Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Cermin yang memantulkan kearifan

Sosok advokat terkemuka, yap thiam hien, almarhum, yang meninggalkan warisan suri teladan yang penuh kejujuran, ketulusan, keberanian dan keterbukaan. yap adalah cermin dan miniatur bagi para advokat.

13 Mei 1989 | 00.00 WIB

Cermin yang memantulkan kearifan
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SETELAH sekitar tiga jam dioperasi akibat pendarahan yang menyerangnya, akhirnya Pak Yap menyerahkan hidupnya kepada Pencipta-nya. Sebagai salah satu wakil LBH, ia pun tidak sempat hadir dalam konperensi antar-lembaga Swadaya Masyarakat Internasional di Belgia yang membicarakan upaya-upaya positif dalam rangka membantu nasib rakyat kecil di Indonesia. Pak Yap gugur dalam menjalankan baktinya bagi keyakinan yang tulus bagi kemanusiaan. Dunia profesi hukum kehilangan suri teladan dari seorang yang bernama "advokat" dalam arti yang murni. Karena Pak Yap adalah satu di antara sedikit sekali orang yang menekuni dan menjalankan pekerjaan advokat sebagai advokat bukan sebagai pedagang hukum atau calo hukum. Tidak berlebihan jika Pak Yap sering disebut sebagai cermin dan miniatur bagi para advokat. Ia selalu mengingatkan siapa pun dari profesi hukum bahwa pekerjaan advokat itu adalah pekerjaan yang mulia, pekerjaan yang serius, dan tanpa putus asa menjaga harkat dan martabat kemanusiaan. Karena itu Pak Yap sering kecewa dan marah melihat keruntuhan moralitas dan etika di dunia profesi advokat. Sebab itu pula Pak Yap tidak terlalu laris sebagai advokat. Bagi banyak pihak, Pak Yap dianggap sebagai kereta api tua yang berjalan terlalu lurus dan terbatuk-batuk, meski tak bisa disangkal bahwa kereta api tua itu memantulkan kearifan. Tetapi kearifan itu rupanya sudah dianggap barang usang, dan karena itu hanya orang-orang yang putus asa yang datang ke kantor Pak Yap. Mereka bukan memburu kemenangan, tetapi mencari kepuasan nurani dengan dibela oleh seorang advokat yang jujur, tulus, berani, dan setia. Biasanya Pak Yap akan membela kepentingan orang tersebut secara amat berani tanpa peduli kepada risiko. Dalam pembelaan itu, semua korupsi, kecurangan dan pelanggaran hukum akan ditelanjangi oleh Pak Yap tanpa tedeng aling-aling, baik itu oleh lawan maupun kawan, aparat penegak hukum maupun perusahaan. Di ruang pengadilan, kompas bagi Pak Yap adalah hukum dan keadilan. Karena itu, sering Pak Yap tidak populer di kalangan aparat penegak hukum, termasuk para advokat. Sering lelaki ini dianggap sebagai orang sinting yang merusak langgam permainan. Barangkali inilah sebabnya, seorang hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ketika menjatuhkan vonis terhadap Pak Yap menyebut lelaki kurus kecil itu sebagai "tua-tua keladi, makin tua makin menjadi". Kata-kata itu terdengar amat sinis, tetapi itu harus juga diartikan sebagai pengakuan buat Pak Yap yang secara gigih tetap memelihara keyakinannya membela tegaknya hukum dan keadilan bagi harkat dan martabat kemanusiaan kita. Lelaki kurus kecil itu telah tiada. Saya teringat pada pertemuan terakhir saya sekitar bulan Maret yang silam di Jakarta, ketika saya berkesempatan pulang. Tidak henti-hentinya Pak Yap meminta saya menyelesaikan studi. Karena studi saya mengenai hak asasi itu rupanya sangat dekat dengan keseluruhan harga hidupnya, dan untuk itu ia memberikan berbagai usul dan bahan. Berkali-kali Pak Yap mengatakan bahwa dia melihat kemerosotan moral dan keberanian di kalangan advokat dalam menjalankan kiprah kerjanya yang seharusnya bukan jadi hamba uang, tetapi nyatanya malah terjerembab menjadi hamba uang. Profesi advokat yang mulia itu sudah tinggal namanya saja. Mendengar itu, saya hanya bisa mengangguk tanda setuju. Buat banyak orang, bukan hanya seorang advokat yang pergi meninggalkan kita. Ia juga seorang guru. Guru bagi banyak orang muda yang bercita-cita menjadi pembela mereka yang terkorbankan oleh ketidakadilan. Guru bagi orang muda yang membaktikan dirinya di LBH dan Fakultas Hukum. Guru bagi mereka yang bekerja bagi pemenuhan hak asasi manusia, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Asia. Karena, bagi kalangan pekerja hak asasi di Asia, Pak Yap adalah obor yang menyalakan berbagai perkumpulan hak asasi. Predikat guru dan advokat tidaklah cukup untuk Pak Yap. Dia adalah a man of integrity. Sukar mencari orang seperti Pak Yap. Dia adalah salah satu dari mahluk langka. Saya teringat pada Kongres Advokat yang diadakan di Panti Trisula di awal tahun 1970-an, di mana masalah tahanan politik di Pulau Buru masih menjadi masalah serius dan peka, dan jadi sasaran kampanye protes di luar negeri. Tidak seorang advokat pun yang buka suara. Lalu, tiba-tiha Pak Yap naik mimbar dan meminta para advokat angkat suara. Semuanya hening dan diam. Merasa malu dan bersalah. Tetapi itulah Pak Yap --yang dengan kejujuran dan ketulusannya -- menggugah hati nurani kita. Sulit menemukan predikat yang cocok buat Pak Yap, karena kata Indonesia tidak sepenuhnya pas untuk menggambarkan pribadi yang lugu dan mengagumkan ini. Barangkali, kalaupun istilah ini bisa dipakai, Pak Yap itu termasuk dalam kategori honoratlores -- bahasa Latin -- berarti "mereka yang amat dihormati". Dalam bahasa Max Weber, honoratiores itu dikaitkan dengan profesi hukum, sehingga dikenallah istilah legal honoratiores, yang dijabarkan sebagai mereka yang hidup matinya dari profesi hukum dan menguasai ilmu hukum dari tulang sampai ke sumsum. Sebab itu mereka mendapat pengakuan dari kalangan profesi hukum karena memberi pengaruh luar biasa bagi profesi dan ilmu hukum. Saya kira, Pak Yap termasuk dalam kategori legal honoraliores ini. Mereka yang termasuk dalam kategori legal honoratiores ini tidak banyak. Karena itu kehilangan Pak Yap adalah suatu kehilangan yang amat besar, bukan saja bagi profesi hukum, tetapi juga bagi keseluruhan perjuangan penegakan keadilan dan hak asasi. Memang ada warisan yang ditinggalkannya, berupa suri teladan yang penuh dengan kejujuran, ketulusan, keberanian, dan keterbukaan. Sekarang terpulang kepada profesi advokat dan aparat penegak hukum lainnya untuk memelihara warisan itu. Saat ini penulis tengah menjalani program doktor di butang hak-hak asasi manusia di Universitas Berkeky, AS.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus