Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Larung, Mengarungi Seksualitas dan Kematian

Novel yang mengukuhkan otoritas kepengarangan Ayu Utami. Bahasa Indonesia menjadi alat ekspresi yang lentur dan kaya nuansa.

25 November 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LARUNG Penulis : Ayu Utami Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, bekerja sama dengan Jurnal Kebudayaan Kalam, 2001 Inilah "Saman II" yang ditunggu-tunggu. Bukan, namanya Larung. Sementara Saman dibuka dengan aroma taman, Larung menyergap dengan bau mentol, bau "batik, lerak, mori, dan malam", bau "tai dan segala leleran badan". Sementara Saman diawali dengan Laila yang rindu kekasih dan disudahi oleh erotisme Yasmin-Saman, Larung berangkat untuk membunuh neneknya dan berpulang pada gelepar badan dalam "kedap letupan". Larung berkisah tentang anak-anak generasi bersimbah darah tahun 1966 yang jadi tumbal tragedi 27 Juli 1996. Novel "lanjutan" ini mengambil atmosfer nglangut, realisme magis, yang berpusat pada Saman di novel pertama, menjadi bingkai awal, dengan Larung sebagai fokusnya. Topik yang cukup berat ini diolah, seperti dalam Saman, menjadi rangkaian teks yang polisemi, teks yang heterogen dalam bentuk ataupun gayanya. Sementara narasi Larung masuk ke dunia perdukunan dan pemikiran filosofis, bagian tengah novel ini ditulis dengan gaya anak muda gedongan yang melanglang buana. Di sini kita bertemu kembali dengan empat sekawan Cok-Laila-Sakuntala-Yasmin. Tiap bagian sesuai dengan karakter tiap tokohnya. Ada potongan catatan harian Cok, pengamat analitis, ada dialog batin Laila yang sentimental, flashback sosialisasi gender di masa kecil Sakuntala yang pemberontak, dan surat Yasmin kepada Saman yang penuh jargon teoretis. Bagian tentang Saman diselingi oleh siaran pers AJI yang merekonstruksi peristiwa 27 Juli dari jam ke jam. Lalu, dari sini masuklah kita ke suasana dramatis genre cerita petualangan atau spionase, yang suspensnya dibangun detik demi detik sampai mencapai klimaks di ujung novel. Benang merah mozaik ini adalah Larung yang misterius. Di awal cerita, dia muncul dalam urusan pribadi untuk mengakhiri hidup Simbah, yang tak kunjung mati karena berbagai jampi di tubuhnya. Tokoh dan sekaligus narator pembuka cerita ini memperlihatkan obsesi pada detail. Berpapasan dengan seorang perempuan di kereta, ia menyorot relung telinga, ulir dan cuping perempuan itu berikut baunya. Ketika naik becak, ia mengagumi betis pengayuhnya yang mengkal, "berbuah-buah dengan keras dan indah, seperti patung beton cor yang diciptakan seniman realisme sosialis". Ada erotisme pada detail, obsesi metonimik yang sensual, sekaligus sadistis. Humor yang ada di bagian ini, kalau ada, dingin dan sarkastik. Misalnya ketika Larung menaruh buku Di Bawah Bendera Revolusi sebagai pengganti balok penyangga leher Simbah pada saat ia menyayati kulit kepala nenek untuk mencari susuk-susuk tersembunyi. Atau pelesetan lagu "kupu-kupu yang lucu" menjadi "cupu-cupu yang lucu". Cupu-cupu itu tentu saja sangat tidak lucu karena mereka adalah alat dari dukun untuk mencabut nyawa sang nenek. Di tengah cerita, Larung menghilang. Ia sekadar menjadi topik gosip gadis empat sekawan, salah satunya ikut bersekongkol merencanakan pelariannya. Baru di akhir cerita ia muncul kembali, bukan sosok utama, melainkan berfungsi sebagai salah satu peranti membangun suspens. Pemimpin operasi pe-larian ke luar negeri ini, dari sudut pandang aktivis yang diselundupkannya, tampil sebagai sosok yang mencurigakan. Pengetahuannya yang rinci, sikapnya yang sinis dan apatis terhadap perjuangan kawan-kawannya, membangkitkan syak wasangka. Siapakah dia? Apakah dia intel? Jangan mengharapkan penggarapkan unsur-unsur novel sampai matang dan tuntas. Larung adalah teks yang bersifat terbuka, "setengah jadi", memberi kesempatan pembacanya untuk menuliskan penyelesaiannya sendiri. Melalui kerangka seperti ini, Ayu dengan lincah bermain dengan tema-tema sosialnya, menganalisis patriarki dan seksualitas, menyibak kolusi kekuasaan, merekonstruksi sejarah dengan perspektif yang berbeda. Narasi Larung yang surealis menguak ribuan korban pembantaian sesama saudara di tahun 1966, ketika "orang menunjuk orang lain untuk menyelamatkan diri". Di balik stereotip "Gerwani", "PKI", "penimbun beras", adalah orang-orang kecil yang tak tahu apa-apa, termasuk ayah Larung, yang menjual sisa beras jatah bersama sobatnya orang Cina. Dalam konfigurasi sosial masa lalu ataupun masa sekarang pada novel ini, kawan dan lawan terkait dalam hubungan keluarga ataupun pertemanan yang tak bisa diingkari. Yasmin, pengacara pembela aktivis yang radikal, bersahabat dengan Cok, yang berbisnis dan berselingkuh dengan "kucing bersepatu lars". Saman, yang diburu-buru tentara karena aktivismenya, dan adik angkatnya, Anson, seorang preman dan pembajak, ditempatkan dalam posisi saling menolong, walaupun tidak ada yang bisa saling mengoreksi. Jangan khawatir. Tidak semua halaman terasa berat. Seksualitas dan erotisme yang menyedot pembaca di novel pertama masih kuat bergelegak melalui porsi empat sekawan: Cok-Sakuntala-Yasmin-Laila. Kemunculan keempat perempuan ini memang agak antiklimaks dibanding debut mereka di Saman. Apa boleh buat, itu konsekuensi karya lanjutan, seperti halnya film-film sukses yang diulang dalam versi kedua dan ketiga. Tidak ada perkembangan karakter, walaupun ada pengembangan alur. Laila yang perawan tetap perawan, dan tak kunjung berhenti menunggu Sihar, yang sudah beristri. Tetapi Sakuntala yang "androgini" itu terketuk untuk memberikan pengalaman seksual kepada Laila agar sahabatnya ini dapat "mengenali tubuhnya sendiri", mengingatkan kita pada novel Alice Walker, The Color Purple. Kecuali dalam Tarian Bumi karya Oka Rusmini dan Lines, hubungan seksual sesama perempuan adalah topik langka dalam kesusastraan Indonesia. Tetapi, seperti Saman, suara Larung tentang feminisme tidak tunggal. Dengan penggambaran seksualitasnya yang berani, kedua novel ini tetap menempatkan keempat perempuan sebagai penggembira. Walaupun Yasmin berperan sebagai otak pelarian, bagian action tampaknya memang ranah para lelaki. Saman secara progresif bersedia berbagi peran domestik dengan Laila, tetapi dengan halus menyingkirkan perempuan (yang barangkali ingin dilindunginya) dalam perundingan strategis antar-aktivis. Demikian pula tidak ada yang radikal dalam hubungan antara Sakuntala dan Laila, kecuali Sakuntala yang memang biseksual. Sebab, bagi Laila, Sakuntala yang "maskulin" hanya menggantikan figur Sihar yang tak kunjung bisa didapatkannya. Berbeda dengan erotisme heteroseksual yang digambarkan secara visual, hubungan seksual antarperempuan berhenti pada nuansa-nuansa sugestif. Tetapi, pada sisi yang lain, bagian Sakuntala-Laila ini ditutup dengan sebuah imaji yang paling visual dan erotis dalam novel ini: Sebab vagina adalah sejenis bunga karnivora sebagaimana kantong semar. Namun ia tak mengundang serangga, melainkan binatang yang lebih besar, bodoh, dan tak bertulang belakang, dengan manipulasi aroma lendir sebagaimana yang dilakukan bakung bangkai. Sesungguhnya, bunga karnivora bukan memakan daging melainkan menghisap cairan dari makhluk terjebak dalam rongga di balik kelopak-kelopak-nya yang hangat. Otot-ototnya yang kuat, rerelung dindingnya yang kedap, dan permukaan liangnya yang basah akan memeras binatang yang masuk, dalam gerakan ber-ulang-ulang, hingga bunga ini memperoleh cairan yang ia hauskan. (153) Kutipan ini secara simbolis menyiratkan hubungan seks dengan kematian. Di sepanjang novel ini kenikmatan bergandengan dengan kesadisan, keindahan dengan yang menjijikkan. Contoh di atas menunjukkan keterampilan Ayu Utami memainkan simile dan metafor serta menghidupkan pengindraan, seperti novelis perempuan Inggris keturunan India, Arundathi Roy. Imajinya sering mengejutkan, membuat kita memikirkan ulang yang sehari-hari kita terima apa adanya. Telur asin bisa dibaliknya menjadi simbol kekejaman dan pembunuhan. Di tangan Ayu Utami, bahasa Indonesia menjadi alat ekspresi yang lentur dan kaya nuansa, untuk ekspresi emosi ataupun logika yang abstrak. Kata-kata baru, yang harus diintip dari kamus lengkap, muncul di sana-sini tanpa mengusik. Yang mengusik adalah jargon teori yang bertebaran di sana-sini. Jangan heran dengan istilah medis dalam narasi Larung, karena ia pernah kuliah di fakultas kedokteran. Bagaimana dengan dukun ketujuh-setengah yang berdiskusi dengan kerangka teori linguistik Saussure? Jangan keliru. Ucapan yang tidak diberi tanda kutip dinarasikan oleh Larung. Jadi, barangkali istilah "sintagmatik-paradigmatik" berasal dari Larung, yang bidang kerjanya penerbitan dan publikasi. Bagaimana dengan sang nenek, yang membahas kategori kata-kata? Semua itu bisa saja keluar dari kepala naratornya. Di bagian-bagian lain, tokoh-tokoh yang termasuk kelas sekolahan itu masing-masing punya bibliografi sendiri. Yasmin dengan Freud, Deleuze, dan Bataille, Koba dengan D.N. Aidit dan Roeslan Abdul Gani. Tetapi kecenderungan "metabahasa" membikin pembaca sedikit gemas. Belum sempat kita mengontraskan gaya metonimik Larung dengan gaya metaforik Saman, istilah "sintagmatik-paradigmatik" keburu muncul. Belum tuntas kita menghayati kelincahan Sakuntala menjadi pria-wanita, kata "androgini" menyimpulkannya. Baru kita mulai menafsirkan erotisme-sadistis Yasmin, "eros dan thanatos" menggarisbawahi. Untunglah, di bagian awal yang sudah kelewat berat, istilah "arbitrer", "penanda", dan "petanda" tidak keluar, walaupun konsepnya didiskusikan secara naratif. Sementara Saman dilanda gunjingan yang mempertanyakan benarkah novel ini lahir dari tangan Ayu Utami, Larung mengukuhkan otoritas kepengarangan Ayu. Sementara Saman membuat orang melempar pertanyaan patriarkis "bisakah?", saya khawatir akan kecerdasan yang ditunjukkan Larung. Walau menawarkan refleksi konseptual yang menggelitik, kekuatan Larung bukan pada esai teoretis seperti Calon Arang karya Toety Heraty. Pengarang perempuan tidak harus membuktikan wawasan intelektualnya, walaupun mereka telah dengan sangat baik menunjukkannya. Melani Budianta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus