Towil Herjoto, 54 tahun, Bekas Direktur Pengawasan Bapindo dan Dirut Bapindo. Towil Herjoto lahir di Payang, desa kecil yang dihuni seribu keluarga petani sederhana, sekitar 7 kilometer dari Pati, Jawa Tengah. Ayahnya pedagang botol dan kaleng bekas. Adik perempuan satu-satunya kini masih tinggal di Payang, mengelola sembilan hektare sawah. Bagi Towil, masa kecilnya serba tak mudah. Pada saat ia berusia sembilan tahun, bapaknya perlu waktu tiga bulan untuk "menyulap" sebuah sepeda bagi sang anak. "Selama tiga bulan itu Ayah mengumpulkan onderdilnya. Mulai dari velg, rem, dan rantai. Jadilah sepeda saya yang pertama," cerita Towil, yang dikisahkannya sembari menyantap daging domba panggang di Garden Lounge, Jakarta Hilton. Kisah sukses Towil ini dimuat dalam Asian Finance edisi 15 Desember 1989. Untuk menambal hidup sembari melanjutkan SMA di Semarang, dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sore hari dia membersihkan peralatan dapur, pagi hari menyapu lantai. Setahun setelah tamat SMA, dia merantau ke Jakarta, dan mendapat pekerjaan dengan gaji Rp 300. "Pada masa itu jumlah itu sudah cukup untuk biaya hidup sehari," kisahnya. Dia masih sempat mengambil kelas sore Universitas Katolik Atmajaya, mendalami ekonomi perusahaan, dan tamat pada 1976. Nasib mempertemukannya dengan Bapindo pada tahun 1962, sebagai juru ketik. Enam belas tahun kemudian, Towil sudah menjabat kepala bagian kredit Bapindo Pusat. Kariernya sebagai bankir makin matang setelah berbagai jabatan, antara lain treasury, akuntansi, perencanaan anggaran dan pasar uang. Pada tahun 1988, semasa Dirut Subekti Ismaun, Towil pertama kali diangkat sebagai Direktur Pengawasan. Ketika itulah Towil "bersentuhan" dengan kasus Golden Key Group (GKG). Konon, sesuai dengan bidang tugasnya, proposal GKG masuk ke mejanya lebih dulu sebelum dibawa ke rapat direksi. Towil juga disebut-sebut ikut rapat direksi yang mengesahkan keputusan tiga direktur sebelumnya, tentang izin kelanjutan pengucuran kredit GKG. Rapat itu, 16 Juni 1992, konon dihadiri Sjahrizal, Bambang Kuntjoro, dan Adi Sugondho. Agustus 1992 -- bersamaan dengan diangkatnya Sjahrizal sebagai Dirut Bapindo menggantikan Subekti Ismaun -- Towil menjabat Dirut Bank Tabungan Negara. Januari tahun ini, Towil Herjoto bertukar tempat dengan Sjahrizal. Towil menjadi Dirut Bapindo, Sjahrizal Dirut BTN. Benarkah mutasi itu dilakukan agar Towil bisa memberesi kredit macet GKG? Dijawabnya singkat kepada TEMPO, "Oh, begitu isu- nya, ya biar saja." Kini, anak Pati yang merayap dari bawah itu harus mendekam di tahanan Kejaksaan Agung. Dia "diambil" Kamis malam lalu, setelah jabatannya dicopot siang harinya. Tekanan darahnya naik, jadi 165/90, membuat ayah dua anak ini terlihat lunglai ketika dipapah aparat kejaksaan ke dalam sel. Kamis malam itu Towil resmi dinyatakan sebagai tersangka kasus Bapindo-GKG, setelah malang-melintang di sektor perbankan selama 32 tahun. Subekti Ismaun, 55 tahun, Bekas Dirut Bapindo (1986-Agustus 1992) "Saya pasrah. Kok, perkembangan kasus ini jadinya begini. Saya mau pulang dulu ke Yogya, mau "nyekar" ke makam ayah saya." Kalimat itu diucapkan Subekti Ismaun kepada TEMPO, Jumat dua pekan lalu. Subekti agaknya sudah siap. " Keluarganya sudah diberi tahu bahwa Pak Bekti akan ditahan," kata sumber yang dekat dengan Subekti. Toh, niatnya untuk nyekar sudah kesampaian. Anak Yogyakarta ini berangkat ke Kota Gudek pada hari kedua Lebaran, Selasa lalu, dan kembali ke Jakarta Kamis siang, sekitar 16 jam sebelum dia ditahan. Dan sejak pukul 07.15 Jumat silam, Subekti resmi dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi Bapindo-GKG. Ketua Umum Ikatan Akuntan Indonesia ini mengakui, ia baru menyadari adanya kejanggalan di GKG pada April 1992, sekitar dua tahun setelah Bapindo setuju membiayai proyek styrene monomer itu. Awalnya, ada tagihan agar Bapindo membayar US$ 8 juta untuk sebuah