Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP kali memasuki bulan September, beranda akun media sosial saya selalu ramai oleh status yang berbunyi “September ceria” atau “Selamat datang September” yang disertai emotikon senyum bahagia atau sejenisnya. Mereka tampaknya mengamini lagu “September Ceria” yang dipopulerkan Vina Panduwinata pada 1980-an. Menurut penciptanya, James F. Sundah, alasan lahirnya judul lagu “September Ceria” adalah faktor perubahan cuaca yang membawa kebahagiaan (keceriaan). September menjadi tanda bahwa kemarau gersang yang menyakitkan telah tiba di ujung dan berganti dengan jutaan kesejukan dan hujan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengapa September ceria kini menjadi frasa yang bersifat komunal, bukan personal? Bukankah tidak semua orang menyukai perubahan musim? Sebut saja vokalis Green Day, Billie Joe Armstrong, yang justru mengalami trauma dengan bulan September dan mengeluhkannya dalam lagu “Wake Me Up When September Ends”: Here comes the rain again/Falling from the stars/Drenched in my pain again/Becoming who we are. Hujan September malah akan membasahi lukanya lagi. Apakah frasa September ceria sengaja “dikomunalkan” untuk menghilangkan frasa pembandingnya, September hitam?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Frasa September hitam dimunculkan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) untuk mengingatkan banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia, dari yang paling fenomenal seperti peristiwa 30 September 1965 hingga yang belum lama terjadi seperti tragedi Reformasi Dikorupsi pada September 2019. Ada pula kasus pembunuhan Munir Said Thalib pada 7 September 2004, tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984, hingga tragedi Semanggi jilid 2 pada 24-28 September 1999. Semua peristiwa itu menjadikan September bulan yang sama sekali tidak ceria.
Dalam perspektif studi wacana kritis, fenomena seperti ini lazim disebut sebagai penghilangan atau penghapusan wacana. Salah satu contoh fenomena penghilangan dalam praktik berbahasa adalah penghilangan tulisan-tulisan perempuan dalam antropologi sosiokultural, sebagaimana dijelaskan Catherine Lutz dalam “The Erasure of Women’s Writing in Sociocultural Anthropology” di jurnal American Ethnologist pada 1990. Lutz mengungkapkan bahwa tulisan-tulisan perempuan itu dianggap kurang signifikan dan disebut “pinggiran”, dalam arti tidak sepenting tulisan laki-laki. Menurut dia, hal ini terjadi karena pelanggengan pola patriarki di ranah akademik yang justru akan menghilangkan perspektif kritis, yang sebenarnya sangat mungkin memperkaya khazanah antropologi sosiokultural.
Hal itu senada dengan yang disampaikan Norman Fairclough dalam Analysing Discourse: Textual Analysis for Social Research (2003) bahwa partisipan tertentu yang meliputi kelompok tertindas, terpinggirkan, atau bahkan terkucilkan bisa saja tidak dihadirkan (dihilangkan) dalam sebuah teks agar masyarakat umum menganggapnya sebagai hal yang tidak penting atau tidak layak dipertimbangkan. Frasa September hitam bisa jadi memang sengaja dihilangkan dengan cara “mengkomunalkan” frasa September ceria agar tragedi-tragedi kelam di bulan September tidak lagi dipertimbangkan di ruang-ruang publik.
Proses penghilangan itu telah terjadi sehingga wacana September sebagai bulan yang tanpa luka dan derita mendominasi pandangan publik. Di bulan ini kekeringan akan beralih menjadi kesejukan. Lahan-lahan yang kering dan tandus akan mulai diguyur dan menjadi hijau. Orang-orang akan merayakan keceriaan September seraya melupakan rangkaian tragedi yang tak terselesaikan hingga kini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "September Ceria"