Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Jangan Melulu Jadi Pembantu

Terseok-seok mencari keadilan, pembantu rumah tangga asal Indonesia menang di pengadilan banding Singapura. Saatnya menghentikan pengiriman tenaga kerja migran non-terampil.

10 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jangan Melulu Jadi Pembantu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMENANGAN pekerja migran Parti Liyani di pengadilan banding Singapura menjadi kabar gembira sekaligus peringatan bagi pemerintah untuk meninjau ulang pengiriman pembantu rumah tangga ke luar negeri. Sudah saatnya pemerintah menyetop pengiriman pembantu rumah tangga dan tenaga kerja tidak terampil karena mereka tak memiliki jaminan keselamatan dan kesejahteraan di negara tujuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Parti Liyani baru saja lolos dari lubang jarum. Sebelumnya, dia dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negara Singapura atas tuduhan pencurian barang senilai Sin$ 50 ribu (sekitar Rp 542 juta) milik mantan majikannya, Liew Mun Leong, pada 2016. Belakangan, tuduhan itu tidak terbukti. Minim bantuan dari pemerintah sendiri, Parti dibela lembaga advokasi Humanitarian Organization for Migration Economics (HOME) dan pengacara Anil Balchandani. Di tingkat banding, ia dibebaskan dari tuduhan. Posisi belakangan berbalik: kini Parti mengajukan gugatan disipliner kepada jaksa Tan Wee Hao dan Tan Yanying yang menuntut dia di Pengadilan Negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus Parti semestinya tidak terjadi jika pemerintah tak longgar dalam mengirim pekerja migran minim keahlian. Di banyak negara tujuan, posisi para pembantu rumah tangga umumnya rawan akibat daya tawar mereka yang rendah di hadapan agen atau calon majikan. Mereka umumnya tak berdaya saat diperlakukan sewenang-wenang.

Kebanyakan pekerja migran asal Indonesia adalah pembantu rumah tangga. Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia menyebutkan 74,7 persen atau 2.399 pekerja migran yang diberangkatkan ke luar negeri sepanjang Januari-Mei 2020 adalah pembantu rumah tangga. Pada periode yang sama tahun 2018 dan 2019, jumlahnya hanya sekitar 30 persen.

Hasil survei Human Rights Working Group, Serikat Buruh Migran Indonesia, dan Jaringan Buruh Migran pada April 2020 menyebutkan 95 persen pembantu rumah tangga asal Indonesia di Singapura dan Hong Kong didera banyak persoalan. Dari beban kerja berganda, perampasan hak libur, depresi, sampai tidak mendapatkan upah lembur.

Kondisi ini berbeda dengan negara pengirim pekerja migran lain. Filipina, sebagai contoh, mengirim pekerja migran ke berbagai negara sebagai tenaga terampil. Data Otoritas Statistik Filipina menyebutkan sebagian besar dari 2,2 juta pekerja migran atau overseas Filipino worker pada 2019 merupakan pekerja layanan umum, seperti petugas hotel dan restoran. Selebihnya menjadi tenaga pemasaran, operator pabrik, dan teknisi. Dengan beragam kemampuan teknis, termasuk penguasaan bahasa Inggris yang baik, rata-rata upah mereka lebih tinggi ketimbang pembantu rumah tangga.

Pemerintah seyogianya hanya mengizinkan pekerja terampil untuk bekerja di luar negeri. Perusahaan penyalur tenaga kerja harus diawasi terutama agar mereka memberikan pelatihan teknis dan perlindungan bagi pekerja yang akan dikirim. Sesumbar Presiden Joko Widodo lima tahun lalu untuk menghentikan pengiriman pembantu rumah tangga hendaknya tidak berhenti di bibir.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus