Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYAIR Amir Hamzah meninggalkan kampung halamannya dengan kapal Plancus menuju Batavia—dan menulis satu sajak yang tak bagus:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tinggallah tuan, tinggallah bunda
Tanah airku Sumatera raya
Anakda berangkat ke pulau Jawa
Memungut bunga suntingan kepala
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sajak ini mungkin ditulis pada 1927. Kita bisa merasakan keteraturan yang lazim pada syair Melayu lama: satu bait terdiri atas empat larik; ritme bergerak di semua larik yang tiap kali terdiri atas pasangan lima-enam suku kata: Ting-gal-lah tu-an, ta-nah-air-ku, Su-ma-tra ra-ya…. Tiap baris berakhir dengan rima “a”.
Rapi. Tak ada kejutan. Tak ada yang membuat kita tersentak oleh yang tak terduga, sesuatu yang baru. Frasa “bunga suntingan kepala”, (kiasan untuk ilmu pengetahuan), mungkin belum pernah dipakai sebelumnya, tapi kata “bunga” dan “suntingan” sudah terlalu biasa dalam puisi lama. Dengan kata lain: ini sajak yang tak segar.
Tapi beberapa tahun kemudian, sajak-sajak yang lebih segar, lebih intens, lebih bergejolak, menerabas apa yang tertib dan lazim. Tak ada lagi repetisi jumlah suku kata, tak ada bunyi yang jinak dan pasti: tiap suku menggaungkan ekspresi tersendiri:
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dulu
Dalam sajak ini, juga sajak Amir yang lain, kita temukan sesuatu yang tak lazim dalam syair maupun pantun: tenaga kata terbangun oleh aliterasi-aliterasi konsonan. Bukan oleh deretan “a”, “u”, “i”, “o”, “e”, melainkan “r”, “g”, “k”. Dan semua itu bukan cuma penghias. Mereka bagian penting deskripsi suasana, ketika sajak ini melukiskan badai, kebakaran, situasi panik:
Teriak riuh redam terbelam
dalam gagap gempita guruh
kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
Ya, sesuatu telah berubah dalam puisi Amir Hamzah. Tak ada lagi konformitas yang dikehendaki tradisi puisi Melayu, tak ada lagi harmoni dalam bagian demi bagian. Sajak seperti ini—juga sejumlah sajak lain yang sampai hari ini mengagumkan—lahir ketika “tanah air” bukan lagi “Sumatera Raya”. Amir mempersembahkan kumpulan puisinya yang pertama buat dunia yang lebih luas, “Ibunda Indonesia Raya”.
Itu tahun 1930-an—tahun setelah “Sumpah Pemuda”, ketika sejarah menerobos dan mengoyak pelbagai wacana yang ada, ketika terbangun ekspresi yang berbeda.
Di masa sekitar tahun “Sumpah Pemuda”, sajak Amir Hamzah memang tetap membawakan ritme puisi Melayu, dengan jumlah silabel yang reguler dari baris ke baris, tak jarang mirip pantun. Hampir tak ada rima dengan bunyi yang ganjil seperti dalam puisi Indonesia pasca-1945, seperti dalam sajak-sajak Chairil Anwar. Metaforanya datang dari ekologi hidup pedalaman, dari flora dan fauna di alam yang belum diubah modernitas: puisinya menyebut “cempaka”, “pandan”, “melati...”, atau “murai” dan “pungguk”, atau suara “seruling” dan “bangsi”.
Tapi, pada saat yang sama, puisi Amir memproyeksikan diri sebagai catatan “musafir”, seorang yang berjalan di luar zona asalnya. Ada elemen lain yang masuk. Dalam hal ini dari khazanah sastra Jawa. Manusia dan kefanaannya diibaratkan sebagai “wayang” atau “boneka”, “golek” yang mengikuti kehendak “dalang”. Dan bila peran mereka selesai, mereka “ditukar” dan berdiam dalam kotak.
Pengaruh yang sama juga tampak dalam kata “suwara suwarni”, misalnya. Atau “swarga” (bukan “sorga”), “alit”, “japamantera”, “gendewa”. Amir bahkan menyebut “maskumambang”, bentuk puisi Jawa yang melankolis, buat melukiskan suasana sayu.
Zaman Amir Hamzah adalah zaman buncahnya asal-usul. Sang penyair tetap menyebut diri “anak Langkat” dan “bujang Melayu”, tapi “Sumatra” bukan lagi “tanah air”. Sebagaimana bagi para pemuda yang mengumumkan tekadnya pada 28 Oktober 1928, tanah air itu “Indonesia”—yang sebenarnya belum kukuh dalam sejarah.
Bahkan iman yang dominan, yakni Islam, juga dasar yang guyah. Dalam sebuah prosa lirisnya, Amir menyatakan, “kau, hatiku, punya kitab sendiri”. Ketika ia menyeru Tuhan dengan kata-kata “engkau cemburu”, kita lihat jejak Kitab Perjanjian Lama di situ. Amir menampilkan Islam bukan sebagai satu-satunya, melainkan hanya salah satu dari “dua cahaya” “intan” dalam tradisi Ibrahim; yang satu lagi iman Kristiani. Dan ketika kini keduanya “bertikai pangkai”, ia tak hendak memihak. Baginya, “semua itu tiada berguna”. Ia memilih merapat ke Tuhan, sang “kekasih”, seperti “Musa di pucuk Tursina”.
Mungkin sebab itu dalam sajak-sajak Amir Hamzah saya tak pernah menemukan nama Muhammad, rasul dalam syahadatnya. Bukan karena ia murtad, tapi karena puisi dan zamannya tak lagi hidup dengan akar (iman, tradisi, asal-usul) yang lurus, tunggal, menghunjam. Puisi “Buah Rindu” adalah ekspresi “rhizomik”, untuk memakai kata Deleuze dan Guatarri: ia menunjukkan “tebaran daya tarik dan pengaruh yang luas, tanpa asal-usul yang spesifik, sebab rhizoma tak punya awal dan akhir...”.
Tapi dengan itulah sastra—dan proses kreatif umumnya—kaya, menjangkau aneka arah, terus-menerus. Ketika Amir Hamzah meninggalkan kampung kelahirannya dengan kapal Plancus, ia sebenarnya berangkat seperti para pemuda di tahun 1928: tak lagi terbelenggu sejarah. Dari sanalah kemerdekaan bermula.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo