Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNGKAPAN “di balik pria sukses ada wanita hebat di belakangnya” hari-hari ini tampaknya harus dikoreksi. Mengetahui sepak terjang ibu negara Iriana Joko Widodo dalam mendorong anaknya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden, kalimat itu layak diubah menjadi “di balik dinasti keluarga, ada ibu sebagai sutradaranya”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ambisi Iriana Jokowi itu merupakan panci yang bertemu dengan tutupnya: Jokowi yang tak ingin kehilangan takhta, calon presiden yang sekadar ingin berkuasa, partai yang membebek “raja”, dan para pendukung yang gelap mata. Liputan majalah ini menemukan Iriana berkali-kali mengutarakan keinginannya mendorong Gibran menjadi calon wakil presiden sejak awal 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa bulan sebelumnya, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mendekati Gibran agar bersedia mendampinginya pada pemilihan presiden 2024. Selain datang ke Solo, Prabowo mengundang Wali Kota Surakarta itu ke rumahnya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pada Juni 2022.
Ambisi Iriana itu terbentur aturan syarat umur menjadi calon presiden dan wakil presiden minimal 40 tahun. Tahun ini Gibran berusia 36. Keinginan Iriana belakangan sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, yang mengubah pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilihan Umum dengan menambahkan kalimat “pernah terpilih dalam pemilihan kepala daerah”. Putusan yang memuluskan jalan politik Gibran itu diambil Mahkamah Konstitusi yang diketuai Anwar Usman, paman Gibran.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menilai putusan itu diambil majelis yang melanggar etik dan memiliki konflik kepentingan. Anwar kemudian dipecat sebagai Ketua MK. Sehari sebelum putusan dibacakan, informasi yang didapat majalah ini menyebutkan Iriana sudah mengetahui putusan itu. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto terang-terangan menuding Istana Negara mengintervensi majelis hakim.
Selain menggalang keluarga besar, Iriana aktif meminta dukungan sejumlah organisasi kemasyarakatan dan ikut cawe-cawe mengatur relawan Prabowo-Gibran. Kepada keluarga besarnya, Iriana membantah pendapat yang menyebutkan pencalonan Gibran tergesa-gesa.
Keterlibatan istri presiden dalam kebijakan-kebijakan pejabat publik sebetulnya bukan cerita baru. Ibu Tien, istri Presiden Soeharto, misalnya, banyak mempengaruhi kebijakan suaminya dalam proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Ibu Tien diketahui juga ikut menentukan pemilihan pejabat negara.
Suami yang tak membatasi peran istri, apalagi membiarkan dan mendorongnya untuk cawe-cawe, sebetulnya tengah membuka pintu dipraktikkannya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Gunjingan di era Orde Baru: Ibu Tien merupakan Madam Ten Percent—istilah yang merujuk pada upeti 10 persen agar sebuah proyek disetujui pemerintah.
Dalam ihwal Iriana Widodo, ambisi bersengkarut dengan rasa sakit hati. Hubungan suaminya yang naik-turun dengan Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan menyesakkan dada Iriana. Puncaknya dalam Rapat Koordinasi Nasional PDIP pada Mei lalu. Di depan ratusan kader partai, Megawati menyebutkan, tanpa PDIP, Jokowi tidak jadi apa-apa. Vlog yang disebarkan Puan Maharani, putri Megawati, menambah suasana tak enak. Ketika itu Jokowi bertemu dengan Mega di kantor PDIP dalam posisi berhadap-hadapan, seperti bawahan bertemu dengan atasannya.
Yang buruk telah terjadi: urusan domestik kini mengancam masa depan demokrasi. Pemilihan umum yang merupakan mekanisme demokratis untuk menyeleksi pemimpin kini dibelokkan menjadi alat untuk meneruskan trah Jokowi.
Didukung mobilisasi Tentara Nasional Indonesia-Kepolisian RI dan birokrasi, pasangan Prabowo-Gibran kemungkinan besar terpilih. Sejumlah dosa masa silam Prabowo, termasuk nepotisme keluarga Jokowi, bisa jadi dilupakan pemilih dengan kampanye ala TikTok yang dangkal dan melenakan. “Pasangan gemoy dan bocil”—istilah untuk lelaki gendut yang lucu bagi Prabowo dan pria imut kekanak-kanakan untuk Gibran—kini menjadi senjata pemikat publik.
Setelah Prabowo-Gibran dinyatakan resmi menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden, masa depan Indonesia kini di ada tangan pemilih. Selayaknya mereka tak membiarkan demokrasi Indonesia remuk di dasar jurang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tersebab Ambisi Ibu Negara"