L/C (letter of credit) yang agak "aneh". Kemudian, keluarlah memo untuk menyelidiki kasus itu. Ternyata, kredit yang sudah cair adalah US$ 208 juta. Menurut sebuah sumber TEMPO, Subekti kemudian membuat disposisi ke Direktur I (Kredit), Bambang Kuntjoro, dan Direktur IV (Pengawasan), Towil Herjoto. Isinya: teliti dan laporkan kredit GKG. Dibentuklah tim investigasi. Hasil temuan: ada masalah dalam kredit GKG. Hal ini dilaporkan ke Direktur Kredit, dan konon Subekti Ismaun tak pernah memperoleh tembusan hasil kerja tim investigasi tadi. Ketika urusan GKG dibawa ke rapat direksi, 16 Juni 1992, Subekti tak datang lantaran menikahkan anak perempuannya. Dari sibuk pernikahan, Subekti pergi ke Denpasar. Dia mengaku tak juga membaca notulen rapat 16 Juni 1992 soal GKG itu, lantaran bidang pengawasannya sebagai direktur utama adalah biro direksi dan personalia. Walhasil, sampai dia diganti oleh Sjahrizal Agustus 1992, posisi kredit GKG masih US$ 208 juta. Masih teka- teki besar, bagaimana kredit yang dinilai tak beres itu bisa terus cair sampai US$ 476 juta, dalam era kepemimpinan Sjahrizal. Pengalamannya sebagai bankir tak selalu indah. "Tekanan dari atas", katebelece, sudah seperti menu sehari-hari. Termasuk untuk kasus GKG. "Pak Domo memberikan referensi, Pak Marlin berperan membentuk sindikasi bank-bank," katanya (TEMPO, 5 Maret 1994). Karier Subekti di Bapindo diawali tahun 1963 (waktu itu masih bernama Bank Industri Nasional) dengan rintisan karier yang cukup berliku. Putra Pak Ismaun -- salah seorang pendiri Asuransi Bumiputera 1912 -- ini setelah menamatkan kuliah di FE UI, memegang jabatan pengawas di kantor pusat Bapindo, Jalan Gondangdia Lama, Jakarta Pusat. Setelah 17 tahun, barulah dia menjabat direktur. Dan baru pada tahun 1986, dia diangkat Menteri Keuangan J.B. Sumarlin sebagai orang pertama Bapindo. Kondisi Bapindo sedang tak sehat, tahun itu rugi Rp 700 juta. Asetnya Rp 1,4 triliun. Tapi, "Ketika saya pensiun, aset Bapindo sudah Rp 11,4 triliun, dengan laba Rp 130 miliar," ujarnya bangga. Hanya saja, sukses Subekti ini lantas pudar gara-gara kredit macet GKG. Kecuali barangkali kelak, bila ia dinyatakan bersih dan reputasinya pulih. Sjahrizal, S.H., 58 tahun, Bekas Dirut Bapindo (1992) Tiga tahun lalu, bursa efek Jakarta dirundung kelesuan. Indeks harga saham meluncur dahsyat ke titik 300-an dari puncak 600 titik. Pendeknya, transaksi tak bergairah dan para pialang pada loyo. Di tengah suasana kerontang itu, Sjahrizal -- saat itu menjabat Direktur II Bapindo -- ditunjuk sebagai ketua formatur guna menyiapkan PT BEJ swasta. Apa yang dilakukan Ketua Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-Efek ini? Luar biasa. Sjahrizal mematok ultimatum. Pialang yang tak sanggup menyetor Rp 200 juta hingga Rp 500 juta sebagai modal PT BEJ diminta hengkang dari lantai bursa. Padahal, rata-rata pialang cuma sanggup membayar Rp 75 juta. Mereka protes. Tapi Sjahrizal tak mau mundur. "Saya kasih waktu sepuluh hari. Yang tak sanggup get out," katanya. Begitulah Sjahrizal, yang tampak lebih muda dari usianya dan selalu perlente ini. Ia tegas, kadang meledak-ledak, sering diiringi komentar tajam. Lantas, bagaimana orang seperti ini dikait-kaitkan dengan kasus manipulasi kredit Eddy Tansil? Padahal, sarjana hukum lulusan Universitas Indonesia yang seumur-umur kenyang dengan serangkaian studi, pelatihan, dan kursus pasar uang dan modal ini sepertinya ditakdirkan lekat di jalur pasar uang. Sebelum masuk ke Bapindo, ia menjabat Kepala Urusan Pasar Uang dan Giralisasi di Bank Indonesia. Di Bapindo pun, ketika kredit untuk Eddy Tansil dikucurkan, ia mengaku duduk sebagai direktur yang menangani treasury. "Tugas saya mendatangkan duit, bukan mengobralnya," katanya suatu kali kepada TEMPO. Jadi, sejauh mana Sjahrizal mencampuri kredit GKG? Sumber TEMPO di Bapindo mengungkapkan, Sjahrizal termasuk salah satu direktur di samping Bambang Kuntjoro dan seorang yang lain, yang hadir dalam rapat 2 Juni 1992, yang meloloskan permohonan penerbitan bank acceptance baru, sepanjang sesuai dengan plafon L/C yang sudah disepakati. Memang tak jelas benar bagaimana akhirnya lahir keputusan itu. Ada yang bilang, Sjahrizal menolaknya, tapi ada yang bilang tidak. Di samping itu, sebagai Direktur II, Sjahrizal dianggap mengetahui sejak dini ke mana saja kredit untuk proyek petrokimia Golden Key itu dilarikan. Soalnya, Eddy Tansil, dalam pemeriksaan intern Bapindo pertengahan tahun lalu, mengaku selalu melaporkan penggunaan duit kredit itu kepada Direktur II, "Kendati hanya secara lisan." Dan yang paling menyulitkan, kata sumber TEMPO, sebagian besar L/C untuk Eddy Tansil justru diterbitkan ketika Sjahrizal sudah duduk sebagai Dirut Bapindo menggantikan Subekti Ismaun. Bagaimana kelanjutan karier ayah dua anak ini, belum bisa ditebak. Tapi hingga akhir pekan lalu, Sjahrizal seperti tak kenal lelah memimpin rapat direksi BTN, bank yang kini dipimpinnya, sampai-sampai, "Tak bisa diganggu." F. Bambang Kuntjoro, 51 tahun, Direktur I Bapindo (Oktober 1991-sekarang) Begitu Towil Herjoto dan Subekti Ismaun ditangkap pekan lalu, orang pada menunggu: kapan giliran anggota direksi Bapindo lainnya? Di antara beberapa nama yang disebut-sebut, terselip nama Felicianus Bambang Kuntjoro. Maklum, bankir yang bekerja di Bapindo sejak lulus sarjana ekonomi UGM tahun 1966 ini menjabat Direktur I. Pada posisi itu, Bambang membawahkan wilayah Jakarta, tempat red clause L/C yang menghebohkan itu diterbitkan. Tapi, hingga sejauh mana keterlibatan Bambang? Soalnya, dalam data Bapindo disebut bahwa peminat ilmu manajemen industri ini menduduki kursi Direktur I baru pada Oktober 1991. Berarti, hanya beberapa bulan setelah kredit untuk PT Graha Swakarsa dan PT Pusaka Warna Polypropylene, milik Eddy Tansil, disetujui dewan direksi Bapindo. Rupanya, ia disertakan dalam proses pemberian kredit tambahan yang juga untuk Eddy Tansil. Sebuah lembar disposisi yang diteken Bambang pada tanggal 2 Juni 1992 mencantumkan persetujuannya pada penerbitan BA (akseptasi bank) baru. Padahal, ketika itu, L/C untuk proyek petrokimia Golden Key, yang telah telanjur cair sebesar US$ 208 juta, justru sedang disetop. Akibat disposisi itulah, agaknya, kantor Bapindo cabang Jakarta segera membuka keran kredit baru. Dari posisi US$ 208 juta pada April 1992, melonjak lebih dari dua kali lipat setahun kemudian, hingga Bapindo "jebol" US$ 436 juta. Yang juga memberatkan, demikian kata sumber TEMPO di Bapindo, sebagai anggota direksi, Bambang dianggap ikut bertanggung jawab atas "kerugian" US$ 97 juta. Duit ini terpaksa dikuras dari kas Bapindo, untuk membayar bank acceptance kredit GKG yang sudah jatuh tempo. Padahal, "Kredit itu mestinya belum direalisasi," kata sumber TEMPO. Betulkah semua tudingan itu? Belum ada konfirmasi dari Bambang Kuntjoro. Tapi seorang sumber lain yang pernah satu sekolah dengan lelaki kelahiran Surabaya ini meragukan keterlibatannya. "Bambang itu penganut Katolik yang taat dan rendah hati." Malah, Bambang ingin sekolah di seminari. Hanya karena ayahnya tak setuju, ia memilih Fakultas Ekonomi UGM. Lebih dari itu, Bambang terlalu pintar untuk melibatkan diri dalam spekulasi ala Eddy Tansil. Dalam gambaran sumber TEMPO ini, Bambang Kuntjoro adalah bintang kelas di SMA Saint Louis, sekolah swasta tempat kumpulan anak cerdas di Surabaya. Lagi pula, sumber ini menambahkan Bambang steril secara politis." Sementara itu, sumber TEMPO yang lain berpendapat, kalaupun Bambang terseret, maka itu hanya berupa keterlibatan kolektif. Disposisi tadi, misalnya, tidaklah sepenuhnya tanggung jawab Bambang seorang. Ia hanya membubuhkan tanda tangan untuk hasil rapat direksi, yang waktu itu dihadiri olehnya bersama dua direktur lain.Toriq Hadad dan Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini