Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Ciri Yang Hilang

Kota-kota fungsinya ditentukan oleh orang-orang hidup dan berkuasa. mereka telah mengubah dan memperbaharui arsitektur kota. ciri dan suatu kota telah hilang, di tengah kekayaan dan kekuasaan.

27 Juni 1981 | 00.00 WIB

Ciri Yang Hilang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KOTA-KOTA berulang tahun. Tapi sejauh manakah sebetulnya kita bersungguh-sungguh dengan sejarah? Kota W., atau kota B., atau kota S. barangkali adalah tipe kota yang waktu kecil kita kenal. Dulu ada alun-alun bersih, dengan dua beringin kurung yang akarnya terjela-jela. Dulu di selatan ada kabupaten, ditandai oleh sebuah bangunan kolonial dengan pendopo yang menghadang angin. Ada halaman luas, berpohon buah. Ada warna hijau tua yang meredam bisingnya jalan dan berisiknya anak-anak. Ada pokok asam, berseberangan, disela-sela oleh kenari. Kini, apa yang tinggal? Rumah bupati dan sekitarnya telah berubah. Sebuah gedung bujur sangkar seluas 600 mÿFD berdiri. Bagian dalam ber-AC. Tembok dilapisi kayu. Ada juga karpet dan dinding ke dinding. Di bagian depan, sepotong bidang panjang ditaburi koralteks berwarna seru. Dan huruf-huruf, kuning mengkilap, dipasang besar-besar . . . Pembaruan, seperti biasa. Tapi terutama dalam sepuluh tahun terakhir ini, kata orang, kaum nouveaux riches telah mengambil alih arsitektur kota. Mereka yang baru saja memperoleh kekayaan, kekuasaan dan kesempatan, telah merombak apa yang bagi mereka tak memikat lagi. Mereka mencari lambang kemajuan meskipun yang didapat kekacauan. Mereka mencari pernyataan status, meskipun yang diperlihatkan adalah senyuman gigi emas. Tapi terhadap orang-orang kaya baru yang menentukan itu: apa yang bisa dilakukan? Kekayaan mereka sering mendadak. Keleluasaan, yang tersedia oleh harta itu, belum lagi jadi bagian kepribadian. Kedudukan baru, kemegahan kemarin, masih mencoba-coba pelbagai gaya, untuk tampil. Belum ada koherensi dalam ekspresi keindahan. Bahkan keindahan itu pun masih merupakan kerepotan yang belakangan datang. Dan bila keindahan yang mereka coba utarakan itu tak ada sangkut pautnya dengan keindahan lama, apa mau dikata? Kota W., atau kota B., atau kota S., mengalami apa yang dialami oleh seluruh Republik. Revolusi. Perubahan-perubahan golongan yang berkuasa. Ledakan penduduk. Kemudian, terutama sejak satu dasawarsa terakhir, uang. Semuanya menghasilkan penjungkirbalikan. Ataukah karena kita tak pernah menghayati sejarah sebagai garis yang sambung bersambung, hingga zaman yang satu tidak berdiri tersendiri dari zaman yang lain? Mungkin. Barangkali itulah sebabnya Majapahit hanya tersisa sedikit. Ia, seperti tersebut dalam sebuah kronogram Jawa, "sirna hilang" sebagai lambang kejayaan -- sirna ilang kertaning bumi. Tapi mungkin teori itu pun berlebih-lebihan. London pun pernah nyaris musnah dimakan api setelah kebakaran selama lima hari di tahun 1666. Ternyata, tak banyak ikhtiar untuk mengembalikan bentuk lamanya lagi. Jika kita bisa meminjam kata-kata Aubrey Menen yang menulis tentang kota itu untuk buku Time-Life di tahun 1976, "orangorang London cukup berbahagia" dengan kemusnahan yang terjadi. Pada mereka memang ada sikap tak teramat cemas akan perubahan, sampai dengan di abad ini. "Beberapa di antara kami memang menyesali perubahan itu," tulis Menen, "tapi perasaan itu tak cukup mendalam untuk sampai menghentikan munculnya pencakar langit". Orang London, dengan kata lain, tak mau kotanya jadi museum. Kota-kota berulangtahun, tapi juga mereka mempunyai fungsi yang ditentukan oleh orang-orang yang hidup dan berkuasa. Di bulan April 1978 di Aiglemont, Gouvieux Prancis, sebuah seminar diadakan oleh Aga Khan untuk membahas arsitektur Islam. Banyak pembicaraan menyesali hilangnya "ciri Islam" dalam kota dan bangunan baru di Timur Tengah kini. Hanya seorang ahli sejarah arsitektur dari Turki, Dogan Kuban, yang menenangkan debat itu dengan mengingatkan, bahwa "aristektur adalah sebuah profesi yang berorientasi kepada klien". Jika klien yang di Ryadh itu suka gedung model New York, mau apa? Dan klien kita hari ini menghendaki hacienda, atau rumah joglo, atau pilar Romawi -- bukan rumah-rumah separuh kayu yang serambinya dihiasi kepala menjangan pada dinding. Kota-kota pun berubah mencerminkan suatu perubahan sosial-politik. Bila yang tercermin adalah khaos, kerancuan norma-norma, mungkin karena di atas sana ada kebingungan, di tengah kekayaan dan kekuasaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus