Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Marang

Dalam gerak itu, sang Buddha bebas dari apa yang disebut Nietzsche sebagai Geist der Schwere, “roh” atau “semangat” yang memberat, yang monumental, permanen, berbobot, penuh pesan kebenaran, angker, tegar. Buddha Ugo, sebagaimana Zarathustra Nietzsche, adalah antithesis terhadap itu semua: senyuman terbaik adalah yang menyambut waktu, menyambut gerak men-jadi yang tak selalu disadari.

10 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Marang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGINILAH kita memandang hal ihwal dunia: “Seperti mimpi, gelembung udara, ilusi, bayang-bayang, seperti bintang jatuh, tetes embun dan kilat petir.” — Sutra Vajra Prajna Paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak pukul 14, selama 10 jam, kita bersama papan tulis, kapur, dan annica: Perupa Ugo Untoro menggambar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, sebuah undangan digital beredar, menjelaskan:

Melalui proyek menggambar secara langsung di atas sepuluh papan tulis selama sepuluh jam, Ugo Untoro memberikan penghormatannya pada apa yang disebutnya sebagai kesementaraan.

Di layar komputer, kita bisa lihat ia menggoreskan kapur di bidang yang hitam itu. Gambar-gambar muncul: siluet, bayang-bayang sosok dalam kabut dan garis dalam gelap. Kemudian—seperti yang selalu terjadi di papan tulis sejak kita duduk di kelas di sekolah dasar—semua itu terhapus, kalaupun tak dihapus.

Kapur itu sendiri, dengan debu yang beterbangan, dan makin lama makin susut ketika digoreskan, bukan benda permanen. Juga papan-papan tulis itu; mereka hanya hadir selama Ugo mengguratkan sesuatu. Sebelum dan setelah itu, mereka di luar perspektif kita.

Kesementaraan—atau yang oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai annica, sebuah konsep Buddhisme—menyentuh kita hampir separuh hari tanggal 26 September itu. “Tak ada di dunia ini yang dapat dipertahankan untuk memenuhi rasa puas”, konon dari kalimat itu kata annica berasal. Tampak, dalam zaman yang sesak ini, Ugo tak terbawa untuk memberi makna penting kepada yang jadi, yang utuh, yang kekal. Ia justru memberi penghormatan, dengan nada sayu, kepada yang rentan dalam wujud—yang sejenak, yang melintas. Ugo, seperti pernah dikatakannya, lebih menyukai apa yang disebutnya “tema-tema yang dekat, kecil dan sederhana, yang tak heroik”. Ia tergerak untuk menghadirkan hal-hal yang tak luar biasa, “Tanpa pesan, tanpa makna atau isi yang besar atau dalam.”

Bukan buat pertama kalinya. Desember 2019, pameran tunggalnya di Galeri Nasional—dengan sekitar 70 karya—Ugo menghadirkan Buddha. Waktu itu saya menuliskan kesan saya: ia melukis seperti perupa Zen, yang dengan hening mengakrabkan diri dengan gerak waktu, dan dalam hening menerima yang tak membekas, “ephemeral”.

Ia mempertemukan kita dengan Buddha.

Tapi Buddha yang dihadirkan Ugo bukanlah Buddha sebagai satu identitas. Tak ada sosok yang dengan cepat kita tangkap. Hanya ujung kaki. Buddha-nya tak menampakkan koherensi wujud dan makna. Ia “tidur,” ia Sleeping Buddha. Ia Buddha dalam keadaan, untuk memakai frasa dalam puisi Wedhatama, “liyep layaping aluyup”. Ia kehadiran yang lamat-lamat tapi dumadi (meng-ada), seperti sesuatu yang lewat tak kentara: sepasang telapak kaki berupa lubang pada kanvas; seraut telapak yang, dalam warna hijau pupus, berubah ke dalam 10 jari; sebentuk telapak yang membaur pada dasar merah.…

Di kanvas-kanvas itu, Buddha Tidur membedakan diri secara radikal dari Buddha agung seperti yang dibangun di Kuil Wat Pho di Bangkok yang terbujur miring, dalam sihasaiyas, berwibawa, sepanjang 14 meter, raksasa dari emas yang berkilau-kilau. Ugo mempertemukan kita dengan Buddha yang bergerak di bawah, dalam debu, perlahan-lahan, mudah dilupakan.

Dalam gerak itu, sang Buddha bebas dari apa yang disebut Nietzsche sebagai Geist der Schwere, “roh” atau “semangat” yang memberat, yang monumental, permanen, berbobot, penuh pesan kebenaran, angker, tegar. Buddha Ugo, sebagaimana Zarathustra Nietzsche, adalah antithesis terhadap itu semua: senyuman terbaik adalah yang menyambut waktu, menyambut gerak men-jadi yang tak selalu disadari. Biarlah ia, “Jadi puji dan pembenaran untuk semua yang tak tetap,” ujar Zarathustra.

Pameran virtual Ugo Untoro pekan lalu itu diberi judul “Marang”. Ini sepatah kata Jawa yang lazim dipakai dalam narasi wayang kulit, lebih anggun ketimbang menyang. Artinya: “menuju”. Tak disebut dari mana asalnya dan ke mana tujuannya; yang hendak dimaknai adalah peristiwa “menuju” itu sendiri.

Ugo melihat hal ihwal sebagai proses. Di papan tulis itu, karyanya adalah kesaksian tentang waktu, bukan tentang ruang. Selama 10 jam itu, datang dan hilang bentuk-bentuk seperti tiang lampu, tubuh yang menatap tapak-tapak putih, siluet piano, orang-orang berdiri, orang-orang duduk....

Pada tiap pemunculan, kita lihat bahwa apa yang disebut “realitas” sebenarnya adalah “ke-jadi-an”.

Karya-karya di papan tulis itu seakan-akan menegaskan sebuah “filsafat proses”. Bagi filsafat ini, dunia terbangun dari “me-wujud” dan bukan “wujud” dan proses lebih mendasar ketimbang substansi.

Lebih dari itu, tiap “ke-jadi-an” membawa sesuatu yang baru. Tak ada yang hanya pengulangan dari yang lain. Kita seakan-akan diingatkan bahwa sejarah benda dan manusia adalah sejarah “produksi ke-baru-an”, the production of novelty, untuk memakai kata Alfred North Whitehead. Hidup selamanya kreatif, dan sebab itu tak permanen. Yang permanen kematian. Hidup adalah “marang”.

Maka papan tulis Ugo tak membentuk cerita (sesuatu yang dibatasi alur dan akhir). Setidaknya, buat saya, papan-papan tulis itu; kapur itu; tangan yang selama 10 jam menggores, melabur, dan menghapus itu, telah sejenak menangkal kegaduhan hari ini: hasrat menghimpun, memiliki, dan mengawetkan dalam tempo yang selama-lamanya.

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus