Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Delapan tahun Jokowi memerintah, belum ada satu pun kasus pelanggaran HAM berat yang diselesaikan.
Tim non-yudisial bentukan Jokowi berpeluang mencuci dosa para pelaku kejahatan HAM berat di masa lalu.
Jokowi seharusnya membatalkan tim non-yudisial dan mendorong pengesahan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
PARA pelaku pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu kini bisa tidur jauh lebih nyenyak. Dosa-dosa mereka bisa terkubur lebih dalam setelah Presiden Joko Widodo membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Alih-alih mengungkap kebenaran dengan membeberkan kejahatan para pelaku, tim ini justru berpeluang menghadiahkan impunitas alias tiket bebas pemidanaan kepada mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pidatonya di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Selasa, 16 Agustus lalu, Jokowi menyatakan telah menandatangani keputusan presiden soal pembentukan tim non-yudisial itu. Ia mengklaim bahwa pemerintah memperhatikan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Faktanya, hampir delapan tahun Jokowi memerintah, belum ada satu pun rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia soal kasus pelanggaran HAM berat yang diselesaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyelesaian pelanggaran HAM berat memang tak melulu harus melewati pengadilan. Jalur non-yudisial bisa ditempuh sepanjang memberikan keadilan untuk korban dan keluarganya. Syaratnya, kebenaran harus dibuka kepada publik. Pelaku pun harus mengakui kesalahannya. Tanpa pengungkapan kebenaran, jangan berharap ada keadilan. Lebih berbahaya lagi, bila pelakunya mendapatkan impunitas, pelanggaran HAM berat bisa berulang.
Bagi Indonesia, momentum untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di luar pengadilan seperti di Afrika Selatan sesungguhnya sudah terlewati. Waktu yang paling tepat untuk menerapkan mekanisme non-yudisial adalah pada masa transisi pemerintahan dari Orde Baru ke era Reformasi 1998. Namun cara itu tak kunjung terwujud antara lain karena pelaku kejahatan HAM masih bercokol di lingkaran pemerintahan.
Presiden Jokowi pun masih memberikan karpet merah bagi pelanggar HAM. Ia, misalnya, menjadikan Prabowo Subianto—yang dipecat dari militer karena bertanggung jawab atas penculikan sejumlah aktivis pada 1997-1998—sebagai Menteri Pertahanan. Jadi sangat wajar bila tim bentukan Jokowi dicurigai akan berupaya mencuci dosa orang-orang di sekitarnya itu.
Tim bentukan Jokowi sulit diharapkan bakal mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi para korban. Bukan saja karena waktu kerja tim itu sangat singkat, yakni hingga akhir tahun ini. Tim ini pun tak memiliki dasar hukum yang kuat karena hanya berdasarkan keputusan presiden. Komnas HAM yang bekerja atas mandat undang-undang saja menemui banyak hambatan ketika mengusut kejahatan HAM berat di masa lalu.
Kalaupun tim non-yudisial mengeluarkan rekomendasi, mudah ditebak, isinya hanyalah memberikan kompensasi terhadap korban dan keluarganya. Padahal pelanggaran HAM berat bukanlah kasus yang bisa diselesaikan hanya dengan memberikan ganti rugi. Yang teramat penting, korban pelanggaran HAM berat dan keluarganya berhak untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan.
Presiden seharusnya membatalkan pembentukan tim non-yudisial. Presiden lebih baik mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang bertahun-tahun mandek. Jangan lagi menempuh cara salah dalam menuntaskan pelanggaran HAM berat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo