Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana proses kreatif Anda dalam mencipta Larung? Pendekatan utama saya dalam menulis novel adalah dengan pendekatan terhadap karakter-karakternya. Saya mencoba menjadi karakternya dan berbicara melalui karakter-karakter itu. Larung adalah tokoh yang sangat kompleks. Bahkan dia mau membunuh neneknya sendiri. Dia bukan jenis laki-laki yang kita temui sehari-hari. Novel Larung lebih kuat di bab-bab pertama, belakangan staminanya melorot, kenapa? Itu bukanlah persoalan stamina. Dua bab pertama amat berat dan detail lantaran Larung adalah tokoh yang muram. Tapi pada bagian karakter Cok saya tidak bisa puitis lagi karena Cok adalah tokoh luar biasa encer. Malah bagian terakhir saya bikin sama sekali lain, seperti cerita biasa. Ada masukan dari penyair seperti Goenawan Mohamad dalam penulisan Larung? Di bagian terakhir Mas Goen memberikan kritik. Itu soal teknis, yang memang saya rasakan juga. Pada bab delapan saya harus memperkenalkan tiga tokoh baru. Saya memperkenalkan tokoh ini bla-bla-bla. Nah, kritik Mas Goen adalah tokoh yang saya perkenalkan itu sangat verbal. Akhirnya saya ganti. Mas Goen juga bilang bahwa bagian depannya kok berat sekali dan kok bagian-bagian akhirnya terlalu cepat. Toh tidak saya ubah. Bila sejak awal saya yakini benar, akan tetap saya pertahankan. Tapi memang bila seharusnya diubah, ya saya ubah. Dari segi struktur novel, menurut Anda, Anda terpengaruh oleh siapa? Saya sebetulnya jarang membaca novel. Pengaruh utama saya adalah Alkitab. Alkitab sebenarnya terdiri dari kumpulan buku, yang masing-masing memiliki gaya yang berbeda. Saya bisa membedakan surat Paulus, Petrus, atau Yohanes. Jadi, keragaman gaya itu yang mempengaruhi saya. Bagaimana dengan pengaruh novel Jeanette Winterson? Saya menyukai karyanya. Saya suka dengan lirik dan imajinya. Bab Shakuntala memang dipengaruhi novel Jeanette Winterson, Written on the Body. Banyak pilihan kata dalam Larung yang dianggap terlalu berani. Kata seperti vagina dan labia itu kan sebetulnya istilah yang sangat klinis. Tapi kesannya terlalu profan. Begini, kalau bercerita tentang misalnya hantu, saya bisa bahkan melibatkan diri. Tapi jika saya bercerita tentang seks, saya malah sangat rasional dan tak terlibat di dalamnya. Penulis laki-laki memang sering membicarakan seks sebagai peristiwa, seperti Motinggo Busye, yang menulis, "Tante itu meremas-remas kelamin laki-laki." Saya pernah membikin cerita stensilan seperti itu khusus kepada pacar-pacar saya. Hal seperti itu tidak saya lakukan dalam novel Saman dan Larung. Dalam Saman dan Larung, saya tidak membicarakan seks sebagai peristiwa. Pembaca tidak mengintip orang saat berhubungan seks, tetapi mendengar orang yang berbincang tentang hubungan seks. Mengapa ada gagasan Larung ingin membunuh neneknya? Itu soal kegelisahan sebagai seorang feminis atas prasangka terhadap perempuan dalam cerita rakyat di banyak tempat. Yang paling mengerikan adalah cerita perburuan terhadap nenek sihir di Eropa pada abad ke-17. Itu merupakan prasangka ekstrem yang dibuat oleh Gereja Katolik yang mengagungkan selibat. Dulu para biarawan tidur dalam keadaan telungkup. Mereka percaya, bila tidur telentang akan diperkosa oleh peri perempuan yang bernama Lilith, hingga biarawan itu mimpi basah. Nah, kecurigaan terhadap perempuan itu bukan khas Barat. Kita pun memiliki hal yang sama dalam kisah Calon Arang. Yang lebih parah, ia membawa semua kemarahan karena anaknya tidak laku. Itu membuat saya gelisah. Apa novel Anda selanjutnya? Monolog Dua Agnes. Tapi barangkali baru akan jadi sekitar lima tahun lagi. Berapa jumlah novel Saman yang laku? Saya tak tahu persis. Katanya sih sekitar 55 ribu eksemplar. Saya nggak terlalu memperhatikan. Saya juga tak punya target dengan Larung. Soalnya amat mustahil menulis sebuah novel sambil berpikir tentang pemasarannya. Yang jelas, dari penerbit saya mendapat royalti 12,5 persen dari harga penjualan. Barangkali saya dapat sekitar Rp 110 juta. Tapi itu untuk kerja selama tiga tahun. Uang itu untuk apa? Sebagian didepositokan, sebagian untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan ada juga yang untuk riset. Tapi untuk Larung, saya tak tahu pasti jumlah uang yang dihabiskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo