumahan, atau pabrik.
Menyebut IKN sebagai “hutan” tanpa keraguan itu telah memperjelas betapa timpang segala akses dan fasilitas di Kalimantan Timur dari sang pusat, Jakarta. Dalam kasus kebahasaan ini, jelas sang kandidat telah mengingkari peran Kalimantan Timur sebagai salah satu aset hutan terbesar di Indonesia yang menentukan kelangsungan kota-kota (Jawa), yang juga menopang dirinya menikmati posisi sebagai manusia (kota) terpelajar.
Bagi orang yang terbiasa hidup dalam kemudahan (kota), ketimpangan dan keterpencilan itu menakutkan. Apalagi belakangan juga terbit semacam kekhawatiran di kalangan aparatur sipil negara yang seakan-akan hendak “dibuang” ke IKN. Ketakutan itu mirip dengan pengalaman mahasiswa yang akan menempuh kuliah kerja nyata di daerah belum terpetakan oleh Google Maps. Sebelum sampai lokasi, mereka cemas duluan membayangkan nihilnya sinyal Internet, listrik, dan tentu saja toko swalayan.
Seperti juga dibilang “udik” dan “ndeso” itu memalukan, menyebut diri tinggal di kota lebih mentereng daripada di kabupaten, apalagi hutan. Bahkan tinggal di desa yang paling terpinggirkan di Pulau Jawa sekalipun masih lumayan dibanding tinggal di “luar Jawa”. Sama seperti “hutan”, istilah “luar Jawa” memantik intrik psikologis kebahasaan. Istilah “luar Jawa” masih menjadi stigma mengenai jalan tidak beraspal, listrik terbatas, hutan belantara, kemiskinan, keterasingan, dan keterbelakangan.
Hutan barulah diingat ketika Anda ingin kembali sejenak menemukan oksigen, keheningan, dan petualangan. Di akhir kisah Mahabharata, misalnya, raja sepuh Destarastra “pulang” ke hutan untuk mencari lindungan setelah begitu payah menyangga kekuasaan duniawi. Hutan punya hayat dan hikayat sendiri yang jauh lebih kekal dari slogan pembangunan. Hutan akan baik-baik saja tanpa Anda. Sebaliknya, apakah Anda yakin bisa eksis tanpa hutan?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Setyaningsih adalah seorang esais. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Hutan dan Kota".