Seorang muda, seorang wartawan yang tak berbahagia, mati di sebuah persimpangan Jalan Senen Raya, Jakarta, pada sebuah malam yang sudah kosong, 31 Maret 1973. Sebuah sepeda motor menabraknya. Para gelandangan mengangkat tubuhnya ke rumah sakit di dekat situ, tapi tak lama setelah itu ia meninggal.
Ia tak berkeluarga. Orang tuanya jauh di Madura. Ia menyewa sebuah kamar di sebuah gang sempit di Kebonkacang. Di kamar itulah kemudian--sehari setelah ia dimakamkan--ditemukan 17 jilid buku catatan harian di mejanya.
Ahmad Wahib, pada umur 31 tahun, meninggalkan 17 jilid itu sebagai sesuatu yang belum selesai. Tapi apa arti "selesai" sebenarnya? Ketika kemudian catatan itu kita baca, kita tahu Wahib membuka jalan ke sebuah hamparan yang luas, penuh lurah, liang gua, juga belukar keras, di mana Tuhan, Quran, dan iman dipersoalkan.
Namun, bukan hanya itu yang menyebabkannya penting. Hidup Wahib bukan cuma bergerak di atas pagina teks. Catatan hariannya bukan hanya tentang hidupnya sehari-hari, melainkan rekaman pergaulan gagasan. Sejak pertengahan 1967 hingga akhir 1971, ia ikut dalam diskusi dengan sejumlah orang yang kemudian namanya masyhur dalam sejarah intelektual Indonesia. Tempat kelompok diskusi itu adalah rumah Prof. H.A. Mukti Ali (kemudian menjadi Menteri Agama) di Demangan, Yogya. Anggota intinya, selain Mukti Ali sendiri, adalah Wahib, M. Dawam Rahardjo, dan Djohan Effendi. Di antara orang yang memberi pengantar ada Kuntowijoyo dan Syu'bah Asa, dan di antara tamu yang diundang ada Rendra, Deliar Noer, Nono Anwar Makarim, Karkono, James Peacock.
Di tengah kegiatan diskusi itu, Wahib dan Djohan juga aktivis HMI, ketika organisasi mahasiwa itu tumbuh kuat, di Indonesia yang sangat risau. Hari-hari itu tiap organisasi mahasiswa jadi bagian pergulatan politik--sebuah pergulatan yang tak menentu, penuh ancaman, kekerasan, kebingungan, tapi juga pengharapan. Dan HMI harus menentukan sikap. Kalau perlu, keyakinan awal harus dipikirkan kembali.
Dalam kancah itulah Wahib merenung, berdebat, mencatat, mempertanyakan, mencatat. Djohan Effendi, sahabatnya, tahu akan hal itu. Maka segera sehari setelah Wahib meninggal, ia datang ke kamar di Kebonkacang yang kosong itu. Ia ingin menyelamatkan catatan-catatan Wahib. Dan ia bersyukur: ke-17 jilid buku itu tersusun rapi, seakan-akan telah menunggu.
Djohan pun (30 tahun sebelum ia jadi sekretaris negara di bawah Presiden Abdurrahman Wahid) memutuskan: ia harus menerbitkan catatan harian itu. Bagi Djohan (dan ia benar), di sana tersimpan sebuah dokumen sejarah yang akan bisa mengungkapkan pergolakan dan perubahan pemikiran kalangan cendekiawan Islam di Indonesia sejak seperempat abad yang lalu hingga kini, di tengah pertanyaan besar yang mengganggu dan minta dijawab: benarkah Islam sebuah "ideologi" yang utuh, sempurna, bisa menjawab segala soal? Benarkah negara Islam sesuatu yang ideal? Kenapa terasa umat Islam mandek dan yang bukan Islam maju, dan Indonesia, tempat sebagian besar mereka hidup, dirundung kemiskinan, ketakadilan, keterbelakangan?
Delapan tahun kemudian catatan harian itu terbit dalam bentuk buku. Djohan Effendi dan Ismed Natsir, yang menjadi editornya, memberinya judul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, diterbitkan oleh LP3ES, Juli 1981, dengan tebal 351 halaman. Dan orang pun kagum, atau terkejut, atau marah. Konon Dewan Da'wah Islamiyah mengutuknya. Namun, menurut Robert Heffner dalam Civil Islam (yang terjemahan bahasa Indonesia terbit tahun 2001), buku itu tetap laris sampai hari ini. Saya tak tahu benarkah itu. Beberapa waktu lamanya Pergolakan tak saya lihat di toko buku. Kini tak seorang pun merujuknya, meskipun ada orang-orang muda yang meneruskan, dengan lebih sistematik, apa yang dirintisnya: memasuki sebuah wilayah di mana Tuhan, Quran, dan iman dipersoalkan--tanpa kehendak jadi "murtad".
Tak mudah, memang. "Tuhan, aku menghadap padamu bukan hanya di saat-saat aku cinta padamu, tapi juga di saat-saat aku tidak cinta dan tidak mengerti tentang dirimu, di saat-saat aku seolah-olah mau memberontak terhadap kekuasaanmu. Dengan demikian, Rabbi, aku mengharap cintaku padamu akan pulih kembali."
Dalam catatan 19 Mei 1969 itu Wahib bukan saja gundah, tapi juga yakin Tuhan, Yang Maha-akbar, tak akan terhina seperti manusia yang rapuh jiwa. Tapi Ia telah direduksikan, atas nama iman dan Islam. Kita sering lupa bahwa iman dan Islam adalah sesuatu yang berada pada ruang-dan-waktu: sesuatu yang terlibat dalam sejarah, dan sebab itu, dalam istiah Wahib, "kondisional".
Juga Quran. Bagi Wahib, Quran bukan kalam Allah. Dalam catatan 15 September 1971 ia menulis: "Dengan mengidentikkan Quran sebagai kalam Allah, justru kita telah menghina Allah, merendahkan Allah dan kehendak-kehendak-Nya?. [Sebab] Dia adalah 'yang tak terucapkan'. ?Dia dan kalam-Nya adalah Dia yang tersembunyi bagi potensi dan ekspresi akal budi kita?. Dia menemui manusia dalam akal budi dan iman manusia, tapi Dia sendiri jauh lebih agung daripada akal budi dan iman itu sendiri. Dengan iman, kita mencoba menerima Tuhan. Tapi Tuhan sendiri bukan iman. Iman sekadar medium pertemuan. Karena itu konsep iman bisa berubah sesuai dengan dataran pengalaman manusia yang akan mempergunakannya."
Iman yang bisa berubah, Islam yang tak tunggal, Quran yang senantiasa ditafsirkan: Ulil Abshar Abdalla, satu generasi setelah Wahib, dan dengan khazanah keilmuan yang lebih lengkap ketimbang Wahib, menegaskan soal kesejarahan itu dalam cara lain: tak ada Islam yang "tanpa ajektif", wahyu adalah sesuatu yang "progresif". Dengan kata lain, tak ada yang sudah selesai, sebagai esensi di luar ruang-dan-waktu tempat kita harus kembali. Bisakah, dalam keterbatasan kita, ada sebuah kebenaran yang tak usah dicari dan dirindukan lagi?
Para pemikir datang dan pergi. Sejarah bukanlah sederet noda, seperti dalam imajinasi "revivalis". Hidup di dunia bukan sebuah kutuk kemerosotan dari kebenaran abad ke-7. Tiap kali, kita masih merasa perlu berdoa, seperti Wahib: "Tuhan, aku rindu akan kebenaran-Mu" (catatan 11 Maret 1969).
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini